Sisca sudah memasukkan kucingnya ke dalam tas berbentuk roket transparan itu, ia sudah siap membawa kucingnya ke tempat penitipan yang kemari direkomendasikan oleh temannya. Molly sudah siap ia bawa ketika kemudian sosok itu muncul dari depan pintu."Mau kemana Sis?" tanya sosok itu santai, ia datang dengan kaos oblong dan celana kolornya, sangat berbeda dengan penampilannya kalau ke kantor, yang sebar modis, rapi, wangi dan keren."Nih nganterin Molly ke hotel," jawab Sisca santai, ia sudah menggendong tasnya dan meraih kunci motor."Idih, gituan aja dipelihara," Arnold mengerucutkan bibirnya."Daripada pelihara elu, ngeselin, mending pelihara ini lah!" balas Sisca lalu menjulurkan lidahnya.Arnold hendak membalas ketika kemudian ia malah diusir dengan sangat menyebalkan oleh sang pemilik rumah."Hush, sana keluar! Rumah mau gue kunciin!" usir Sisca sadis membuat Arnold geleng-gele
Arnold duduk di kursi yang ada di depan terasnya, sejak tadi ia melirik arlojinya, kemana itu si Sisca? Nganterin kucing aja lama amat sih? Kan dia jadi kesepian! Eh tapi bukankah itu bagus? Artinya dia nggak harus sakit kepala karena sikap rese gadis itu bukan? Tapi jujur, Arnold merasa sepi tanpa gadis itu, kenapa rasanya jadi rindu?Arnold memutuskan untuk bangkit dan masuk ke dalam rumah, tidur sejenak lah mumpung personal asisten somplak itu sedang tidak ada, kalau ada pasti dia tidak bisa tidur bukan? Jadi lebih baik menikmati momen kesendiriannya ini dengan memanjakan mata dan tubuhnya.Sementara itu Sisca masih begitu asyik mengobrol dengan Rizal mengenai perawatan kucing dan lain sebagainya, terkadang mereka tertawa bersama, dengan Molly yang tampak sudah beradaptasi dengan kandang milik klinik yang tentu berbeda dengan kandangnya di rumah."Sis, kamu sudah makan? Makan siang sama-sama yuk! Aku yang traktir deh, gimana?
"Memang kenapa sih kalau gue pacaran sama dokter hewannya?" tanya Sisca risih, orang satu ini apaan sih? Lama-lama nggak jelas."Yaa nggak apa-apa sih," Arnold tampak garuk-garuk kepala sambil cengengesan, "Eh elu udah packing buat besok? Kok koper gue kosong?"Packing buat besok? Memang besok mau kemana? Sisca mencoba membuka satu persatu file ingatan dalam otaknya dan ia baru ingat kalau besok itu ...."Astaga!" Sisca menepuk kepalanya dengan gemas, berangkat besok pagi kenapa ia sampai lupa sih packing buat dirinya sendiri dan bosnya itu?"Gue mandi duluan deh, habis ini gue packing, jangan khawatir." guman Sisca sambil mengacungkan dua jarinya.Arnold mengangguk pelan tanda mengerti, "Oke, gue balik duluan. Gue tunggu ya!"Sisca mengangguk, ia kemudian buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Arnold hanya menatap sekilas sosok itu, jadi beneran dia pacaran sama dokter hewan? Dokter he
Sisca sedang menyetrika baju-baju Arnold yang kusut karena berantakan itu. Hatinya dongkol setengah mati. Sebanyak ini? Harus ia setrika ulang semua? Bosnya itu memang gila! Apa sih susahnya kalau ambil baju itu diangkat? Nggak di tarik? Nggak ada akhlak memang!Lihat saja kalau sampai berantakan lagi, dia belum tahu kalau Sisca ngamuk kayak gimana!Sisca masih sibuk menyetrika baju-baju itu ketika di sofa ruang tamu, Arnold sejak tadi mondar-mandir menanti sesuatu. Sesekali matanya melirik jam dinding, sesekali juga matanya melirik ke layar ponselnya. Hingga kemudian suara motor yang berhenti di depan rumahnya itu membuat wajahnya berubah cerah.Ia bergegas melangkah keluar, tampak laki-laki dengan jaket hijau-hitam itu sudah berdiri di depan pintu rumahnya."Dengan Mas Arnold Sebastian Argadana?" laki-laki itu tampak menenteng plastik putih di tangan kanannya dan smartphone di tangan kirinya."Bet
Sisca memberesi gelas dan bekas bungkus sandwich, membawa benda-benda itu kembali ke dapur. Mengambil lap untuk membersihkan meja ruang tengah. Setelah semuanya beres, ia kembali melangkah ke ruang laundry. Setrikaannya masih menumpuk.Meski begitu satu liter kopi favoritnya dan sepotong sandwich yang Arnold belikan sontak membuat moodnya membaik. Ia bergegas menyelesaikan semua pekerjaan sebelum kemudian ia harus tidur dan berusaha untuk perjalanan besok pagi.Kalau dipikir-pikir sebenarnya Arnold punya sisi baik juga sih. Selama sikap menyebalkan dan rese-nya tidak kumat. Namun yang terjadi ketika mereka sedang bersama-sama, yang sering muncul adalah sikap rese yang membuat Sisca makin keki. Dia memang cowok gila, dan jangan lupa, menyebalkan!Sisca tersenyum kecut, ia sudah kembali berkutat dengan setrika dan baju-baju Arnold yang kusut itu. Kadang ia membayangkan pasti enak sekali bukan ada di posisi Arnold? Sejak kecil duit ora
Arnold masih belum bisa memenjamkan matanya, pikirannya malah fokus pada tubuh Sisca. Kenapa seindah itu? Ia belum pernah menemukan tubuh seindah itu selama ini! Apalagi bagian inti Sisca tadi ... Astaga, Arnold benar-benar gila!Hanya dengan petting saja Arnold bisa sepuas ini apalagi kalau sampai ....Arnold memaki dalam hati ketika menyadari miliknya sudah tegang kembali, kenapa Sisca begitu luar biasa mempesona sih? Sisca punya daya tarik luar biasa yang belum pernah Arnold jumpai pada wanita manapun. Dan bagaimana cara Arnold kemudian bisa mewujudkan cita-citanya untuk bisa menaklukkan dan memiliki Sisca."Lu bener-bener bikin gue gila Sis!" Desah Arnold lirih, kepalanya malah pusing, bagian bawa tubuhnya kembali meminta lebih! Lantas bagaimana sekarang? Arnold bangkit, melangkah masuk ke dalam kamar mandinya. Mandi air di gunung rasanya bisa untuk meredamkan segala hasrat yang bergolak dalam diri Arnold, sebelum ia kalah
"Nih kunci kamar lu," Sisca menyodorkan kartu akses itu pada Arnold, lalu menyeret kopernya dan melangkah menuju lift."Woy ... Tungguin lah, main nyelonong aja sih?" Arnold benar-benar heran, itu cewek sikap nggak jelasnya kumat lagi, dasar nggak ada akhlak."Cepetan makanya, heran gue jadi cowok kok lelet amat sih?" Sisca berkacak pinggang sambil melotot, benar-benar cowok satu itu menyebalkan!"Bukannya lelet, elu tuh yang kayak di kejar setan! Ngapain sih?" Arnold benar-benar tidak mengerti, ngapaih sih harus terburu-buru?"Gue kebelet! Nggak usah banyak tanya deh, buruan gue udah nggak tahan!" Balas Sisca galak.Sontak tawa Arnold meledak, ia tertawa terbahak-bahak sambil mengusap wajahnya. Rupanya lagi kebelet dia? Pantas kalau jadi tambah garang. Sisca melotot kesal, dia nggak tahu apa namanya orang kebelet itu gimana rasanya? Dasar rese nggak ada akhlak!Pintu lift terbuka,
“Telpon siapa, asik bener?”Sontak Sisca terkejut ketika sosok itu muncul hanya dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubunya itu. Perut sixpack dan lengan berotot milik Arnold terpampang dengan begitu jelas di mata Sisca, membuat Sisca hampir kehabisan nafas melihat pemandangan yang memanjakan kedua matanya itu. Terlebih bulir-bulir air yang masih menempel di dada dan perut Arnold, di tambah rambutnya yang masih begitu basah membuat Sisca makin terbius dengan pesona Arnold Argadana itu.“Pacar lah, emang elu jomblo?” Sisca segera sadar dari pesona sosok itu, ia bangkit kemudian bergegas melangkah keluar kamar, membiarkan laki-laki itu mengganti pakaiannya. Lagipula bisa gawat kalau Sisca tetap berada di kamar itu, tahu sendiri kan bahwa bosnya itu tukang mesum?Arnold mendengus kesal, pacarnya? Si dokter hewan itu? Pantas saja ia begitu gembira mendapat panggilan telepon itu! Dari dia rupa-rupanya. Arnold entah mengapa menjadi begitu
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat