"Masih mual?" tanya Arnold ketika mereka duduk di kursi ruang tamu Sisca. Sisca sudah memaafkan dia dan sekarang mereka tengah berbincang berdua.
Sisca hanya mengangguk lemah, ia memejamkan matanya sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya benar-benar mual dan sangat tidak nyaman.
"Gue minta maaf, nggak akan gue ulangi lagi, Sis." desis Arnold lirih.
"Okelah, awas lu macam-macam, gue patahin leher elu!" ancam Sisca sambil melirik sosok itu tajam.
"Iya-iya, nggak bakalan lagi kok, serius!" Arnold hanya tersenyum kecut, garang juga cewek rese ini, namun jujur Arnold akui Sisca cukup cantik. Apalagi tadi ketika Arnold mencuri kesempatan mencium bibir itu, sungguh sangat teramat manis.
"Heh, ngapain lu diem aja? Mesum lagi mesti pikiran lu!" Sisca melempar Arnold dengan bantal sofa.
"Jangan negatif thinking gitu dong, Sis. Gue masih merasa bersalah ini sama elu," jawab Arnold berboh
"Lu emang nggak pernah pacaran gitu?" tanya Arnold penasaran, ia melirik gadis itu sekilas."Kudu gue jawab ya, Bos?" Sisca sedikit risih, apaan sih pakai tanya soal itu? Pasti bakal dibully dia nanti."Harus dong, gue nggak mau ya ntar pas lu harus nemenin gue meeting atau kemana gitu ada yang cembokur, gue dipukulin, wajah gue yang ganteng ini jadi bonyok, ogah lah!" jawab Arnold asal."Hello ... please ya bisa nggak sih nggak over percaya diri macam ini? Kesel gue sama elu!" Sisca sontak mencak-mencak, alay banget sih orang satu ini? Rasanya sekali-kali ia benar-benar ingin memukul kepala bosnya itu dengan batu atau benda keras lainnya."Gini-gini gue yang gaji elu tahu nggak!" guman Arnold mengingatkan, nampak bibirnya manyun."Iya deh iya, bos mah bebas ya?" Sisca mencebik dasar emang rese orang satu ini."Nah itu tahu, jadi nurut aja deh lu! By the way, lu ada pacar nggak sih? Kalau ada bilang kalau
"Ett ... mau macem-macem lu?" hardik Sisca ketika Arnold muncul masih dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya."Sembarang, gue mau tanya, underwear gue kemana semua?" guman Arnold sambil berkacak pinggang."Oh, masih diruang cuci, Bos. Sudah kering kok," jawab Sisca santai, ia lanjut memasak sarapan."Ambilin dong!" perintah Arnold tegas."Astaga, ambil sendiri kenapa sih, Bos?" gerutu Sisca sambil melirik sosok itu sekilas."Di sini gue apa elu sih yang jadi bos?" Arnold hanya geleng-geleng kepala, nggak ada akhlak bener nih personal asisten satu ini."Oke gue ambilin, elu lanjutin nih masakan!" ujar Sisca sambil melirik tajam ke arah laki-laki yang masih berdiri di depan pintu dan bertelanang dada itu."Gila ya lu!" teriak Arnold kesal, "Gue ambil sendiri deh, dasar nggak ada akhlak bener!"Sisca mencibirkan bibirnya, sebodoh amat, dia sedang masak. Jadi biarlah dia am
"Astaga, Sis!" Arnold memekik keras ketika tahu dimana mereka akan makan siang itu. Gila aja makan di tempat kayak gini!"Apaan sih Bos? Kayak lihat setan deh!" Sisca mencibir, mau protes soal tempat makan? Sisca tampol nih! Dia sendiri kan yang tadi bilang kalau nggak masalah?"Kita mau makan di sini?" pekiknya lagi.Nah kan, benar kan? Dia pasti protes tentang tempat makan yang hendak mereka datangi untuk makan. Pasti seumur-umur anak konglomerat itu belum pernah makan di tempat yang seperti ini bukan? Jadi ia syok dan terkejut bukan main melihat bagaimana tempat yang hendak mereka datangi untuk makan siang."Lha tadi kan gue udah bilang kan Bos? Katanya nggak apa-apa?" kini gantian Sisca yang protes."Ya tapi kan ....""Please deh, tadi kan gue udah bilang, dan jangan khawatir higienitas dijamin kok, rasanya enak juga!" tukas Sisca kesal, pokoknya ia mau makan di sini, lagipula kalau makan di sini kan h
"Jangan lupa cari penitipan kucing, elu kudu ikut gue meeting!" guman Arnold ketika mereka sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Pokoknya Sisca harus ikut dia ke Jakarta, ia akan sangat membantu Arnold di sana nanti."Iya deh iya," Sisca bersandar di kaca dengan malas, hari ini kepalanya agak pusing, banyak sekali berkas-berkas yang harus ia urus, ternyata pekerjaan Arnold itu tidak seenak yang ada dalam pikiran Sisca. Tidak seperti yang ada di sinteron atau drakor yang nampak begitu keren dan mengasyikkan."Eh, elu kenapa sih?" Arnold menoleh sekilas, tampak sosok itu begitu kuyu bersandar di kaca."Puyeng pala gue, Bos. Kerjaan elu seabrek juga ya," Sisca memijit keningnya perlahan."Emang, elu kira jadi direktur itu enak? Tinggal duduk-duduk doang, tanda tangan, meeting, terima duit macam di novel-novel gitu? Hah halu itu namanya!" dengus Arnold sebel."Harus main otak juga, Sis. Nggak dapet proyek, salah ambil ke
Sisca mengerjapkan matanya, ia terkejut ketika mendapati ia tengah tertidur di sebuah kamar yang asing baginya ini. Ini kamar siapa? Sisca bergegas bangkit, ia memeriksa seluruh pakaiannya, utuh! Tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian turun dari ranjang dan keluar dari kamar itu.Rupanya ia masih di rumah bosnya! Tampak Arnold duduk di depan televisi dengan MacBook di hadapannya. Jadi tadi ia tidur di rumah bosnya itu? Tapi bukankah tadi ia berada di dapur? Duduk di meja makan sebelum kemudian ia tidak teringat apa-apa?"Sudah bangun?" tanya Arnold tanpa beranjak dari depan layar MacBook miliknya."Kok gue bisa ada di kamar lu sih, Bos?" tanya Sisca heran, ia ingat betul ia tadi ada di dapur, kenapa bisa pindah ke kamar sih?"Itu kamar tamu, bukan kamar gue!" jawab Arnold yang masih belum beranjak."Sama aja kali, Bos! Ini rumah elu!" guman Sisca kesal! Ngeselin banget sih orang satu ini!"Iya deh, diem-diem d
Sisca hanya geleng-geleng kepala ketika ia melihat sosok itu masih terlelap di bawah selimutnya. Jam segini dan dia masih tidur? Sisca bergegas masuk ke kamar itu, lalu mengguncang lembut bahu Arnold."Bos, bangun woy!" guman Sisca sambil setengah berteriak."Apaan sih, bawel lu!" gerutu sosok itu tanpa membuka matanya."Ini sudah siang, elu mau ke kantor nggak sih?" suara Sisca makin kencang, astaga ini orang kebo banget sih!"Bentaran, masih ngantuk nih!" Arnold tidak peduli, ia masih memeluk gulingnya tanpa sekalipun beranjak dari posisinya."Ah bodo! Telat bukan urusan gue juga kan! Sono lanjut tidur aja sono!" Sisca hendak pergi dari kamar itu ketika kemudian tangan itu menariknya."Eh ... eh ... eh ...," tubuh Sisca terhuyung j
Sisca sudah memasukkan kucingnya ke dalam tas berbentuk roket transparan itu, ia sudah siap membawa kucingnya ke tempat penitipan yang kemari direkomendasikan oleh temannya. Molly sudah siap ia bawa ketika kemudian sosok itu muncul dari depan pintu."Mau kemana Sis?" tanya sosok itu santai, ia datang dengan kaos oblong dan celana kolornya, sangat berbeda dengan penampilannya kalau ke kantor, yang sebar modis, rapi, wangi dan keren."Nih nganterin Molly ke hotel," jawab Sisca santai, ia sudah menggendong tasnya dan meraih kunci motor."Idih, gituan aja dipelihara," Arnold mengerucutkan bibirnya."Daripada pelihara elu, ngeselin, mending pelihara ini lah!" balas Sisca lalu menjulurkan lidahnya.Arnold hendak membalas ketika kemudian ia malah diusir dengan sangat menyebalkan oleh sang pemilik rumah."Hush, sana keluar! Rumah mau gue kunciin!" usir Sisca sadis membuat Arnold geleng-gele
Arnold duduk di kursi yang ada di depan terasnya, sejak tadi ia melirik arlojinya, kemana itu si Sisca? Nganterin kucing aja lama amat sih? Kan dia jadi kesepian! Eh tapi bukankah itu bagus? Artinya dia nggak harus sakit kepala karena sikap rese gadis itu bukan? Tapi jujur, Arnold merasa sepi tanpa gadis itu, kenapa rasanya jadi rindu?Arnold memutuskan untuk bangkit dan masuk ke dalam rumah, tidur sejenak lah mumpung personal asisten somplak itu sedang tidak ada, kalau ada pasti dia tidak bisa tidur bukan? Jadi lebih baik menikmati momen kesendiriannya ini dengan memanjakan mata dan tubuhnya.Sementara itu Sisca masih begitu asyik mengobrol dengan Rizal mengenai perawatan kucing dan lain sebagainya, terkadang mereka tertawa bersama, dengan Molly yang tampak sudah beradaptasi dengan kandang milik klinik yang tentu berbeda dengan kandangnya di rumah."Sis, kamu sudah makan? Makan siang sama-sama yuk! Aku yang traktir deh, gimana?
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat