"Brruukkkk !"
Fransisca tersentak luar biasa ketika suara gaduh itu mengejutkan dirinya yang tengah berkutat membuat curriculum vitae dan application letter untuk acara interview-nya besok pagi. Ia sontak bangkit dan melangkah ke luar rumah.
"Ya ampun, heh kalau nyetir pakai mata dong!" umpatnya ketika rak tanamannya jatuh dan beberapa pot bunganya pecah.
"Kok jadi elu yang ngegas sih, harusnya gue dong, lihat itu mobil gue jadi lecet gara-gara itu rak tanaman lu yang nggak jelas ini!"
Fransisca melotot, sosok laki-laki itu sama melototnya. Siapa sih orang ini? Nggak sopan banget jadi orang?
"Mobil elu lecet karena elu sendiri yang nggak pakai mata, bisa-bisanya sih rak di situ elu tabrak?" Fransisca tidak mau kalah, lagian ini kan wilayah rumah dia, sedang laki-laki asing ini bukan warga perumahan sini kan?
"Elu yang salah, lu tau? Ini sudah masuk wilayah depan rumah gue!"
Fransisca sontak makin melotot, "Depan rumah elu?" Fransisca berteriak, tangannya sudah standby di pinggang.
"Iya, ini rumah gue!" guman laki-laki itu sambil menunjuk unit perumahan yang terletak tepat di sebelah kanan rumahnya.
"Gue nggak salah denger? I-ini rumah elu?" Fransisca mendekati sosok itu, "Ini rumah keluarga Pak Toni!"
"Iya, dan sudah gue beli, mau apa lu?" tantang sosok itu yang masih melotot.
"Astaga, apes!" gerutu Fransisca sambil memijit keningnya.
"Apanya yang apes?" guman laki-laki itu yang masih berkacak pinggang.
"Gue yang apes punya tetangga kayak elu!" bentak Fransisca kesal.
"Lu kira gue nggak bakal apes gitu? Punya tetangga modelan kayak elu? Main serobot lahan orang lagi!" sosok itu tidak mau kalah, perselisihan mereka masih begitu sengit.
"Lahan elu? Eh ini lihat pager ini, rak tanaman gue masih masuk lahan gue!" Fransisca menunjuk tembok depan rumahnya, tentulah rak itu masih masuk di wilayahnya, dasar orang satu ini aja parkir nggak pake mata!
"Tapi itu masuk dikit ke lahan gue, jadi nabrak kan mobil gue!" sosok itu masih tidak mau kalah.
"Ihh ... dasar ngeselin! Ganti rugi pot gue pecah tuh!" suara Fransisca masih melengking tinggi, pokoknya ia minta ganti rugi.
"Lu juga gantiin nih mobil gue, lecet semua!"
Laki-laki itu masih berkacak pinggang dan melotot kesal ke arah Sisca, membuat Sisca sontak membelalakkan mata menatap sosok itu dengan tatapan sangat tidak suka.
"Lu yang nabrak kenapa jadi gue yang harus gantiin?" Fransisca benar-benar kesal dengan laki-laki itu, pendatang baru sudah kebanyakan tingkah.
"Kan mobil gue lecet gegara pot elu!" Sosok itu benar-benar tidak mau mengalah.
Fransisca sudah tidak sabar lagi, ia meraih pot tanah liatnya yang masih utuh lalu melemparkannya ke depan mobil laki-laki itu.
"Eh ... eh ... gila lu, makin rusak mobil gue, dasar gila ya!" pekik laki-laki itu lalu meraih tangan Sisca, mengecengkeramnya dengan erat.
"Lu tuh ngeselin tahu nggak!" Sisca hendak melepaskan genggaman tangan laki-laki itu.
"Apa bedanya sih sama elu, ganti nggak mobil gue!" laki-laki itu masih ngotot minta ganti rugi.
"Ogah!" Sisca melepaskan genggaman tangan laki-laki itu, berbalik badan lalu menjulurkan lidahnya dan masuk ke dalam rumah.
"Dasar cewek aneh!"
Sisca mendengar umpatan itu namun ia tidak peduli, ia lebih memilih masuk ke dalam dan menyelesaikan pekerjaannya. Besok pagi ia harus sudah di kantor Dita dan interview guna mendapatkan pekerjaan itu, posisi staff keuangan di perusahaan tekstil yang masuk dalam kategori perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara.
"Mimpi apaan sih dapat tetangga rese macam itu?" gerutu Sisca sambil menekan-nekan keyboard laptopnya dengan gemas.
"Belum satu hari di sini, eh sudah bikin ulah, gimana kalau sebulan, setahun, bisa gila gue!" Sisca masih benar-benar kesal, kenapa harus laki-laki itu sih yang beli rumah keluarga Pak Toni? Kenapa harus dia?
Sisca mencoba menekan semua rasa kesalnya, ia fokus mengerjakan curriculum vitae itu dan melupakan semua kejadian menyebalkan yang terjadi barusan. Harapannya semoga kehadiran tetangga rese itu tidak merusak hari-harinya di rumah. Jangan sampai!
***
Arnold membanting pintu kamar dengan kesal, baru saja tiba di rumah ini eh dia sudah dibikin kesal sama cewek nggak jelas itu. Sialnya lagi rumah mereka bersebelahan! Gila nggak tuh! Kepala Arnold jadi makin pening.Arnold bergegas merogoh sakunya, mengambil iPhone XII-nya dan bergegas menghubungi nomor itu.
"Hallo, gimana Ko?" suara itu langsung menyapa pendengaran Arnold ketika panggilannya terangkat.
"Pi, Papi serius Pi nyuruh Arnold tinggal di rumah kayak gini?" protes Arnold sambil menatap sekeliling kamarnya, kamar yang bahkan dengan kamar mandi kamarnya yang ada di Jakarta sana lebih besar kamar mandi kamarnya.
"Lho masih bagus papa kasih fasilitas rumah, Nold!" suara itu tampak tertawa, "Kamu harus belajar memulai semuanya dari nol, Arnold. Karena dulu papi mulai semua usaha yang sekarang sudah besar ini juga dari nol."
"Tapi nggak gini juga dong, Pi!" Arnold masih protes.
"Sudahlah, masih mending kan, rumah sudah lengkap seisinya, masih papi kasih mobil juga, masih papi kasih CC, kurang apa sih?"
"Tapi Pi ...," Arnold sampai tidak bisa berkata-kata lagi, apaan mobil cuma Honda Mobilio, CC limit sepuluh juta doang. Bisa apa memang dia?
"Jangan membantah oke? Awasi dan kendalikan usaha papi di sana dengan baik. Masa depan perusahaan itu ada di tanganmu. Biar usaha papi yang biayain kamu sekolah sampai London nggak sia-sia."
"Pi, Arnold lanjut S3 lagi aja deh ya."
"Nggak bisa, kemarin kamu papi tawari lanjut S3 kamu nolak kan?"
Arnold menghela nafas dengan kasar, kalau tahun begitu kemarin ia mau disuruh lanjut S3 di London, daripada dikasih perusahaan tapi harus begini amat. Uang di batasi, rumah seadanya kayak gini, mobil cuma mobil murah, ya ampun ... mana Arnold yang dulu? Glamour, berdompet tebal, hobi pesta?
"Pi, CC limitnya ditambahin dong, masa iya sebulan cuma sepuluh juta sih?" Arnold protes keras, dulu waktu kuliah saja limit CC-nya sampai dua ratus juta sebulan!
"Nggak bisa, kamu harus belajar kelola uang dengan sebaik-baiknya! Paham? Nanti kan sebulan kamu masih dapat gaji," jawab suara itu tegas.
"Berapa? Lima ratus juga gaji aku, Pi?" tanya Arnold dengan semangat.
"Sembarangan, enam puluh juta cukup lah."
"APA?" Arnold memekik keras, perusahaan yang dia pegang sebesar itu, dia jadi direktur utama dan gajinya cuma enam puluh juta?
"Pi, aku ini di sana jadi direktur utama atau staff manajer sih?" protes Arnold keras, gila apa? Income pabrik itu sebulan milyaran dan dia cuma diberi papinya enam puluh juta?
"Harusnya kamu bersyukur, baru kerja pertama kali sudah segede itu gajimu, coba kamu kerja di perusahaan lain, nggak bakalan segitu gede gajimu, Norld!"
Arnold mendengus kesal, apa-apaan ini? Kerja ikut orang tua sendiri kenapa malah jadi kayak kerja ikut Jepang di masa penjajahan dulu sih?
"Ah sudahlah, intinya jalani dulu, belajar pakai uang dengan bijak dan jangan banyak mengeluh. Papi tu ...."
"Tunggu, jangan di tutup dulu, Pi!" teriak Arnold ketika panggilannya hendak ditutup papinya.
"Apa lagi?"
"Pi, ini nggak ada asisten rumah tangga gitu ya?" Arnold garuk-garuk kepala, ia sama sekali tidak bisa melakukan pekerjaan rumah.
"Usaha sendiri, kalau mau cari asisten, silahkan, tapi kamu bayar sendiri jasanya, papi tidak mau tanggung biayanya."
Tut!
Sambungan telepon terputus, Arnold mengumpat dalam hati. Sekejam ini papinya menggembleng dia selepas selesai kuliah? Luar biasa sekali!
Arnold bangkit dan melangkah keluar kamar, ia berjalan mengelilingi rumahnya. Rumah dengan dua kamar, satu kamar mandi, dapur, ruang tamu itu benar-benar kecil! Baginya yang biasa tinggal di rumah di lahan hampir satu hektar, tentu rumah ini benar-benar kecil. Astaga, masih mending dia dibelikan apartemen saja.
Arnold melangkah ke dapur, lengkap sih, semua perintilannya sudah tersedia. Hanya saja ia tidak bisa memasak, tidak bisa mencuci baju dengan mesin, seterika dan lain sebagainya. Lalu bagaimana nanti dia menjalani kehidupannya di sini?
"Papi benar-benar nggak tanggung-tanggung nyiksa anak!"
***
"Selesai!" guman Sisca riang ketika semua surat-surat yang ia perlukan untuk interview besok sudah beres.Ia bergegas mencetak dokumen itu dengan printer yang tersedia di kamarnya. Akhirnya setelah ia menganggur hampir setengah tahun selepas di wisuda, ia dapat perkerjaan juga. Ya untung saja Dita sebagai asisten HRD memberinya informasi lebih dulu sebelum informasi lowongan pekerjaan itu di share ke khalayak umum.
Enaknya punya orang dalam seperti ini bukan? Kalau besok HRD cocok dengan Sisca bisa dipastikan ia akan langsung bekerja. Itu juga akan mempermudah pekerjaan HRD karena tidak perlu repot-repot mengadakan interview dan lain sebagainya. Apalagi Sisca sudah mendapat rekomendasi dari Dita.
Sisca bergegas memasukkan berkas-berkas itu ke dalam map, ia melirik kemeja dan rok yang sudah ia siapkan untuk interview besok, rasanya ia sudah sangat tidak sabar!
Bagaimana rasanya punya pekerjaan? Punya gaji sendiri? Punya penghasilan sendiri tanpa perlu merengek minta di transfer uang oleh orangtuanya? Sisca jadi tersenyum sendiri membayangkan semua itu.
Setelah membereskan laptop dan lain sebagainya, ia bergegas keluar kamar. Tetangga samping tidak terlihat aktifitasnya, mungkin tidur karena mobil silver itu masih terparkir di depan rumah yang berada tepat di sampingnya itu.
Namun apa pedulinya dia? Ia memilih melangkah ke dapur, ia lapar. Jadi lebih baik ia memasak sesuatu bukan? Ia membuka pintu kulkasnya, nampak beberapa sayuran dan buah ada di dalam sana. Freezer kulkasnya ada banyak frozen food yang ia simpan untuk persediaan.
Mungkin masak mie kuah pedas dengan sayuran dan frozen food enak di cuaca mendung seperti ini. Ia tersenyum, meraih kotak T*pperware tempat ia menyimpan semua makanan beku favoritnya. Beberapa sayuran dan tidak lupa telur.
Cuma masak seperti ini apa susahnya? Ia tersenyum, untung sejak kuliah ia sudah biasa masak sendiri. Rumah ini pemberian orangtuanya yang sudah ia tempati semenjak memutuskan untuk kuliah di universitas negeri di kota ini. Memang orangtuanya sedikit berada, namun sejak lulus SMA dia sudah dituntut mandiri.
Bau harum itu sontak merebak, membuat suasana hati Sisca yang sebelumnya begitu buruk itu menjadi lebih baik. Persetan lah dengan tetangga rese itu, yang penting dia dia membuat onar dan membuat masalah dengannya.
***
Arnold yang tengah berbaring di sofa itu sontak terkejut ketika indera penciumannya menangkap bau harum itu. Harum sekali, masakan siapa ini?Arnold duduk dan menikmati aroma yang begitu memanjakan indera penciumannya itu. Pas banget perut dia sedang lapar-laparnya ini, tapi masakan siapa ini? Kenapa wangi sekali? Ahh sial!
Arnold bergegas bangkit dan melangkah ke depan rumah, bau itu makin menguar dan membuat perut Arnold makin keroncongan. Ia mencoba mencium-cium dari mana aroma itu berasal dan deteksi hidungnya berhenti di rumah yang tepat berada di sisinya itu.
Cewek rese tadi bisa masak? Seharum ini baunya? Arnold hanya tersenyum kecut, ia kembali masuk dan meraih iPhone-nya. Membuka aplikasi G*jek, hendak memesan makanan via aplikasi itu.
Hanya ini yang bisa ia lakukan bukan? Mau masak? Mana bisa? Meskipun semua perlekapan masak memasak begitu lengkap di dapur, tapi Arnold bisa apa? Dia bukan Chef Arnold Poernomo!
Arnold tersenyum kecut, sepertinya ia benar-benar perlu punya asisten rumah tangga deh! Siapa nanti yang cuci bajunya? Membersihkan rumah ini? Masak dan lain-lain? Tapi nanti berapa gajinya? Dan apa ada orang yang bisa ia percaya, mengingat ia baru di sini, dan tidak kenal siapapun di sini.
Sekali lagi Arnold mendengus kesal, kenapa sih begini amat papinya itu? Kejam banget nyiksa anak kayak gini? Jabatannya besok memang tinggi, tapi dengan kondisi rumah seperti ini, mobil murah di depan sana, ya ampun jomplang sekali dengan jabatannya di kantor!
"Papi, lihat saja akan Arnold buktikan bahwa kelak Arnold akan lebih sukses dari papi!"
Sisca mengerjapkan matanya ketika alarm dari iPhone miliknya berdering, sudah pukul lima dan ia harus segera bangun. Hari ini hari pentingnya, jadi ia harus segera bergegas. Ia duduk di ranjangnya, mengikat rambut panjangnya dan menguap sejenak. Sisca berusaha membuka matanya lebar-lebar, rasa kantuk itu masih menguasainya. Setelah ia rasa nyawanya sudah full terisi, ia bergegas turun dari ranjang dan melangkah ke luar kamar. Pertama yang ia lakukan adalah mencuci mukanya, air dingin yang menyapa wajahnya sontak membuat wajahnya segar seketika. Sisca tersenyum, ia kemudian melangkah ke depan rumah guna mengambil handuk yang ia jemur di jemuran depan rumah. Ia melirik sekilas tetangga rese barunya, masih sepi. Rumahnya gelap, mungkin dia belum bangun. Namun Sisca tidak peduli, ia bergegas kembali masuk guna mandi dan bersiap-siap berangkat interview. Bodoh amat sama laki-laki rese sebelahnya itu. Ia melangkah ke dalam kamar mandi, melepas semua bajuny
Sudah waktunya pulang, Sisca membereskan barang bawaannya. Hari pertama lancar, semuanya berjalan sesuai harapannya. Lancar tanpa gangguan apapun. Dan harapannya untuk selanjutnya tetap seperti ini. Terus seperti ini. "Kak, masih ada pekerjaan nggak?" tanya Sisca basa-basi, semoga aja tidak ada, jadi dia bisa langsung pulang. "Nggak ada Sis, kamu pulang aja nggak apa-apa," guman Rizky sambil tersenyum, ia sendiri sudah memberesi barang bawaannya dan bersiap pulang. "Yasudah Sisca balik duluan ya, Kak." Rizky hanya mengangguk dan tersenyum, membuat Sisca kemudian melangkah keluar ruangan itu, menyusuri koridor office perusahaan itu. Perusahaan ini adalah perusahaan besar, dan ia benar-benar gembira bukan main bisa diterima bekerja di sini. Ia merogoh tasnya, meraih iPhone miliknya hendak menghubungi nomor Dita. Ia sudah janji hendak mentraktir sahabatnya itu bukan? Dan hari ini juga dia akan menepati janjinya. Sebagai ucapan terima kasih juga.
Arnold menghela nafas panjang, ia mematikan mesin mobilnya lalu melangkah turun dari mobil. Rasanya kepalanya pusing, pening dan sangat lelah. Ia dengan malas melangkah ke dalam rumah, ketika hendak memutar kunci rumahnya, sepeda motor itu melintas dan berhenti di rumah yang ada disebelahnya. Rupanya cewek aneh itu! Dasar cewek jam segini baru balik, eh tapi ini belum malam banget kan ya? Di London sana malah kebanyakan pada nggak balik ke rumah, teller di pub, booking bersama on night stand-nya. "Dari mana lu cewek jam segini baru balik," teriak Arnold sambil melirik cewek yang tengah melepas helmnya itu. "Apa urusannya sama elu? Lu siapa gue?" cewek itu balas berteriak. "Ya iseng aja, pasti cewek modelan kayak elu tuh hobinya jalan-jalan nggak jelas dan habisin duit kan!" ejek Arnold sambil menanyakan bibirnya. "Eh elu cowok tapi mulut lu macam emak-emak berdaster tau nggak? Rese banget!" tampak cewek itu menjulurkan lidahnya lalu melangkah masuk ke
Hari kedua. Sisca masih begitu menikmati pekerjaannya, belum ada masalah yang berarti yang ia temui. Sejauh ini semua temannya baik-baik semua, tidak ada bullying atau sikap semena-mena dari teman-teman sekantor yang biasanya merasa lebih senior. Sisca sangat berharap semuanya bisa seperti ini, tidak ada drama-drama menyebalkan yang membuat ia jadi tidak betah dan kemudian memutuskan untuk resign, ia tidak ingin resign dari perusahaan besar itu. "Sis, kamu nggak makan siang nih?" sapa Natalie, teman satu divisinya ketika Sisca sedang sibuk menyusun laporan pengeluaran perusahaan bulan ini. "Ntar aja deh Kak, ini nanggung banget deh, duluan aja. Maaf ya Kak," desis Sisca lirih, jujur ia merasa tidak enak, namun mau bagaimana lagi? Ia sedang fokus pada pekerjaan dan mau pekerjaan ini segera selesai. "Oke, santai aja. Aku duluan ya," Natalie tersenyum, lalu melangkah keluar ruangan meninggalkan Sisca yang tengah berkutat dengan tumpuka
"Oke, gue udah bilang ke HRD, mulai sekarang elu jadi personal asisten gue!" guman Arnold lalu meletakkan gagang telepon dan menatap gadis yang duduk di hadapannya itu lekat-lekat."Terus sekarang nih gue ngapain?" tanya Sisca sedikit gemas. Semoga aja sosok itu tidak berusaha mengerjai dirinya."Pertama lu, eh siapa nama lu?" tanya Arnold yang masih menatap wajah Sisca dalam-dalam."Fransisca Andania, panggil saja Sisca." jawab Sisca singkat."Oke Sisca, karena sebentar lagi gue sibuk meeting dan lain-lain, sementara semua sudah diatur sekretaris kantor, jadi elu mending pulang dulu beberes rumah, oke?""Astaga, gue beneran jadi pembokat elu?" teriak Sisca gemas, tapi gajinya? Astaga ... okelah nggak apa-apa dia jadi pembokat, penting duitnya banyak."Kan elu sudah setuju tadi! Dan sini gue butuh nomor elu, ntar lu minta juga nomor sekretaris gue, jadi kalian koordinasi jadwal gue
Arnold bergegas keluar rumah dan melangkah ke rumah yang ada di sebelahnya, siapa lagi kalau bukan rumah si Sisca, ia benar-benar kesal dan gemas dengan gadis satu itu. Bisa nggak sih gadis itu bersikap waras sedikit saja?"Sis ... Sisca, bukan pintunya!" teriak Arnold sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Sisca."Sis! Woi jangan sembunyi deh!" ia terus mengetuk pintu rumah Sisca, gadis itu tidak nampak, rumahnya sepi, dia kemana? Kenapa tidak nampak?Arnold menekan knop pintu rumah itu, pintu terbuka dan rumah itu tampak sepi. Arnold mengerutkan keningnya, memang kemana gadis itu? Motornya ada di rumah, tapi kenapa orangnya tidak ada?Arnold melangkah ke salah satu kamar, kosong! Kamar satunya juga kosong! Arnold menggaruk kepalanya, kemana sih orang itu? Masa iya pergi rumah nggak dia kunci sih?? Ia hendak melangkah ke belakang ketika kemudian secara tidak sengaja ia menabrak seseorang hingga dia terjatuh di lantai.
Pagi ini Sisca sudah begitu rapi dengan kemeja lengan pendek yang ia padukan dengan rok span hitam serta blazer warna biru tua. Rambutnya sudah rapi dan ia bergegas keluar rumah guna pergi ke rumah yang ada disebelahnya itu.Rumah kemarin sudah beres kok, paling tinggal angkat cucian, ia taruh dulu di ruang cuci untuk nanti sore di setrika. Ya ampun, seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bekerja seperti ini.Rumah masih nampak sepi, iya lah masih pukul setengah lima. Ia bebas keluar masuk karena kunci cadangan ada di tangannya. Ketika hendak pergi ke halaman belakang, pintu kamar itu terbuka sedikit membuat Sisca melongok menengok sang empu rumah.Tawa Sisca hampir meledak ketika melihat sosok itu tengah tidur berselimut bedcover gambar Kerropi itu. Benar-benar lucu dan membuat dia geli."Foto lucu nih!" Sisca bergegas merogoh ponselnya, mengambil diam-diam gambar bosnya yang tengah lelap tertidur itu.
Sisca sontak mengeluarkan isi perutnya di saluran pembuangan air di bawah shower, cairan putih kental itu keluar bersamaan dengan isi perutnya yang lain. Rasanya ia benar-benar jijik luar biasa.Arnold masih lemas, namun ia kemudian beringsut turun dan meraih Sisca dalam pelukannya. Sisca dengan kasar mendorong tubuh Arnold, kemudian menamparnya keras-keras pipi laki-laki itu.Dengan wajah pucat dan keringat yang sama derasnya, ia bangkit dan meninggalkan Arnold tanpa sepatah kata apapun! Air matanya tumpah, ia merasa terluka, merasa dilecehkan."Sis, lu mau kemana Sis?" Arnold hendak mengejar sosok itu, namun sayang ia baru ingat kalau dia belum pakai baju!Ia bergegas menghidupkan shower dan mandi, setelah ini ia harus menyusul asisten pribadinya itu. Ia sudah melakukan sebuah kesalahan.***Sisca langsung masuk ke kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Perlakuan Arnold tadi sama sekali tida
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat