Arnold tersenyum ketika mendapati Sisca sudah duduk menantinya di sofa ruangan kerja pribadi Arnold. Selain lega melihat Sisca baik-baik saja, ia juga makin semangat kalau Sisca ada di sini. Ya kalau dia mau di tahan di sini untuk menemani Arnold kerja hari ini.
Sisca tersenyum, bangkit lalu memeluk Arnold erat-erat, sebuah tindakan yang entah mengapa membuat Arnold begitu bahagia luar biasa. Ia balas memeluk, mendekap erat wanita kesayangannya itu lantas menjatuhkan kecupan di puncak kepala.
"Pagi-pagi kabur duluan, ujungnya juga nyamperin, kan?" Gumamnya sambil mendekap erat-erat wanita tercintanya itu.
"Need your help, Darl!" Bisik Sisca sambil menengadahkan kepala menatap Arnold.
"Astaga!" Arnold melepaskan pelukan, menutup matanya dengan tangan. "Jadi kamu kesini cuma karena memerlukan bantuan dariku?"
Sisca sontak nyengir lebar, melepaskan tangannya dari tubuh Arnold. Arnold kini berkacak pinggang, menatap gemas ke arah Sisc
Sisca menutup kopernya. Tinggal malam ini yang artinya besok pagi dia sudah harus ke bandara dan terbang dengan penerbangan eksekutif guna sampai Jakarta. Ia menyingkirkan koper itu dari atas ranjang, meletakkan benda itu dibawah dan menjatuhkan diri ke atas ranjang.Perasaan ragu dan khawatir kembali menyergap Sisca. Apakah besok perjalanannya akan membuahkan hasil? Berhasilkah seorang Gunawan Argadana luluh dan merestui rencana mereka untuk menikah?Sisca terlalu serius pada pikirannya sampai tidak sadar Arnold sudah berdiri di depan pintu kamar. Tersenyum penuh arti menatap Sisca dari tempatnya berdiri."Baju udah, semua udah beres. Terus sekarang galau mikirin apa lagi, Sayang?" Arnold melangkah masuk ke dalam kamar, jongkok tepat di depan Sisca sambil meraih tangan kekasihnya itu."Boleh tanya?" Sisca menatap mata itu, Arnold sontak mengangguk pelan dan tersenyum sebagai jawaban atas permintaan Sisca."Seumpama be
Sisca berjalan dengan begitu anggun di sisi Arnold yang mendorong troli berisi koper mereka. Jangan salahkan Sisca kenapa harus Arnold yang susah-susah melakukan itu, Sisca sudah hendak membawa kopernya sendiri tetapi lelaki itu menolak. Jadilah kini ia macam nyonya besar yang tampil stylish melangkah santai nan anggun dengan tas seharga tujuh puluh juta yang dia bawa.Tas yang kemarin Arnold paksa dia untuk pakai pada hari ini. Tas yang baru kemarin Arnold belikan hanya demi kedatangan mereka bertemu sosok itu."Kita langsung pulang?" Tanya Sisca sambil mengerutkan dahi, dia masih dengan celana panjang hitam dan kemeja yang tampak sangat santai."Mampir apart dulu deh, undangan kita jam makan siang, kan? Ini baru jam sembilan." Jawab Arnold sambil sesekali memperhatikan orang yang lalu lalang di pintu masuk.Alis Sisca berkerut. Apart? Apartemen maksudnya? Punya siapa? Ah! Sisca kembali lupa bahwa lelaki yang bersamanya ini harta
“Wow!”Itu kalimat yang keluar dari mulut Sisca begitu mereka sampai di apartemen yang tadi Arnold maksud. Ini apartemen atau penthouse? Ah Sisca salah! Penthouse tentu akan lebih mewah dari ini, bukan?“Ini punyaku, hadiah dari mami pas aku ulangtahun ke tujuh belas.” Jelas Arnold sambil nyengir lebar.Sisca hanya membelalakkan mata sambil menggelengkan kepala. Begitu takjub dan luar biasa terpukau oleh bagaimana orang-orang kaya menghabiskan uang mereka. Hadiah anak ulang tahun apartemen semewah ini?“Kau bisa istirahat sebentar, Sayang. Setelah itu mandi, siap-siap dan kita pergi ke rumah. Aku mau nelpon mami dulu!”Sisca tidak banyak bicara, ia melangkah mendekati pintu yang tadi Arnold tunjuk. Dibukanya pintu itu dan sekali lagi dia dibuat terkejut dengan betapa mewah dan berkelas desain interior ruangan tidur dengan kasur super besar yang ada di tengah ruangan.“Amazing!” gumamnya s
Sisca menyalakan shower, membiarkan guyuran air itu membasahi seluruh tubuhnya. Panas yang tadi menjalar ke seluruh tubuh mulai menurun. Tubuhnya yang tadi begitu lengket luar biasa kini sedikit lebih segar dan terasa lebih ringan.Arnold benar-benar lelaki paling mesum yang pernah dia temui dalam sepanjang hidupnya! Mereka ada agenda penting dengan orang yang sangat menetukan akhir hubungan mereka, dia malah bisa-bisanya memaksa Sisca melakukan hal ini terlebih dahulu? Benar-benar somplak memang lelaki satu itu.Sisca bersadar di tembok, menempelkan dahinya di tembok dan membiarkan guyuran shower membersihkan tubuhnya dari segala macam keringat dan sisa-sisa pergumulan panas mereka beberapa menit yang lalu.“Dasar menyebalkan!” desis Sisca yang lantas mengangkat kepalanya yang menempel di tembok. Walau tidak dipungkiri Sisca begitu menikmati semua sentuhan dan permainan Arnold yang tidak pernah gagal membuatnya melayang tinggi ke awang-awang.
Linda benar-benar khawatir, kenapa Gunawan lantas jadi banyak diam seperti ini? Wajah garang dan kaku yang dia lihat kan beberapa saat yang lalu sontak hilang entah kemana. Sebenarnya ada apa? Jangan bilang kalau dia ada masalah di kantor, hingga wajah kerasnya sontak melunak. Atau jangan-jangan .... Linda masih mencoba berspekulasi, masih berusaha menerka-nerka ketika kemudian sosok dengan setelan jas rapi itu masuk ke dalam rumah, nampak menundukkan kepala sebagai wujud hormat. Hal yang lantas membuat Gunawan mengangkat wajah dan menatap laki-laki itu dengan saksama. "Sudah datang?" Tanya Gunawan sebelum sosok itu lebih dulu buka suara. "Sudah, Bapak. Tuan dan calon istri sudah tiba!" Lapor sosok itu dengan sopan dan penuh hormat. "Suruh masuk! Bilang kalau sudah ditunggu!" titah Gunawan tanpa ekspresi. Linda makin takut, khawatir dan risau dengan sikap yang Gunawan tunjukkan. Sejak tadi ia benar-benar tidak ten
"Nggak tidur sini? Memang kalian langsung mau balik?' hari sudah hampir malam, acara makan siang mereka berlanjut dengan ngobrol santai berempat dan minum teh bersama di halaman belakang, hal yang saat ini masih mereka lakukan. "Kita ada urusan lain sih, Pi. Jadi maaf nggak bisa menuhin permintaan Papi buat nginep di sini." Gunawan mengangguk pelan. Nampak ia kemudian menghirup udara banyak-banyak. Meraih cangkir tehnya dan menyesap cairan itu perlahan-lahan. "Matangkan rencana kalian mau bagaimana. Acara untuk seumur hidup sekali kalian, jadi tolong pikirkan baik-baik." Nasehat Gunawan seraya meletakkan kembali cangkir ke meja. Sisca dan Arnold kompak mengangguk, membuat Linda tidak tahan lagi untuk ikut buka suara. "Untuk gown-nya, nanti Mami yang urus deh, Sis. Nggak usah sewa. Kita pesen aja nanti buat disimpen jadi kenang-kenangan. Rencana Mami udah bidik desainer sih, tinggal kamu cocok yang mana?" Tentu Linda jad
Burhan tengah berkutat dengan laptop dan beberapa jurnal-jurnal yang sengaja dia print out untuk mempermudah kerjanya, ketika di sore hari itu tiba-tiba ponselnya berdering.Tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop, tangan Burhan terulur meraih benda itu. Setelah membaca So apa yang meneleponnya, Burhan baru mengalihkan pandangannya dari layar.Sisca?Anak gadisnya itu menelepon? Ada apa? Mendadak hati Burhan seperti di remas-remas. Bukankah tadi Sisca dan kekasihnya itu pamit hendak ke Jakarta? Berencana menemui sosok Gunawan Argadana yang bisa di bilang adalah rival masa lalu Burhan dan perebutan ibu dari calon menantunya itu.Apakah Sisca mendapatkan perlakuan yang sama dengan apa yang dulu Burhan dapatkan ketika menemui orang tua dari Linda? Tetapi, bukankah Linda sudah berjanji akan mengurus semuanya? Akan berusaha sekuat tenaga tidak membiarkan masa lalu kembali terulang. Berjanji hendak tetap membuat mereka bersama tidak pedu
Linda tertegun, ia masih menatap sang suami dengan seksama. Begitu pula dengan Gunawan, masih menatap Linda sambil meremas tangan sang istri dengan begitu lembut."Ka-kau ...." Mata Linda memerah, lidahnya mendadak kelu, membuat Gunawan lantas meraih sang istri dalam pelukannya.Linda pasrah, tidak menolak atau hendak melepaskan diri. Ia jatuh pada dada Gunawan, menenggelamkan wajah dan menahan kuat-kuat air matanya."Nangis aja kalo pengen nangis. Biar kamu lega. Aku nggak apa-apa kok."Mendengar suara itu begitu lembut tanpa nada kemarahan atau apapun membuat tangis Linda benar-benar pecah. Ia meraung terisak dalam pelukan lelaki yang sudah memberinya dua orang anak itu. Sementara Gunawan, matanya ikut memerah. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya guna melepaskan rasa sesak di dada."Aku tau, ketika dulu kau setuju menikah denganku, kamu masih begitu mencintainya, bukan?" Desis Gunawan sambil mengelus lembut kepala sang i
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat