Sudah waktunya pulang, Sisca membereskan barang bawaannya. Hari pertama lancar, semuanya berjalan sesuai harapannya. Lancar tanpa gangguan apapun. Dan harapannya untuk selanjutnya tetap seperti ini. Terus seperti ini.
"Kak, masih ada pekerjaan nggak?" tanya Sisca basa-basi, semoga aja tidak ada, jadi dia bisa langsung pulang.
"Nggak ada Sis, kamu pulang aja nggak apa-apa," guman Rizky sambil tersenyum, ia sendiri sudah memberesi barang bawaannya dan bersiap pulang.
"Yasudah Sisca balik duluan ya, Kak."
Rizky hanya mengangguk dan tersenyum, membuat Sisca kemudian melangkah keluar ruangan itu, menyusuri koridor office perusahaan itu. Perusahaan ini adalah perusahaan besar, dan ia benar-benar gembira bukan main bisa diterima bekerja di sini.
Ia merogoh tasnya, meraih iPhone miliknya hendak menghubungi nomor Dita. Ia sudah janji hendak mentraktir sahabatnya itu bukan? Dan hari ini juga dia akan menepati janjinya. Sebagai ucapan terima kasih juga.
"Hallo, cie yang keterima kerja," goda Dita dari ujung telepon.
Sontak senyum Sisca merekah, ternyata rasanya bisa keterima kerja itu sebahagia ini ya? Ini baru keterima, entah bagaimana nanti rasanya kalau sudah gajian yang pertama kali, ah ... Sisca tidak bisa membayangkan!
"Semua berkat kamu bukan? Yuk mampir makan dulu," ajak Sisca sambil terus menyusuri koridor office, ia hendak ke bagian administrasi, karena Dita adalah staff bagian administrasi.
"Asik ih, belum gajian udah ditraktir makan aja!" pekik suara itu begitu riang.
"Mau nggak? Gajian pertama ku besok mau aku kirim buat mama, jadi ya aku traktirnya sekarang aja!" Balas Sisca sambil tersenyum membayangkan bagaimana rasanya gajian nanti.
"Oke, kamu dimana?" tanya suara itu akhirnya mengiyakan.
"Aku di koridor utama nih, mau ke kantor kamu, kamu dimana? Apa janjian di parkiran? Kamu tunggu di sana ya?" guman Sisca sambil tersenyum.
"Oke, tunggu ya!"
Tut
Sisca memasukkan iPhone miliknya ke dalam tas, lalu kembali melangkah menuju parkiran. Hatinya benar-benar riang hingga kemudian di depan ruangan itu ia mendengar suara itu.
"Pi, tolonglah! Kejam amat sih sama aku, Pi?" desis suara itu, rasa-rasanya Sisca tidak asing dengan suara itu.
" ... "
"Masa cuma enam puluh juta sebulan sih, Pi? Omset bisnis papi ini kan milyaran perbulan?" gerutu suara itu lagi.
" ... "
"Pi, kan papi tahu dari dulu uang saku yang mami-papi kasih lebih, mana itu murni cuma uang jajan aja, makan, bensin dan lain-lain tidak termasuk."
" ... "
Sisca menempelkan telinganya di dekat pintu, buset dah orang ini. Dikasih duit enam puluh juta sebulan masih kurang? Siapa sih orang ini? Sisca hendak sedikit lebih dekat menguping ketika kemudian ada yang menepuk pundaknya dengan lembut.
"Eh ... ma-maaf!" desis Sisca yang hampir berteriak.
"Kamu ngapain?" tanya suara itu lirih, rupanya Dita yang menepuk pundaknya.
Sisca menghela nafas lega, untung Dita, coba kalau orang lain, bisa gawat Sisca kena masalah di hari pertama dia kerja, apes banget deh kalau sampai begitu.
"Nggak apa-apa, yuk pergi sekarang!" desis Sisca lalu melangkah meninggalkan depan ruangan itu, sedangkan Dita mengekor di belakang langkah Sisca.
Dita mengerutkan keningnya, kenapa dengan sahabatnya itu? Apa yang tadi dia lakukan di sana? Dia tidak sedang jadi agen KGB, kan? Dia tidak sedang berusaha menjadi mata-mata yang dikirim perusahaan lain untuk menghancurkan bisnis ini, bukan? Eh ... kenapa pikiran Dita bisa sampai sana? Astaga, efek kebanyakan nonton dan baca novel action, sampai kebawa di kehidupan nyata.
"Kamu nguping apaan hayo?" guman Dita sambil menatap Sisca penuh tanda tanya.
"E-enggak kok, emang itu ruangan siapa sih?" tanya Sisca penasaran.
"Itu ruangan Direktur utama perusahaan ini, Sis!" jawab Dita sambil tersenyum.
"Jangan bercanda ih!" Sisca sontak menegang, gila apa ya dia berani menguping pembicaraan direktur utama perusahaan tempat dia kerja! Astaga ... untung tidak ketahuan, kalau sampai ketahuan bisa gawat. Karier Sisca bisa hancur bahkan di hari pertama dia kerja.
"Serius dong, ngapain aku bohong?" Dita melirik sekilas Sisca yang wajahnya memucat itu.
Sisca sontak garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu, kenapa dia asal nguping aja sih tadi? Nggak lihat-lihat dulu ruangan siapa itu? Ah ... agaknya setelah ini ia harus ingat dua hal. Yang pertama, tidak boleh terlalu kepo pada urusan orang, dan yang kedua memastikan terlebih dahulu siapa orang itu sebelum Sisca berniat diam-diam kepo dengan urusan orang itu.
"Waduh untung aku nggak ketahuan tadi ya," desis Sisca kembali garuk-garuk kepala.
"Emang kamu ngapain sih tadi?" Dita menatap heran sahabatnya itu. Ia jadi ikut penasaran dengan apa yang tadi Sisca lakukan di depan ruang kerja Direktur Utama perusahaan tempatnya bekerja itu.
"Tadi cuma nggak sengaja dengar percakapan yang di dalam itu," jawab Sisca lirih, "Bahas duit gede, makanya aku kepo."
Dita menatap Sisca penuh tanda tanya, "Duit gede gimana?"
"Ya intinya yang di dalam itu nggak tahu siapa bilang kalau uang enam puluh juta sebulan itu kurang," jelas Sisca lalu melangkah mendekati motornya.
"Cuma segitu gede? Kamu nggak baca laporan keuangan perusahaan?" Dita tertawa, dasar Sisca.
"Sudah sih, nolnya sampai bikin pusing mata lihatnya," Sisca memanyunkan bibirnya, kapan dia punya duit segitu?
"Nah kenapa heran cuma karena uang enam puluh juta?" goda Dita sambil tertawa.
Sisca hanya menjulurkan lidahnya lalu memakai helm dan memacu motornya pergi dari halaman parkir karyawan itu. Dibelakangnya Dita mengikuti dengan menaiki motor matic kesayangannya.
Ia masih memikirkan suara yang tadi ia dengar, rasanya ia tidak asing dengan suara itu. Ia pernah mendengar suara itu, namun dimana? Dia siapa?
***
Sambungan telepon sudah terputus, usahanya sia-sia. Arnold menghela nafas panjang, sudah fix ternyata uang bulanan dia cuma enam puluh juta dengan CC limit hanya sepuluh juta! Bisa apa yang segitu? Arnold memijit pelipisnya dengan gemas.Mana ia masih harus bayar listrik, air, kuota dan bensin mobil. Mana cukup sih? Arnold menyandarkan tubuhnya di kursi, ia kira jadi direktur utama itu akan menyenangkan. Nyatanya ... astaga kehidupannya malah lebih memprihatinkan.
Arnold melirik jam tangannya, sudah sore. Ia meraih jas hitamnya lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya itu. Di kuncinya ruangan kerja itu, lalu ia melangkah menuju parkiran.
Setelah ini ia masih harus memikirkan pakaian kotornya, ada sih mesin cuci, cuma pakainya bagaimana? Rasanya perlu ia bawa ke laundry yang murah saja cukup kan?
Arnold melangkah masuk ke dalam mobilnya, mampir makan dulu lebih baik bukan? Daripada nanti di rumah dia kelaparan? Dulu di London semua dia tinggal pesan, tinggal pilih karena duit dari mama-papanya melimpah ruah, ia tidak perlu khawatir kekurangan atau kehabisan uang, lah sekarang?
Ia hendak membawa mobilnya ke sebuah restoran elit, namun teringat jumlah uang bulanannya, Arnold mengurungkan niatnya. Ke Hoka-hoka Bento rasanya cukup bukan? Yang jelas ia harus benar-benar melakukan pengiritan!
Ia tersenyum kecut jika teringat kehidupannya dulu, makanannya setiap hari selalu mewah dan elit. Baik di rumah ataupun di luar rumah, ia selalu makan makanan ekslusif.
Dan sekarang? Astaga, mengerikan.
"Gue bener-bener pusing deh kalau mikir harus bisa gunain itu enam puluh juta buat hidup sebulan!" desisnya sambil membawa mobilnya mencari outlet Hoka-hoka Bento terdekat.
"Mana cukup sih duit segitu ya ampun, Papi!" desisnya lagi sambil tersenyum kecut.
Kepalanya mendadak makin pusing, bagaimana ia bisa bertahan nanti? Kehidupannya seolah berbalik seratus delapan puluh derajat!
"Ayo Arnold, mikir deh mikir!"
***
"By the way direktur utama kita itu masih muda banget lho! Anak sulung Pak Gunawan Argadana." Guman Dita membuka percakapan, mereka sudah duduk di sebuah warung steak ternama di kota mereka. Ternama karena murah dan ekonomis.Sisca menatap Dita yang sedang bercerita dengan penuh semangat. Masih muda? Ah ... Bisa saja kan masih muda sudah punya perusahaan, orang bapaknya konglomerat. Macam cerita di novel kan begitu, ada dulu ia baca di W*ttpad anak tiga belas tahun sudah jadi CEO, edan bener dah imajinasi si penulis.
"Ganteng, tinggi tegap dan S2 lulusan London!" cerita Dita dengan berapi-api.
"Sudah pernah ketemu?" tanya Sisca sambil mengunyah steak pesananya. Mereka memesan menu yang sama beef steak dengan mash potato.
"Belum sih, cuma baru dengar-dengar aja," guman Dita sambil tersenyum.
"Sama Choi Siwon gantengan mana?" tanya Sisca asal, kalau macam Choi Siwon, ia mau langsung cari jaran goyang atau Semar mesem. Dia bakal pelet itu orang agar mau nikah sama Sisca, lumayan memperbaiki keturunan plus kondisi ekonomi.
Sontak Dita melempar gumpalan tisu itu ke arah Sisca, Sisca sontak tertawa terbahak-bahak melihat betapa jelek wajah Dita.
"Kenapa jadi disamakan sama Choi Siwon sih?" gerutu Dita sebal. Tentu lah pasti gantengan Choi Siwon kemana-mana, secara dia artis dan anggota grup idol favorit di Korea sana.
"Ya maaf, siapa tahu ganteng kayak Choi Siwon, auto cari Semar mesem aku, biar klepek-klepek sama aku." Sisca kembali mengunyah steak-nya, ahh ... Choi Siwon ....
"Kalau gitu sih aku juga mau kali!" Dita memanyunkan bibirnya, siapa yang tidak mau? Ganteng, kaya raya, macam dapat lotre milyaran bukan?
Sontak Sisca tertawa terbahak-bahak, ia masih memikirkan suara yang tadi ia dengar. Tidak asing tapi siapa? Kenapa rasanya ia mengenali si pemilik suara? Tapi kan katanya itu direktur utama mereka bukan? Masa ia dia pernah ketemu anak sulung pengusaha kaya raya itu sih?
'Dia siapa?'
Arnold menghela nafas panjang, ia mematikan mesin mobilnya lalu melangkah turun dari mobil. Rasanya kepalanya pusing, pening dan sangat lelah. Ia dengan malas melangkah ke dalam rumah, ketika hendak memutar kunci rumahnya, sepeda motor itu melintas dan berhenti di rumah yang ada disebelahnya. Rupanya cewek aneh itu! Dasar cewek jam segini baru balik, eh tapi ini belum malam banget kan ya? Di London sana malah kebanyakan pada nggak balik ke rumah, teller di pub, booking bersama on night stand-nya. "Dari mana lu cewek jam segini baru balik," teriak Arnold sambil melirik cewek yang tengah melepas helmnya itu. "Apa urusannya sama elu? Lu siapa gue?" cewek itu balas berteriak. "Ya iseng aja, pasti cewek modelan kayak elu tuh hobinya jalan-jalan nggak jelas dan habisin duit kan!" ejek Arnold sambil menanyakan bibirnya. "Eh elu cowok tapi mulut lu macam emak-emak berdaster tau nggak? Rese banget!" tampak cewek itu menjulurkan lidahnya lalu melangkah masuk ke
Hari kedua. Sisca masih begitu menikmati pekerjaannya, belum ada masalah yang berarti yang ia temui. Sejauh ini semua temannya baik-baik semua, tidak ada bullying atau sikap semena-mena dari teman-teman sekantor yang biasanya merasa lebih senior. Sisca sangat berharap semuanya bisa seperti ini, tidak ada drama-drama menyebalkan yang membuat ia jadi tidak betah dan kemudian memutuskan untuk resign, ia tidak ingin resign dari perusahaan besar itu. "Sis, kamu nggak makan siang nih?" sapa Natalie, teman satu divisinya ketika Sisca sedang sibuk menyusun laporan pengeluaran perusahaan bulan ini. "Ntar aja deh Kak, ini nanggung banget deh, duluan aja. Maaf ya Kak," desis Sisca lirih, jujur ia merasa tidak enak, namun mau bagaimana lagi? Ia sedang fokus pada pekerjaan dan mau pekerjaan ini segera selesai. "Oke, santai aja. Aku duluan ya," Natalie tersenyum, lalu melangkah keluar ruangan meninggalkan Sisca yang tengah berkutat dengan tumpuka
"Oke, gue udah bilang ke HRD, mulai sekarang elu jadi personal asisten gue!" guman Arnold lalu meletakkan gagang telepon dan menatap gadis yang duduk di hadapannya itu lekat-lekat."Terus sekarang nih gue ngapain?" tanya Sisca sedikit gemas. Semoga aja sosok itu tidak berusaha mengerjai dirinya."Pertama lu, eh siapa nama lu?" tanya Arnold yang masih menatap wajah Sisca dalam-dalam."Fransisca Andania, panggil saja Sisca." jawab Sisca singkat."Oke Sisca, karena sebentar lagi gue sibuk meeting dan lain-lain, sementara semua sudah diatur sekretaris kantor, jadi elu mending pulang dulu beberes rumah, oke?""Astaga, gue beneran jadi pembokat elu?" teriak Sisca gemas, tapi gajinya? Astaga ... okelah nggak apa-apa dia jadi pembokat, penting duitnya banyak."Kan elu sudah setuju tadi! Dan sini gue butuh nomor elu, ntar lu minta juga nomor sekretaris gue, jadi kalian koordinasi jadwal gue
Arnold bergegas keluar rumah dan melangkah ke rumah yang ada di sebelahnya, siapa lagi kalau bukan rumah si Sisca, ia benar-benar kesal dan gemas dengan gadis satu itu. Bisa nggak sih gadis itu bersikap waras sedikit saja?"Sis ... Sisca, bukan pintunya!" teriak Arnold sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Sisca."Sis! Woi jangan sembunyi deh!" ia terus mengetuk pintu rumah Sisca, gadis itu tidak nampak, rumahnya sepi, dia kemana? Kenapa tidak nampak?Arnold menekan knop pintu rumah itu, pintu terbuka dan rumah itu tampak sepi. Arnold mengerutkan keningnya, memang kemana gadis itu? Motornya ada di rumah, tapi kenapa orangnya tidak ada?Arnold melangkah ke salah satu kamar, kosong! Kamar satunya juga kosong! Arnold menggaruk kepalanya, kemana sih orang itu? Masa iya pergi rumah nggak dia kunci sih?? Ia hendak melangkah ke belakang ketika kemudian secara tidak sengaja ia menabrak seseorang hingga dia terjatuh di lantai.
Pagi ini Sisca sudah begitu rapi dengan kemeja lengan pendek yang ia padukan dengan rok span hitam serta blazer warna biru tua. Rambutnya sudah rapi dan ia bergegas keluar rumah guna pergi ke rumah yang ada disebelahnya itu.Rumah kemarin sudah beres kok, paling tinggal angkat cucian, ia taruh dulu di ruang cuci untuk nanti sore di setrika. Ya ampun, seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bekerja seperti ini.Rumah masih nampak sepi, iya lah masih pukul setengah lima. Ia bebas keluar masuk karena kunci cadangan ada di tangannya. Ketika hendak pergi ke halaman belakang, pintu kamar itu terbuka sedikit membuat Sisca melongok menengok sang empu rumah.Tawa Sisca hampir meledak ketika melihat sosok itu tengah tidur berselimut bedcover gambar Kerropi itu. Benar-benar lucu dan membuat dia geli."Foto lucu nih!" Sisca bergegas merogoh ponselnya, mengambil diam-diam gambar bosnya yang tengah lelap tertidur itu.
Sisca sontak mengeluarkan isi perutnya di saluran pembuangan air di bawah shower, cairan putih kental itu keluar bersamaan dengan isi perutnya yang lain. Rasanya ia benar-benar jijik luar biasa.Arnold masih lemas, namun ia kemudian beringsut turun dan meraih Sisca dalam pelukannya. Sisca dengan kasar mendorong tubuh Arnold, kemudian menamparnya keras-keras pipi laki-laki itu.Dengan wajah pucat dan keringat yang sama derasnya, ia bangkit dan meninggalkan Arnold tanpa sepatah kata apapun! Air matanya tumpah, ia merasa terluka, merasa dilecehkan."Sis, lu mau kemana Sis?" Arnold hendak mengejar sosok itu, namun sayang ia baru ingat kalau dia belum pakai baju!Ia bergegas menghidupkan shower dan mandi, setelah ini ia harus menyusul asisten pribadinya itu. Ia sudah melakukan sebuah kesalahan.***Sisca langsung masuk ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Perlakuan Arnold tadi sama sekali tida
"Masih mual?" tanya Arnold ketika mereka duduk di kursi ruang tamu Sisca. Sisca sudah memaafkan dia dan sekarang mereka tengah berbincang berdua.Sisca hanya mengangguk lemah, ia memejamkan matanya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya benar-benar mual dan sangat tidak nyaman."Gue minta maaf, nggak akan gue ulangi lagi, Sis." desis Arnold lirih."Okelah, awas lu macam-macam, gue patahin leher elu!" ancam Sisca sambil melirik sosok itu tajam."Iya-iya, nggak bakalan lagi kok, serius!" Arnold hanya tersenyum kecut, garang juga cewek rese ini, namun jujur Arnold akui Sisca cukup cantik. Apalagi tadi ketika Arnold mencuri kesempatan mencium bibir itu, sungguh sangat teramat manis."Heh, ngapain lu diem aja? Mesum lagi mesti pikiran lu!" Sisca melempar Arnold dengan bantal sofa."Jangan negatif thinking gitu dong, Sis. Gue masih merasa bersalah ini sama elu," jawab Arnold berboh
"Lu emang nggak pernah pacaran gitu?" tanya Arnold penasaran, ia melirik gadis itu sekilas."Kudu gue jawab ya, Bos?" Sisca sedikit risih, apaan sih pakai tanya soal itu? Pasti bakal dibully dia nanti."Harus dong, gue nggak mau ya ntar pas lu harus nemenin gue meeting atau kemana gitu ada yang cembokur, gue dipukulin, wajah gue yang ganteng ini jadi bonyok, ogah lah!" jawab Arnold asal."Hello ... please ya bisa nggak sih nggak over percaya diri macam ini? Kesel gue sama elu!" Sisca sontak mencak-mencak, alay banget sih orang satu ini? Rasanya sekali-kali ia benar-benar ingin memukul kepala bosnya itu dengan batu atau benda keras lainnya."Gini-gini gue yang gaji elu tahu nggak!" guman Arnold mengingatkan, nampak bibirnya manyun."Iya deh iya, bos mah bebas ya?" Sisca mencebik dasar emang rese orang satu ini."Nah itu tahu, jadi nurut aja deh lu! By the way, lu ada pacar nggak sih? Kalau ada bilang kalau
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat