Arnold menghela nafas panjang, ia mematikan mesin mobilnya lalu melangkah turun dari mobil. Rasanya kepalanya pusing, pening dan sangat lelah. Ia dengan malas melangkah ke dalam rumah, ketika hendak memutar kunci rumahnya, sepeda motor itu melintas dan berhenti di rumah yang ada disebelahnya. Rupanya cewek aneh itu! Dasar cewek jam segini baru balik, eh tapi ini belum malam banget kan ya? Di London sana malah kebanyakan pada nggak balik ke rumah, teller di pub, booking bersama on night stand-nya.
"Dari mana lu cewek jam segini baru balik," teriak Arnold sambil melirik cewek yang tengah melepas helmnya itu.
"Apa urusannya sama elu? Lu siapa gue?" cewek itu balas berteriak.
"Ya iseng aja, pasti cewek modelan kayak elu tuh hobinya jalan-jalan nggak jelas dan habisin duit kan!" ejek Arnold sambil menanyakan bibirnya.
"Eh elu cowok tapi mulut lu macam emak-emak berdaster tau nggak? Rese banget!" tampak cewek itu menjulurkan lidahnya lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Arnold hanya tersenyum kecut dan kembali membuka pintu rumahnya. Ia baru saja hendak melangkah ke kamar ketika terdengar suara ribut dari rumah sebelah.
"Aduh ... Molly kamu kemana sih? Puss ... puss puss puss ...," suara itu terdengar begitu panik, membuat Arnold tersenyum kecut dan menggelengkan kepalanya.
"Dasar nggak jelas, apaan sih yang dia cari?" Arnold hendak melangkah ke kamar ketika kemudian melihat buntelan bulu itu tengah melingkar dengan begitu pulas di keset kamarnya.
"Astaga! Hush ... pergi lu dasar kucing!" teriak Arnold kencang, ia alergi bulu kucing.
Ia sontak naik ke sofa dan merasakan seluruh tubuhnya meremang. Kucing siapa lagi sih ini? Astaga! Ia hendak kembali berteriak ketika kemudian sosok itu muncul dari depan pintu dengan masih memakai rok dan kemeja formalnya.
"Molly, kamu di sini Sayang?" pekik gadis itu kemudian berlari masuk ke dalam dan bergegas meraih kucing kuning gemuk itu dalam gendongan. Mengelus lembut kepala kucing warna oranye itu.
"Bawa pergi sana, gila apa bagusnya sih hewan kayak gitu dipelihara!" teriak Arnold kencang. Ia benar-benar geli dengan hewan berbulu yang banyak dikatakan lucu oleh orang-orang itu.
"Eh, bagus kucing inilah ketimbang elu, gila apa? Cuma psikopat yang nggak suka sama kucing!" balas gadis itu kembali berteriak, matanya melotot sambil menjulurkan lidahnya.
"Heh, gue nggak suka karena gue alergi sama bulunya, bukan karena gue psikopat!" tukas Arnold kesal. Sekata-kata ngatain dia psikopat, dasar cewek ngeselin.
"Sama aja, dasar psikopat!" teriak gadis itu hendak melangkah keluar dari rumahnya.
Arnold benar-benar tidak sabar lagi, ia kemudian menarik tangan gadis itu, membuat gendongan kucingnya terlepas dan gadis itu terhuyung dan jatuh dengan posisi tubuhnya menindih tubuh Arnold.
Mata mereka bertemu, membuat Arnold sadar bahwa ternyata gadis menyebalkan tetangganya itu benar-benar cantik. Iris hitamnya begitu menarik, bulu matanya lentik, bibirnya sensual merona dan kesimpulannya, gadis ini benar-benar cantik!
"Lepasin, elu mau kurang aja sama gue?" teriak gadis itu yang sontak langsung membuat rasa kagum Arnold lenyap entah kemana, baginya cewek ini sedikit gila dan sangat menyebalkan!
"Gue kurang ajar sama elu? Sorry nggak level, mantan gue fotomodel semua, nggak ada yang modelan kayak elu gini!" tukas Arnold lalu bergegas bangkit.
"Cuma mantan kan? Terus pacar elu sekarang mana? Model juga? Artis? Personel girlband?" ejek gadis itu sambil melotot tajam.
"Bawel lu, buat apa elu tanya-tanya pacar gue?" balas Arnold kesal, kenapa sih cewek ini begitu menyebalkan?
"Hanya memastikan kalo elu nggak ...," gadis itu menghentikan kalimatnya, ia seperti teringat sesuatu.
"Molly? Astaga mana lagi kucing itu pergi!" ia bergegas berlari meninggalkan Arnold yang masih emosi di ruang tamunya itu.
"Woe ... bersihin dulu ini bulu kucing elu yang nempel di keset kaki gue!" teriak Arnold kesal, kenapa sih cewek itu sebegitu menyebalkan? Dan kenapa juga ia harus bertetangga dengan sosok itu?
"Arrrggghhh ... lama-lama gue hipertensi!"
***
Sisca sudah kembali memasukkan Molly ke dalam kandang, ia adalah teman suka duka Sisca selama kuliah di sini, tentunya Sisca sangat teramat sayang pada sosok itu. Kucing yang dulu ia temukan di depan minimarket itu sudah begitu besar dan gemuk sekarang, tanda bahwa dia bahagia hidup bersamanya, tanda bahwa Sisca berhasil merawat mahluk kecil kurus kering yang banyak dianggap mahluk menjijikkan oleh beberapa orang.
"Kamu nggak boleh nakal dong, jangan main jauh-jauh, apalagi ke rumah orang rese tadi, nggak boleh ya!" guman Sisca sambil mengelus lembut kepala Molly, ia kemudian bergegas melangkah ke dapur mengambil satu pouch wet food merek kenamaan kesukaan Molly.
"Lapar ya? Nih makan dulu," Sisca menuang wet food itu ke dalam mangkuk milik Molly.
"Anak pintar," guman Sisca sambil tersenyum ketika kemudian Molly dengan lahap menyantap wet food itu.
Senyum di wajah Sisca mendadak lenyap, ia teringat kejadian yang barusan terjadi itu, dimana ya jatuh menimpa sosok itu. Tubuh dan wajah mereka begitu dekat bahkan Sisca dapat mendengar degub jantung laki-laki itu, merasakan hembusan nafasnya menyapa kulit wajah Sisca.
Kenapa mendadak wajahnya memerah? Kenapa ia terus teringat sosok itu? Tapi sungguh sikapnya benar-benar menyebalkan! Rese, kurang ajar dan pokoknya sangat ahh ... membuat Sisca naik darah!
Sisca bangkit dan melangkah ke dalam kamarnya, ia sudah begitu gerah, rasanya ia perlu mendinginkan kepalanya dengan mandi keramas dan sedikit menggosok badannya. Ia hendak melupakan semua kejadian menyebalkan di rumah tetangga barunya itu. Mandi dan tidur, hingga kemudian subuh nanti ia harus bangun dan kembali pergi bekerja.
***
"Pi, aku mau pindah rumah dong, Pi!" renggek Arnold sambil meluruskan kakinya di atas ranjang.Kali ini jika ia tidak berhasil merayu papinya untuk menaikkan gajinya, setidaknya ia bisa merayu papinya untuk memindahkan dia dari komplek perumahan ini. Apartemen kek, atau kemana yang jelas tidak bersebelahan dengan cewek rese yang selalu sukses membuat dia naik darah.
"Apa? Baru dua hari di sana kamu sudah minta pindah?" tampak suara itu setengah menjerit tidak suka.
"Pi, sumpah tetangga samping pas rumah rese banget!" lapor Arnold seperti anak kecil.
"Ya ampun, kamu bertahun-tahun hidup jauh dari orang tua di luar negeri, dan sekarang cuma masalah kayak gitu kamu minta pindah rumah?" tampak suara itu tertawa.
Arnold mendengus, ia memang sudah lama hidup di luar negeri terpisah dari orang tuanya, namun yang perlu digaris bawahi adalah, selama tinggal di luar negeri, ia tidak pernah punya tetangga yang begitu menyebalkan macam gadis itu, tidak ada sama sekali.
"Pi, tapi ini serius nyebelin banget!" tukas Arnold kesal.
"Laki-laki atau perempuan?" tanya suara itu lirih, "Kalau laki-laki ajak berkelahi, kalau perempuan buat dia jatuh cinta!"
"Papi apaan sih?" sergah Arnold kesal. Buat jatuh cinta? Cewek macam itu? Gila apa! Nggak level lah Arnold sama dia, sikapnya bikin geleng-geleng kepala, cantik sih cuma kalau membayang sikap menyebalkan dia, rasanya Arnold pilih jomblo daripada harus berpacaran dengan gadis itu.
"Lha terus gimana lagi sih?" suara di seberang tampak sedikit mengejek nadanya.
"Mau pindah rumah, Pi!" renggek Arnold mirip seperti anak kecil.
"Tidak bisa!" guman suara itu tegas, "Tinggal di sana, bertahan di sana dan kembangkan usaha papi, paham?"
"Tapi Pi ...."
Tut ... Tut ... Tut ...
Arnold membanting iPhone miliknya ke atas ranjang, ia mendengus kesal. Masa iya ia harus bertahan di sini dan jadi tetangga nggak jelas itu? Bisa gila lama-lama, ahh ... Menyebalkan!
"Astaga, ini rumah dijual laku berapa sih?" guman Arnold pada dirinya sendiri.
"Masa iya gue harus terus-terusan naik darah macam ini setiap hari sih?" gerutu Arnold kesal.
Ia pusing, sejak tadi pagi sudah pusing memikirkan pekerjaan dan sekarang ia harus pusing memikirkan tetangga sebelah yang rese bukan main itu.
Ia memejamkan matanya, bakalan tahan berapa tahun dia di sini? Rasanya tidak sampai setahun dua tahun, mungkin dalam beberapa bulan lagi Arnold akan nekat pergi dari sini, entah kemana yang jelas pergi dari sini, ia tidak mau terus-terusan emosi tidak jelas macam ini.
"Ya Tuhan, mau balik ke London saja!"
Hari kedua. Sisca masih begitu menikmati pekerjaannya, belum ada masalah yang berarti yang ia temui. Sejauh ini semua temannya baik-baik semua, tidak ada bullying atau sikap semena-mena dari teman-teman sekantor yang biasanya merasa lebih senior. Sisca sangat berharap semuanya bisa seperti ini, tidak ada drama-drama menyebalkan yang membuat ia jadi tidak betah dan kemudian memutuskan untuk resign, ia tidak ingin resign dari perusahaan besar itu. "Sis, kamu nggak makan siang nih?" sapa Natalie, teman satu divisinya ketika Sisca sedang sibuk menyusun laporan pengeluaran perusahaan bulan ini. "Ntar aja deh Kak, ini nanggung banget deh, duluan aja. Maaf ya Kak," desis Sisca lirih, jujur ia merasa tidak enak, namun mau bagaimana lagi? Ia sedang fokus pada pekerjaan dan mau pekerjaan ini segera selesai. "Oke, santai aja. Aku duluan ya," Natalie tersenyum, lalu melangkah keluar ruangan meninggalkan Sisca yang tengah berkutat dengan tumpuka
"Oke, gue udah bilang ke HRD, mulai sekarang elu jadi personal asisten gue!" guman Arnold lalu meletakkan gagang telepon dan menatap gadis yang duduk di hadapannya itu lekat-lekat."Terus sekarang nih gue ngapain?" tanya Sisca sedikit gemas. Semoga aja sosok itu tidak berusaha mengerjai dirinya."Pertama lu, eh siapa nama lu?" tanya Arnold yang masih menatap wajah Sisca dalam-dalam."Fransisca Andania, panggil saja Sisca." jawab Sisca singkat."Oke Sisca, karena sebentar lagi gue sibuk meeting dan lain-lain, sementara semua sudah diatur sekretaris kantor, jadi elu mending pulang dulu beberes rumah, oke?""Astaga, gue beneran jadi pembokat elu?" teriak Sisca gemas, tapi gajinya? Astaga ... okelah nggak apa-apa dia jadi pembokat, penting duitnya banyak."Kan elu sudah setuju tadi! Dan sini gue butuh nomor elu, ntar lu minta juga nomor sekretaris gue, jadi kalian koordinasi jadwal gue
Arnold bergegas keluar rumah dan melangkah ke rumah yang ada di sebelahnya, siapa lagi kalau bukan rumah si Sisca, ia benar-benar kesal dan gemas dengan gadis satu itu. Bisa nggak sih gadis itu bersikap waras sedikit saja?"Sis ... Sisca, bukan pintunya!" teriak Arnold sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Sisca."Sis! Woi jangan sembunyi deh!" ia terus mengetuk pintu rumah Sisca, gadis itu tidak nampak, rumahnya sepi, dia kemana? Kenapa tidak nampak?Arnold menekan knop pintu rumah itu, pintu terbuka dan rumah itu tampak sepi. Arnold mengerutkan keningnya, memang kemana gadis itu? Motornya ada di rumah, tapi kenapa orangnya tidak ada?Arnold melangkah ke salah satu kamar, kosong! Kamar satunya juga kosong! Arnold menggaruk kepalanya, kemana sih orang itu? Masa iya pergi rumah nggak dia kunci sih?? Ia hendak melangkah ke belakang ketika kemudian secara tidak sengaja ia menabrak seseorang hingga dia terjatuh di lantai.
Pagi ini Sisca sudah begitu rapi dengan kemeja lengan pendek yang ia padukan dengan rok span hitam serta blazer warna biru tua. Rambutnya sudah rapi dan ia bergegas keluar rumah guna pergi ke rumah yang ada disebelahnya itu.Rumah kemarin sudah beres kok, paling tinggal angkat cucian, ia taruh dulu di ruang cuci untuk nanti sore di setrika. Ya ampun, seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bekerja seperti ini.Rumah masih nampak sepi, iya lah masih pukul setengah lima. Ia bebas keluar masuk karena kunci cadangan ada di tangannya. Ketika hendak pergi ke halaman belakang, pintu kamar itu terbuka sedikit membuat Sisca melongok menengok sang empu rumah.Tawa Sisca hampir meledak ketika melihat sosok itu tengah tidur berselimut bedcover gambar Kerropi itu. Benar-benar lucu dan membuat dia geli."Foto lucu nih!" Sisca bergegas merogoh ponselnya, mengambil diam-diam gambar bosnya yang tengah lelap tertidur itu.
Sisca sontak mengeluarkan isi perutnya di saluran pembuangan air di bawah shower, cairan putih kental itu keluar bersamaan dengan isi perutnya yang lain. Rasanya ia benar-benar jijik luar biasa.Arnold masih lemas, namun ia kemudian beringsut turun dan meraih Sisca dalam pelukannya. Sisca dengan kasar mendorong tubuh Arnold, kemudian menamparnya keras-keras pipi laki-laki itu.Dengan wajah pucat dan keringat yang sama derasnya, ia bangkit dan meninggalkan Arnold tanpa sepatah kata apapun! Air matanya tumpah, ia merasa terluka, merasa dilecehkan."Sis, lu mau kemana Sis?" Arnold hendak mengejar sosok itu, namun sayang ia baru ingat kalau dia belum pakai baju!Ia bergegas menghidupkan shower dan mandi, setelah ini ia harus menyusul asisten pribadinya itu. Ia sudah melakukan sebuah kesalahan.***Sisca langsung masuk ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Perlakuan Arnold tadi sama sekali tida
"Masih mual?" tanya Arnold ketika mereka duduk di kursi ruang tamu Sisca. Sisca sudah memaafkan dia dan sekarang mereka tengah berbincang berdua.Sisca hanya mengangguk lemah, ia memejamkan matanya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya benar-benar mual dan sangat tidak nyaman."Gue minta maaf, nggak akan gue ulangi lagi, Sis." desis Arnold lirih."Okelah, awas lu macam-macam, gue patahin leher elu!" ancam Sisca sambil melirik sosok itu tajam."Iya-iya, nggak bakalan lagi kok, serius!" Arnold hanya tersenyum kecut, garang juga cewek rese ini, namun jujur Arnold akui Sisca cukup cantik. Apalagi tadi ketika Arnold mencuri kesempatan mencium bibir itu, sungguh sangat teramat manis."Heh, ngapain lu diem aja? Mesum lagi mesti pikiran lu!" Sisca melempar Arnold dengan bantal sofa."Jangan negatif thinking gitu dong, Sis. Gue masih merasa bersalah ini sama elu," jawab Arnold berboh
"Lu emang nggak pernah pacaran gitu?" tanya Arnold penasaran, ia melirik gadis itu sekilas."Kudu gue jawab ya, Bos?" Sisca sedikit risih, apaan sih pakai tanya soal itu? Pasti bakal dibully dia nanti."Harus dong, gue nggak mau ya ntar pas lu harus nemenin gue meeting atau kemana gitu ada yang cembokur, gue dipukulin, wajah gue yang ganteng ini jadi bonyok, ogah lah!" jawab Arnold asal."Hello ... please ya bisa nggak sih nggak over percaya diri macam ini? Kesel gue sama elu!" Sisca sontak mencak-mencak, alay banget sih orang satu ini? Rasanya sekali-kali ia benar-benar ingin memukul kepala bosnya itu dengan batu atau benda keras lainnya."Gini-gini gue yang gaji elu tahu nggak!" guman Arnold mengingatkan, nampak bibirnya manyun."Iya deh iya, bos mah bebas ya?" Sisca mencebik dasar emang rese orang satu ini."Nah itu tahu, jadi nurut aja deh lu! By the way, lu ada pacar nggak sih? Kalau ada bilang kalau
"Ett ... mau macem-macem lu?" hardik Sisca ketika Arnold muncul masih dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya."Sembarang, gue mau tanya, underwear gue kemana semua?" guman Arnold sambil berkacak pinggang."Oh, masih diruang cuci, Bos. Sudah kering kok," jawab Sisca santai, ia lanjut memasak sarapan."Ambilin dong!" perintah Arnold tegas."Astaga, ambil sendiri kenapa sih, Bos?" gerutu Sisca sambil melirik sosok itu sekilas."Di sini gue apa elu sih yang jadi bos?" Arnold hanya geleng-geleng kepala, nggak ada akhlak bener nih personal asisten satu ini."Oke gue ambilin, elu lanjutin nih masakan!" ujar Sisca sambil melirik tajam ke arah laki-laki yang masih berdiri di depan pintu dan bertelanang dada itu."Gila ya lu!" teriak Arnold kesal, "Gue ambil sendiri deh, dasar nggak ada akhlak bener!"Sisca mencibirkan bibirnya, sebodoh amat, dia sedang masak. Jadi biarlah dia am
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat