- I will always be here for you. B’cos I feel good, when you feel good –
Angkasa Bhanurasmi.Aya memejamkan kelopak mata. Menggulirkan maniknya dengan jengah. Menengadahkan kepalanya sejenak sambil membuang napas dengan keras. Alunan lagu yang diputar oleh Asa di ruang tengah, sudah mengganggu konsentrasinya saat menulis sebuah berita.
Ia pun beranjak dari meja yang biasa digunakannya untuk bekerja, di kamar apartemennya.
Samar-samar terndengar suara merdu Asa, saat langkah kaki Aya semakin mendekat ke arah pintu.
Asa mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Aya sambil terus bersenandung, saat gadis itu membuka pintu kamar.
“Yeah, you're looking so rude, looking at me. Baby, that rude girl thing, work, work it on me. Cerquita donde pueda oírte y hacer que te quedes.”
Lalu, dengan kedua tangan terangkat, dan pinggul yang bergoyang ala salsa. Asa menghampiri Aya dan menarik tangan saudara perempuannya itu agar ikut bergabung bersamanya. Berdiri berhadapan sambil meliukkan tubuh, mengikuti tiap hentakan dari alunan lagu Mi Necesita milik Prettymuch feat CNCO.
“Oh mí, oh my god. I give my best, you deserve it. Oh mí, oh my god. 'Cause you got me countin' the ways …”
Dengan terus bersenandung, Asa memutar tubuh Aya. Menarik pinggul gadis yang kini memunggunginya itu merapat ke tubuhnya. Menggerakkan tubuh ramping itu, ke kiri dan ke kanan bersama-sama.
Kalau sudah begini, Aya seketika lupa dengan apa yang tengah dikerjakannya di dalam kamar. Aya lebih memilih meliukkan tubuhnya bersama Asa, yang selalu saja bisa membuat moodnya pecah seketika. Suara merdu yang dimuntahkan oleh Asa, sudah jelas hasil turunan dari sang ayah. Asa juga pandai memainkan beberapa alat musik, sama seperti Elo.
Gadis mana yang bisa tahan melihat ketampanan Asa. Wajahnya memang didominasi oleh sang ayah. Namun, tampangnya tidaklah semanis Elo, karena sorot mata Asa yang terkesan tajam dan judes, benar-benar seperti sang bunda. Sungguh perpaduan yang nyaris tanpa cela.
Itu baru Asa. Mau tahu siapa lelaki paling tampan yang ada di keluarga mereka. Narendra Sagara, adik mereka yang paling bontot. Anak kelima Sinar, sekaligus anak terakhir.
Pras memutuskan tidak lagi meminta anak dari sang istri, karena pria itu hampir saja kehilangan Sinar saat melahirkan anak ketiganya. Sinar mengalami pendarahan postpantrum hebat, hingga hampir saja meregang nyawa.
“Konser CNCO minggu depan, datengnya bareng aku ya!” Itu bukan pertanyaan yang diajukan untuk meminta persetujuan. Kalau Aya melontarkan kalimat ke pada Asa, itu berarti kalimat perintah yang harus dituruti oleh sang kakak.
“As you wish lah, beb.”
Aya tersenyum lebar, kemudian membalik tubuhnya. Mengalung kedua tangan pada leher Asa sembari terus bergoyang.
Asa berseringai kecil, mengalungkan tangan pada pinggang Aya. “Kak Astro ke sini tadi pagi?” tidak hanya sekali ini, Asa mendapati Astro keluar pagi-pagi dari kamar Aya. Apa sebenarnya yang keduanya lakukan di kamar?
Pernah sekali Asa langsung menodong Astro dengan pertanyaan, saat pria itu kedapatan keluar dari kamar adiknya. Namun, Astro dengan santainya menjawab, kalau ia meminta info tentang seseorang dari Aya. Yak, sesuai dengan profesi gadis itu, yang merupakan seorang wartawan.
Tapi, entah kenapa, Asa tidak bisa percaya begitu saja. Menuduh tanpa bukti dan mendebat seorang pengacara yang handal seperti Astro, sungguh bukanlah minat seorang Asa.
“Hmm.” Aya mengangguk, tidak mungkin berbohong dengan partner in crimenya selama ini.
Gerakan kaki keduanya kini maju dan mundur seirama. Asa meraih tangan kanan Aya. dan memutar tubuh seksi adiknya yang hanya memakai kaos longgar dan celana piyama tidurnya. Lalu menarik kembali tubuh Aya agar merapat pada tubuhnya. Melangkah menyamping, ke kiri dan ke kanan.
“Ganti passcode apartemenmu. Jangan biarkan dia masuk seenaknya ke sini.”
“Kamu juga bisa seenaknya masuk ke sini.” Sewot Aya masih meliukkan tubuhnya dengan sangat seksi.
Asa menghentikan langkahnya. Menaruh kedua tangan di atas pundak Aya dan menatap tegas tepat di maniknya. “Aku kakak kamu, Ay. Be—”
“Kak Astro, kakak sepupuku,” Sela Aya. “Gak ada bedanya kan.”
“Bedaaa lah!”
“Di mana bedanya.”
“Kamu suka sama Kak Astro! Iya kan!” Tuntut Asa. “Sekarang, masih mau tanya di mana bedanya? Aku cuma gak mau, dia manfaatin kamu buat kesenangannya dia.”
“Kak Astro gak gitu!” Aya berbalik meninggalkan Asa. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju dapur yang jadi satu dengan ruang tengah.
“Yakin?” Asa menyusulnya setelah mengecilkan suara dari audio yang ada di ruang tengah. Merampas orange juice kemasan, yang baru saja diambil oleh Aya dari lemari pendingin, lalu meminumnya. “Sekarang … berani sumpah kalau kamu masih perawan?”
“ASA!” Manik Aya berang, menatap kesal pada saudara satu ibunya itu.
“Udah enggak?” Asa bertanya dengan terbelalak tidak percaya. “Kamu sama Kak Astro su—”
“I’m still virgin! Ayo kita ke rumah sakit kalau gak percaya.” Aya meninju lengan Asa dengan sekuat tenaga. Tapi tubuh Asa hanya sedikit tersentak, bahkan kakinya tidak bergeser sedikitpun.
Asa lantas terkekeh lega. Beranjak dari dapur dan duduk di salah satu kursi di meja makan. “Kirain udah jebol.”
“Sembarangan kalau ngomong!” Aya mengikuti Asa ke meja makan dengan membawa orange juicenya sendiri dan duduk di sebelah pria itu.
Asa menyesap orange juicenya sebentar. “Tapi Ay, aku serius masalah passcode apartemen, mending di ganti.”
“Gak usah ngatur-ngatur, kamu sendiri aja gak bisa diatur.”
Asa memutar kursi Aya agar menghadapnya dengan sekali tarikan.
Lantas Aya dengan santai menaikkan kedua kakinya, berselonjor di paha Asa.
“Kamu itu cewek, Ay. Rusak sekali, bubar jalan deh. Apalagi sampai hamil. Emang mau punya anak di luar nikah?” Secepat kilat tangan Asa menyentil dahi Aya.
“Asa! Sakiiit!” rintihnya sembari mengusap dahi. “Aku masih bisa jaga diri. Lagian, Kak Astro gak mungkin gitu lah sama aku.”
“Mana tahu ada setan lewat pas kalian lagi berdua.”
“Kamu setannya! Ganggu aja kalau orang lagi bedua.”
“Aku gak ganggu, aku itu jagain kamu!” Asa menyesap habis orange juicenya lalu meletakkan di meja.
“Aku bukan bayi lagi, yang mesti dijagain 24 jam!” balas Aya sudah mulai kesal.
“Jangan keras kepala, kamu itu anak cewek satu-satunya yang bunda punya. Jadi wajar, kalau kami semua khawatir dan jagain kamu biar gak kenapa-kenapa.”
Manik Aya berotasi tajam menandakan ia jengah. Ia menurunkan kakinya lalu berdiri menangkup wajah Asa. “I’m fine, babe. I’m all set. Nothing to worry about.”
Asa mengangkat kedua tangan, menandakan ia menyerah. Tidak akan ada ujungnya jika berdebat dengan Aya. Lebih baik menyerah, dan mengalah di depan adiknya yang keras kepala sekaligus naif itu.
“Oke, oke. I’m done.”
Aya segera memeluk Asa. Menepuk-nepuk punggung tegap yang selalu menjadi pelindungnya selama ini. “I’m good, I’m aaaall good.”
“Aku mau nikah, mam.”Ucapan Astro di tengah-tengah makan malam itu, membuat Aster tidak jadi menyuapkan nasi goreng seafood kesukaan sang anak, kemulutnya sendiri. Aster khusus membuatkan makanan favorit Astro, ketika pria itu menelepon akan pulang dan makan malam di rumah.“Mama gak pernah dengar kamu punya pacar, tahu-tahu ngomong mau nikah?” Aster menarik kursinya mendekat pada Astro. “Siapa?”“Temen kantor dulu, tapi sekarang udah gak sekantor.” Jawab Astro santai sambil menyantap makan malamnya dengan lahap.“Iya siapa? dan udah berapa lama pacarannya?” sebagai seorang ibu, jelas saja Aster sangat penasaran dengan calon menantunya nanti.“Namanya Zetta,”“Kok gak asing? mama kayak pernah dengar di manaaa gitu.” Sahut Aster sembari mengingat-ingat, namun tidak kunjung mendapat petunjuk.“Anaknya tante Melati.” Astro tekekeh pelan sendi
Setelah deadline pekerjannya selesai. Aya memutuskan pergi ke kafe pojok yang letakknya memang di pojok ruko sesuai dengan namanya. Ia hendak mengisi perutnya sebelum kembali pulang ke apartemen. Ruko itu kini sudah banyak berubah, setelah mengalami pergantian pemilik hampir beberapa kali. Setidaknya itu yang ia dengar dari para seniornya.Aya setengah berlari, ketika melihat pintu harmonika ruko tersebut tertutup separuh. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, karena biasanya kafe tersebut baru tutup sekitar jam sebelas malam.“Lin, kok ditutup separuh?” tanya Aya pada Linda, salah satu pelayan yang sudah di kenalnya. Aya tidak hanya mengenal Linda sebenarnya, tapi ia sudah mengenal seluruh penghuni yang ada di kafe tersebut. Ya, Aya memang seramah dan sehumble itu dengan siapapun, sama seperti Bintang.“Ini juga mau di buka, mbak. lagi pada briefing di atas. Tapi baru selesai.” Jelasnya lalu menyuruh satu lagi pelayan yang bernam
—You’re the only one, who can keep me (in)sane—Abraham Yasa ChandrakeswaraSeorang pria menepuk punggung Andra dengan keras, setelah Aya melenggang pergi dari kafe.“Cewek tadi, siapa? akrab banget.”“Ciyeeh si boss, tadi ada orangnya gak diajakin kenalan. Sekarang udah pergi jauh, panas sendiri.”Yasa, sang pemilik kafe pojok berdecak sebal, ia lantas duduk di depan Andra, sang manajer kafe waralaba miliknya. “Gak gitu, Ndra. Aku kayaknya pernah lihat, tapi di manaaa gitu ya.”“Makanya sering-sering nengokin kafe, kalau aku gak cuti, gak mungkin kamu ke sini.”“Tinggal jawab, Ndra. Gak usah muter-muter.”Selagi Yasa masih mengingat-ingat, Andra mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah aplikasi media sosial. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Andra menyodorkan benda pipih itu kepada Yasa.“Dia wartawan Metro. Cahaya Bhan
Begitu melihat sepasang suami istri dan anak laki-lakinya yang selalu terlihat kompak itu, memasuki restoran. Yasa segera berdiri, memasang senyum ramahnya dengan hormat.“Rombongan nih, pak?” tanya Yasa sembari menyalami sepasang suami istri yang tertawa menanggapi pertanyaannya. Tidak lupa Yasa ber-hi five pada bocah yang berusia 14 tahun itu.“Kebetulan nyonya besar mau nyalon di sebelah, jadi sekalian.” Bintang mengerling pada sang istri yang memberikannya cebikan bibir merahnya. Lalu mereka duduk mengitari meja dan memesan minuman. “Mereka belum datang?” tanyanya pada Daisy.“Telat dikit, Aya sama Asa pulang ke rumah. Jadi, Sinar lagi ceramah sebentar, sebelum si kembar siam itu menghilang lagi dari rumah.”Kalau dirunut ke belakang, justru Asa dan Aya-lah yang lebih terlihat seperti anak kembar. Kedua kakak beradik itu selalu saja kompak, dan kerap terlihat bersama-sama dari pada si kembar yang sebenar
Zetta menghampiri Astro yang masih berkutat dengan laptopnya di ruang tengah. Kedua tangannya mengapit dua buah piring berisi nasi goreng seafood, yang baru saja dibuatnya untuk makan malam. Ia meletakkan kedua piring tersebut berjajar dengan laptop yang ada di meja kaca.“Makan dulu.” Zetta duduk bersila di atas karpet. Meletakkan dagunya pada paha Astro yang duduk di sofa. Kelopak matanya mengerjab beberapa kali, memperhatikan layar datar yang tengah dibaca Astro. “Milliar Paper? Kenapa dari dulu kamu terus ngurusi masalah ini? Emang belum selesai-selesai gitu kasusnya?”Astro mengusap kepala Zetta dan mengecupnya sebentar. “Kasus ini bahkan selesai sudah lama, tapi banyak yang janggal di dalamnya.”“Dan, hampir sepuluh tahun kamu belum nemu di mana janggalnya?”“Lebih sepuluh tahun. Dan, yaa, aku mau buka lagi kasus ini! Sebentar lagi, sedikit lagi.” Zetta mengerucutkan bibirnya tidak
"Papi gak ngelarang kalian jatuh cinta, dan pacaran dengan siapapun di luar sana. Tapi satu yang harus kalian ingat, papi ngelarang kalian untuk jadi bodoh! Don’t let that fvcking love, ruins your future!"Sederet kalimat Pras yang kerap dilontarkan pria itu, ketika Aya dan Asa menginjak usia pubertas, seketika terngiang di kepala Aya.Kini, hasratnya harus berperang dengan logika. Kaos dan celana jeansnya kini sudah tergeletak entah ke mana. Tangan besar Astro, sudah menjelajah di tiap inchi kulit tubuhnya tanpa bisa ditolak. Raganya seakan berkhianat dengan otaknya. Nafsunya tidak sejalan dengan nalar di kepala.“Jaga kehormatanmu, Ay! Dengan begitu, suamimu juga akan menghormatimu.”Saat kalimat Pras tidak mempan menyadarkan Aya. Kini, kalimat singkat sang bunda langsung tepat menampar otak besarnya. Aya buru-buru mendorong tubuh Astro dengan keras, saat pria itu baru saja membuka pengait pakaian dalam yang berada di punggungnya
Aya menjatuhkan separuh tubuhnya di atas meja front office. Deadline kerjanya sudah selesai satu jam yang lalu, tapi Aya masih malas melangkah untuk pulang ke apartemennya. Sudah tiga hari sejak kejadian dengan Astro berlalu, tapi pria itu seolah menghilang dari jangkauanya.Astro tidak pernah lagi mampir ke unit apartemennya. Pria itu juga tidak mengangkat telepon ataupun membalas chat dari Aya. Ingin sebenarnya mendatangi kantornya, tapi, pria itu belum tentu ada di sana.Dengan menutup mata sembari menghirup napas begitu dalam, Aya memutuskan kembali mencoba untuk menelepon Astro. Namun, lagi-lagi nihil, karena pria itu tidak kunjung mengangkat teleponnya.Di satu sisi, Aya merasa begitu bodoh. Secara logika, Aya mengaku kalau ia memang sangat bodoh dalam urusan cinta. Tapi, sebagai seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaan, ia merasa semua yang dilakukannya tidaklah salah. Menghubungi pria yang dicintainya, dan menurunkan ego untuk memperbaiki sebuah h
“Sayang, bangun …”Zetta sudah berulang kali menepuk pelan pipi Astro untuk membangunkan pria tersebut. Namun yang dibangunkan, tidak kunjung menampakkan manik kelamnya untuk melihat Zetta.“Kamu gak ke kantor? Ini sudah jam delapan.”Akhirnya Astro menggumam, membuka segaris tipis kelopak matanya menatap Zetta yang sudah mengenakan pakaian kerja. “Kapan kamu mau resign?”Zetta memberi senyum hangatnya untuk Astro, yang sudah membuka maniknya dengan sempurnya. Beranjak dari tepi ranjang menuju meja rias. Menarik kursinya dan duduk di sana. “Setelah kita nikah, baru aku ajuin resign.”Gadis itu memejamkan matanya sebentar dan menyemprotkan face mist ke wajah manisnya.Masih enggan bangkit dari ranjang, Astro hanya memiringkan tubuhnya dengan malas, lalu menatap Zetta. “Aku mau dipercepat, jadi minggu depan aku lamar kamu, teruus … persiapan sebulan sepertinya cukup.” Ta
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &