— And I love the kisses, you wake me up every day —
Cahaya Bhanuresmi.Gadis itu terjaga, menarik kedua sudut bibirnya ke atas tanpa membuka kelopak mata. Semakin menarik erat lengan besar seorang pria, yang tengah memeluknya dengan posesif dari belakang.
Namun, seketika gadis itu tersadar, membolakan maniknya dengan lebar. Lalu memutar tubuh dengan cepat menghadap pria itu.
"Kak! Bangun! Kamu harus balik sekarang!” sang gadis menepuk pipi pria itu, sedikit keras agar terbangun. “Kak!"
Pria yang masih berbalut jas lengkap tanpa dasi itu hanya menggumam. Menarik tubuh sang gadis lebih dekat lagi kepadanya. Dan … satu kecupan singkat, tepat mendarat di atas bibir gadis itu sebagai pembuka hari.
“Morning Cahaya.” Sapanya masih dengan satu kelopak mata yang terbuka malas. Ditambah sebuah senyum tipis, yang selalu mampu membuat hati gadis manapun akan betah berlama-lama memandangnya.
"Kak Astro! Ada Asa di kamar depan, balik buruan nanti ketahuan."
"Asa?" kini kedua kelopak mata Astro terbuka, "Dia nginap sini lagi?"
"Iya! Makanya buruan baliiiik ... lama-lama aku ganti juga passcode apartku kalau begini!"
Sedari awal Bintang, ayah kandung Aya, membelikan apartement untuk putri kesayangannya itu, Astro sudah tahu passcode untuk menerobos masuk kapanpun ia ingin. Dan, Astro akan selalu terbangun di ranjang gadis itu, jika ia tidak pulang ke rumah ibunya. Padahal unit apartemen Astro, berada tepat di depan apartemen gadis, yang merupakan adik sepupunya itu.
Astro kembali menutup mata. "Aku masih mau tidur dengan Cahaya Matahariku. Ayolah Aya sayang, matahari benerannya aja belum muncul tapi kamu udah berisik."
Astro mendekap tubuh Aya dengan gemas. "Asa itu bangunnya siang, gak usah dipikirin." lanjutnya dengan mata tertutup.
Belum ada lima menit Astro berujar demikian, pintu kamar diketuk dari luar. Siapa lagi kalau bukan Asa, kakak satu ibu dengan Aya.
"Ayaaa! Buka bentar! Papa telpon!"
Papa yang dimaksud adalah Bintang, yang merupakan ayah tiri dari Asa.
Tubuh Astro sedikit terhempas karena di dorong mendadak oleh Aya. Gadis itu berlari kecil menuju pintu dan membuka kuncinya.
"Kenapa papa telpon ke kamu, gak langsung ke hapeku?"
Aya hanya menyembulkan kepala dari pintu, melihat Asa yang hanya memakai boxer dengan bertelanjang dada. Rambut Asa masih terlihat berantakan dengan cetakan bantal yang ada di salah satu sisi wajah, yang masing ingin tertekuk lelap.
Asa menyentil dahi Aya hingga gadis itu mengaduh. Sebenarnya, ada masalah apa sih Asa dengan jemarinya itu. Dahi Aya selalu saja jadi sasaran kekesalan berikut kegemasannya.
"Hapemu gak aktif kata papa!" Asa menyodorkan ponselnya dengan kasar tepat di atas dada Aya. "Nanti aja balikinnya aku mau tidur lagi."
Dengan menguap begitu lebar Asa berlalu. Pergi kembali ke kamarnya untuk merajut ... entahlah, apa yang mau ia rajut subuh-subuh begini. Kalau sang bunda tahu dia masih tidur jam segini, sudah dijamin basahlah, ranjangnya yang ada di rumah. Bunda akan menyiram Asa dengan air, yang dicampur terlebih dahulu dengan beberapa es batu yang diambil dari lemari pendingin. Bunda memanglah sehoror itu saat membangunkan Asa, si tukang tidur.
Oleh sebab itu, Asa lebih senang pulang ke apartemen Aya. Padahal ayah kandungnya, Elonio Dananjaya sudah membelikan Asa sebuah rumah, namun jarang ditempati oleh pria itu.
Aya kembali menutup pintu dan menguncinya. Berbalik dan melihat Astro sudah tidak lagi berbaring di atas ranjang. Pria itu terlihat tengah menelepon seseorang di balkon luar dengan melempar senyum yang tidak berkesudahan.
Wajar kan, kalau Aya curiga dengan siapa, saat ini Astro berbicara.
Aya sedikit tersentak mendengar dering ringtone dari ponsel Asa yang masih ada di genggaman. Tertulis nama Papa di sana. Tidak perlu menunggu lama, Aya segera mengangkatnya, dan berbicara sambil membaringkan tubuh di atas ranjang, dengan kaki menjuntai ke bawah.Astro kembali masuk bersamaan dengan Aya yang telah mengakhiri pembicaraannya di telepon.
"Siapa yang nelpon Kak Astro subuh-subuh begini?"
"Mama, disuruh sarapan di rumah." Astro mendesah panjang sambil membaringkan tubuhnya menimpa tubuh Aya. Menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher gadis itu. "Aku mau sarapan kamu dulu sebelum ke rumah mama."
Dengan sigap Aya menyentak kepala Astro yang hendak memberi jejak merah di lehernya.
Astro bangkit terduduk di paha Aya, namun tidak menumpukan seluruh berat badannya. "Yaa, I know." Kemudian, Astro melepas jas dan melemparnya ke sembarang arah. Disusul dengan kemeja putihnya.
Tubuh Aya separuh bangkit, bertumpu pada kedua sikunya, Memandang tubuh atletis yang bertelanjang dada, dengan sobekan roti yang berjumlah enam buah, tepat di hadapan ... Sungguhlah membuat gadis itu sangat tergoda. Apalagi saat Astro meraih satu tangan Aya untuk menyentuh dadanya dengan gerakan perlahan.
Dan … melihat bagaimana reaksi Astro yang menutup mata, menikmati sentuhan jemari Aya, membuat gadis itu membayangkan tubuh Astro berkeringat di atasnya. Menyebut namanya di setiap …
Wait!
Whaaat!
No no no!
Aya menggelengkan kepala dengan cepat. Menarik tangannya dan menampar dada Astro dengan keras. "Gak usah mancing, kalau aku pengen kan gawat!" dengus Aya.
Astro tertawa, menganggap remeh semua yang dikatakan gadis itu. Tangan besarnya lalu menyangga wajah Aya. Dengan hanya satu kerjaban mata, Astro menyatukan bibir mereka.
“Aku bahkan sanggup, langsung lari, keluar dari persidangan kalau kamu bilang ‘pengen’ waktu aku lagi membela klienku.” Astro berujar tepat di atas bibir Aya, memberi tatapan yang sungguh menggoda.
Namun, Aya tertawa, “Lebay! Minggir! Aku mau ngeces hape.”
Dengan memberi Aya cebikan yang begitu dramatis, Astro menyingkir. Bangkit dari tubuh Aya dan melepaskan pakaian yang tersisa di tubuhnya.
“Siapin handuk, aku mau mandi.”
“Hei! Apartmu itu di depan, kak! Baliklah dan maaaandi …”
Kelopak mata Aya tidak berkedip, ia menahan napas, saat memandang tubuh polos yang berjalan begitu percaya diri memasuki kamar mandinya. Setelah pintunya tertutup, barulah Aya mengerjab, tersadar, kalau sekali lagi, maniknya ternoda dengan sebuah ciptaanNya yang begitu sempurna.
Dengan cepat Aya mengumpulkan kesadaran. Lalu kembali ke niat awal yaitu hendak mencharger ponselnya yang kehabisan daya.
“Gak mau gabung, Ay?” tawar Astro yang melihat Aya masuk dan meletakkan handuk untuknya di meja wastafel.
Aya menggeleng, mengambil sikat gigi dan menuang pasta gigi diatasnya. Sebenarnya, situasi seperti ini dengan Astro, sudah biasa dialaminya, jadi Aya tidak lagi canggung menghadapi pria itu.
“Nikahi aku dulu, baru aku gabung.”
Astro diam, tidak memuntahkan kalimat apapun jika gadis itu sudah menyinggung tentang pernikahan.
Aya menyikat giginya, sembari menatap pantulan wajahnya pada cermin. Kalau biasanya, prialah yang harus menahan imannya bila berdekatan dengan wanita. Kali ini terbalik, Ayalah yang harus benar-benar menahan hasrat saat ada tubuh polos, dengan lekuk atletis yang sempurna berada tidak jauh dari dirinya.
Setelah menyikat gigi, Aya mencuci wajahnya. Kemudian keluar, meninggalkan Astro yang sekilas, masih terlihat membalut tubuhnya dengan busa sabun.
“Ada tugas ke mana kamu hari ini?”
Aya yang bertelungkup sambil menatap laptopnya itu, menghentikan sejenak kegiatannya. Ia kembali disuguhi pemandangan yang dapat meruntuhkan kewarasannya sebagai seorang gadis normal.
Astro … pria itu melepas satu-satunya handuk yang melekat pada tubuhnya. Memakai pakaiannya yang telah dipungut oleh Aya dari lantai dan diletakkan di atas meja rias.
“Aya … ada tugas ke mana hari ini?” tanya Astro sekali lagi, karena yang gadis itu lakukan hanyalah menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Hari ini belum dapat tugas sih, tapi aku ada janji wawancara sama Mbak Zetta nanti siang. Dia baru pulang dari Surabaya pagi ini.” Dengan sekali tarikan napas, Aya mengalihkan tatapannya kembali ke laptop. “Sesembak itu, sibuk banget, susah ditemui.”
“Lagian, kamu itu ngapain masih mau merepotkan diri jadi wartawan? Sudah gitu, bukannya wartawan tv malah lebih milih media cetak.” Astro sudah selesai mengenakan pakaiannya kembali, tanpa memakai jasnya. Ia menghampiri Aya dan kembali menimpa tubuh gadis yang tengah bertelungkup itu. “Semua saham papa di JB, sudah atas nama kamu, belum lagi beberapa outlet Brownies Bunda, juga udah jadi punya kamu. Ditambah yang lain-lain, kurang apa lagi sih kamu, Ay?”
“Kurang kerjaan! Aku butuh sesuatu yang menantang!”
Aya menyikut sisi tubuh Astro, bermaksud membalik tubuhnya agar bertelentang dan dapat menatap pria itu. Aya menyelipkan kedua tangannya pada surai legam Astro yang masih sedikit basah. Menatap wajah tampan penuh kharisma, yang selalu saja mengumbar senyum, hingga mampu membuat jantung para gadis terlonjak seketika.
“Jadi wartawan itu enak, kenalannya banyak. Dari mereka yang ada di kolong jembatan. Sampai puncak tertinggi kepemimpinan, yaa meskipun gak sembarangan orang yang ditugasin untuk meliput di ring satu. Tapi aku yakin, kalau suatu saat, aku bakal masuk dan wawancara langsung dengan presiden!”
Aya tersenyum lebar dengan percaya diri. Gadis itu ingin menjadi seperti Bintang dan Elo. Mengawali karir dengan menjadi kuli tinta, dan berakhir menjadi orang penting yang kehadirannya selalu diperhitungkan dan tidak bisa dianggap remeh. Aya bahkan memutuskan mengawali karir di tempat yang sama dengan kedua ayahnya itu, yakni di Metro Ibukota. Padahal, Aya bisa saja masuk ke Network Group, karena Pras saat ini adalah pemilik dari stasiun televisi terbesar itu.
“Kak Astro ada sidang hari ini?”
Sedangkan Astro, ambisinya adalah berkuasa seperti Pras. Memegang semua rahasia dari petinggi, dan kaum elite yang memakai jasanya sebagai seorang pengacara. Dan, saat itu terjadi, maka dunia akan berada di genggamannya.
Namun, ada perbedaan yang mencolok dari keduanya. Jika seorang Pras, merupakan epitomi hidup dari arogansi antagonisnya. Sedangkan Astro, pria itu adalah embodiment nyata dari kerendahan hati dan empati. Sikap humble dalam didikan Bintang, membuat pria itu mudah bergaul dan mampu menempatkan diri di mana saja.
“Jadwalku full hari ini."
Bibir penuh Aya yang sensual itu membulat, membentuk huruf O. “Ada konser CNCO malam minggu ini, nonton yuk. Aku dapat dua free pass dari ayah.”
“Kamu tahu, aku gak suka keramaian, nontonlah sama Asa.”
“Asa itu fotografer, sudah pasti dia ada di sana, paling depan.” Bibir Aya yang memberengut maju itu, tentu saja langsung jadi santapan bagi Astro. Tidak membiarkan gadis yang sudah mengalungkan tangan di leher Astro itu, mengeluarkan sepatah katapun. Mengunci bibir penuh Aya itu, dalam belitan basah lidahnya.
“Tell me that you love me, Ay.”
Keduanya terengah, melepas decapan basahnya dengan kening yang masih terhimpit rekat.
“I heart you, kak. For sure.”
-You will always be the girl that fills my heart, my soul, my everything-Astrophile Kaivan.Tubuh keduanya terkulai lemas. Terengah, saling berebut pasokan udara untuk masuk ke dalam paru. Saling memeluk, dan tersenyum puas menikmati sisa-sisa pelepasan dalam kerinduan yang mendera.“I love you.” Ujar sang pria memecah kebisuan.“I love you too.”“I love you more.”“I love you most.”“I love you infinity.”“Ya, ya. I know that you love me to the moon and back, to infinity and beyond, forever and ever.” Decak gadis itu sambil menyerukkan wajah pada leher sang pria. “Dasar pak pengacara, gak pernah mau ngalah!”Keduanya terkekeh bersamaan. Lantas dering ponsel menyela kekehan keduanya.“Hapemu!”Seru mereka bersamaan saat mendengar dering nada I’m Yours yang ditembangkan oleh Jason Mraz. Detik selanjutnya mere
- I will always be here for you. B’cos I feel good, when you feel good –Angkasa Bhanurasmi.Aya memejamkan kelopak mata. Menggulirkan maniknya dengan jengah. Menengadahkan kepalanya sejenak sambil membuang napas dengan keras. Alunan lagu yang diputar oleh Asa di ruang tengah, sudah mengganggu konsentrasinya saat menulis sebuah berita.Ia pun beranjak dari meja yang biasa digunakannya untuk bekerja, di kamar apartemennya.Samar-samar terndengar suara merdu Asa, saat langkah kaki Aya semakin mendekat ke arah pintu.Asa mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Aya sambil terus bersenandung, saat gadis itu membuka pintu kamar.“Yeah, you're looking so rude, looking at me. Baby, that rude girl thing, work, work it on me. Cerquita donde pueda oírte y hacer que te quedes.”Lalu, dengan kedua tangan terangkat, dan pinggul yang bergoyang ala salsa. Asa menghampiri Aya dan menarik tangan saudara perempuannya itu agar
“Aku mau nikah, mam.”Ucapan Astro di tengah-tengah makan malam itu, membuat Aster tidak jadi menyuapkan nasi goreng seafood kesukaan sang anak, kemulutnya sendiri. Aster khusus membuatkan makanan favorit Astro, ketika pria itu menelepon akan pulang dan makan malam di rumah.“Mama gak pernah dengar kamu punya pacar, tahu-tahu ngomong mau nikah?” Aster menarik kursinya mendekat pada Astro. “Siapa?”“Temen kantor dulu, tapi sekarang udah gak sekantor.” Jawab Astro santai sambil menyantap makan malamnya dengan lahap.“Iya siapa? dan udah berapa lama pacarannya?” sebagai seorang ibu, jelas saja Aster sangat penasaran dengan calon menantunya nanti.“Namanya Zetta,”“Kok gak asing? mama kayak pernah dengar di manaaa gitu.” Sahut Aster sembari mengingat-ingat, namun tidak kunjung mendapat petunjuk.“Anaknya tante Melati.” Astro tekekeh pelan sendi
Setelah deadline pekerjannya selesai. Aya memutuskan pergi ke kafe pojok yang letakknya memang di pojok ruko sesuai dengan namanya. Ia hendak mengisi perutnya sebelum kembali pulang ke apartemen. Ruko itu kini sudah banyak berubah, setelah mengalami pergantian pemilik hampir beberapa kali. Setidaknya itu yang ia dengar dari para seniornya.Aya setengah berlari, ketika melihat pintu harmonika ruko tersebut tertutup separuh. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh, karena biasanya kafe tersebut baru tutup sekitar jam sebelas malam.“Lin, kok ditutup separuh?” tanya Aya pada Linda, salah satu pelayan yang sudah di kenalnya. Aya tidak hanya mengenal Linda sebenarnya, tapi ia sudah mengenal seluruh penghuni yang ada di kafe tersebut. Ya, Aya memang seramah dan sehumble itu dengan siapapun, sama seperti Bintang.“Ini juga mau di buka, mbak. lagi pada briefing di atas. Tapi baru selesai.” Jelasnya lalu menyuruh satu lagi pelayan yang bernam
—You’re the only one, who can keep me (in)sane—Abraham Yasa ChandrakeswaraSeorang pria menepuk punggung Andra dengan keras, setelah Aya melenggang pergi dari kafe.“Cewek tadi, siapa? akrab banget.”“Ciyeeh si boss, tadi ada orangnya gak diajakin kenalan. Sekarang udah pergi jauh, panas sendiri.”Yasa, sang pemilik kafe pojok berdecak sebal, ia lantas duduk di depan Andra, sang manajer kafe waralaba miliknya. “Gak gitu, Ndra. Aku kayaknya pernah lihat, tapi di manaaa gitu ya.”“Makanya sering-sering nengokin kafe, kalau aku gak cuti, gak mungkin kamu ke sini.”“Tinggal jawab, Ndra. Gak usah muter-muter.”Selagi Yasa masih mengingat-ingat, Andra mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah aplikasi media sosial. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Andra menyodorkan benda pipih itu kepada Yasa.“Dia wartawan Metro. Cahaya Bhan
Begitu melihat sepasang suami istri dan anak laki-lakinya yang selalu terlihat kompak itu, memasuki restoran. Yasa segera berdiri, memasang senyum ramahnya dengan hormat.“Rombongan nih, pak?” tanya Yasa sembari menyalami sepasang suami istri yang tertawa menanggapi pertanyaannya. Tidak lupa Yasa ber-hi five pada bocah yang berusia 14 tahun itu.“Kebetulan nyonya besar mau nyalon di sebelah, jadi sekalian.” Bintang mengerling pada sang istri yang memberikannya cebikan bibir merahnya. Lalu mereka duduk mengitari meja dan memesan minuman. “Mereka belum datang?” tanyanya pada Daisy.“Telat dikit, Aya sama Asa pulang ke rumah. Jadi, Sinar lagi ceramah sebentar, sebelum si kembar siam itu menghilang lagi dari rumah.”Kalau dirunut ke belakang, justru Asa dan Aya-lah yang lebih terlihat seperti anak kembar. Kedua kakak beradik itu selalu saja kompak, dan kerap terlihat bersama-sama dari pada si kembar yang sebenar
Zetta menghampiri Astro yang masih berkutat dengan laptopnya di ruang tengah. Kedua tangannya mengapit dua buah piring berisi nasi goreng seafood, yang baru saja dibuatnya untuk makan malam. Ia meletakkan kedua piring tersebut berjajar dengan laptop yang ada di meja kaca.“Makan dulu.” Zetta duduk bersila di atas karpet. Meletakkan dagunya pada paha Astro yang duduk di sofa. Kelopak matanya mengerjab beberapa kali, memperhatikan layar datar yang tengah dibaca Astro. “Milliar Paper? Kenapa dari dulu kamu terus ngurusi masalah ini? Emang belum selesai-selesai gitu kasusnya?”Astro mengusap kepala Zetta dan mengecupnya sebentar. “Kasus ini bahkan selesai sudah lama, tapi banyak yang janggal di dalamnya.”“Dan, hampir sepuluh tahun kamu belum nemu di mana janggalnya?”“Lebih sepuluh tahun. Dan, yaa, aku mau buka lagi kasus ini! Sebentar lagi, sedikit lagi.” Zetta mengerucutkan bibirnya tidak
"Papi gak ngelarang kalian jatuh cinta, dan pacaran dengan siapapun di luar sana. Tapi satu yang harus kalian ingat, papi ngelarang kalian untuk jadi bodoh! Don’t let that fvcking love, ruins your future!"Sederet kalimat Pras yang kerap dilontarkan pria itu, ketika Aya dan Asa menginjak usia pubertas, seketika terngiang di kepala Aya.Kini, hasratnya harus berperang dengan logika. Kaos dan celana jeansnya kini sudah tergeletak entah ke mana. Tangan besar Astro, sudah menjelajah di tiap inchi kulit tubuhnya tanpa bisa ditolak. Raganya seakan berkhianat dengan otaknya. Nafsunya tidak sejalan dengan nalar di kepala.“Jaga kehormatanmu, Ay! Dengan begitu, suamimu juga akan menghormatimu.”Saat kalimat Pras tidak mempan menyadarkan Aya. Kini, kalimat singkat sang bunda langsung tepat menampar otak besarnya. Aya buru-buru mendorong tubuh Astro dengan keras, saat pria itu baru saja membuka pengait pakaian dalam yang berada di punggungnya
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &