Untuk sesaat, waktu seakan berhenti berputar. Mata Lavina membelalak, tubuhnya membeku. Sementara itu, dengan santainya, kelopak mata Auriga perlahan terbuka hingga pandangan keduanya bertemu dalam jarak yang teramat sangat dekat.Lavina terkesiap. Cepat-cepat ia menarik wajahnya menjauh, lalu berdiri di samping tempat tidur dengan mata mengerjap-ngerjap.“Kamu sudah berani cium saya rupanya,” gumam Auriga seraya mengangkat satu sudut bibirnya dan menatap Lavina.“Enak aja!” protes Lavina, tak terima dengan tuduhan itu. “Aku nggak cium Om duluan! Tapi Om yang udah narik tangan aku yang bikin aku jatuh!”“Saya narik tangan saya sendiri. Kamunya saja yang nggak mau melepas tangan saya.”“Apa!” Lavina melotot, tangannya berkacak pinggang. Dengan suara melengking ia kembali protes, “Harusnya Om bilang dulu dong kalau mau narik tangan Om! Pokoknya Om yang salah! Om harus minta maaf sama aku karena sudah menodai aku!”Auriga hanya mendengus menanggapi ocehan gadis berkaos kedodoran itu. “Ka
Di kejauhan, rahang Auriga terlihat mengetat melihat pemandangan ketiga orang itu. Ia kemudian mendekati mereka dan menggendong Aurora. “Selesai main pasirnya ya. Sudah waktunya bersih-bersih.”“Yaaah….” Aurora tampak kecewa.“Kamu—” Auriga bicara pada Lavina. “Ikut saya. Tolong bersihkan Aurora.”Lavina mengangguk patuh. Ia mengikuti Auriga dan sempat melihat Yoana yang juga ikut di belakang mereka.Lavina menghela napas panjang. Sikap Yoana yang terlihat kentara sekali ingin menguasai Auriga, membuat Lavina merasa kesal tanpa alasan.Apalagi ketika Lavina ingat ucapan Feli—istri Archer, atau kakak iparnya, beberapa hari yang lalu. Feli berpesan bahwa Lavina harus waspada terhadap wanita yang menjadi temannya Auriga.Ya, beberapa hari yang lalu, saat Auriga masih di Australia, Feli dan Kimberly bertamu ke rumahnya. Kemudian dengan polosnya Lavina bertanya apa artinya friend with benefit itu. Namun, Feli tidak memberi jawaban secara spesifik. Feli hanya tercengang, lalu menyuruh Lavin
Auriga bergegas ke luar kamar setelah memastikan Aurora tertidur nyenyak. Jika sudah nyenyak, anak itu memang tidak akan terbangun kecuali jika sedang sakit.Dengan bermodalkan map digital, Auriga akhirnya menemukan sauna yang tadi disebutkan Lavina.Yang terbayang di benak Auriga saat ini adalah Lavina sedang berendam di kolam air hangat bersama Young Soo, dengan pakaian yang tidak pantas.Auriga merasa kesal memikirkannya, karena menurutnya, dengan kondisi seperti itu Lavina akan membuat Auriga malu di depan Young Soo. Dan mungkin saja Young Soo akan menganggapnya sebagai suami yang tidak bisa menjaga harga diri seorang istri “Hai! Mau ke mana?” seru Yoana tiba-tiba, mereka berpapasan di lorong hotel. Malam ini Yoana tampil seksi dan segar.“Ada urusan penting.” Auriga menatap Yoana sebentar, lalu melanjutkan langkahnya melewati wanita itu.Yoana menyusul. “Urusan penting apa?”“Sesuatu yang berkaitan dengan Young Soo.”“Young Soo? Memangnya kenapa dia?”“Bukan apa-apa.”Yoana bisa
Setelah menghabiskan waktu di Busan, ke lima orang itu pun kembali ke Seoul dan mengunjungi istana kerajaan Korea—Gyeongbokgung Palace. Lavina tidak pernah terlihat tidak antusias selama di Korea. Gadis itu selalu ceria seakan-akan tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Dia sering bercanda bersama Aurora dan Young Soo. Sementara itu, Yoana selalu mengekor ke manapun Auriga pergi. Dan dia tidak pernah berhasil membujuk Aurora agar mau bersama-sama dengannya. “Mommy, aku cantik nggak?” Aurora memutar tubuhnya yang memakai pakaian tradisional Korea. Sebuah busana berwarna merah muda dengan motif burung bangau, pakaiannya tertutup, dan bagian roknya mengembang. Rambut Aurora dikepang, persis seperti seorang putri kerajaan pada jaman Joseon. “Wuaaa! Aurora cantik sekali! Nanti kalau udah keluar dari sini, terus dilihat Daddy, Daddy pasti terpesona sama kamu,” puji Lavina, yang membuat Aurora terkikik sembari menutupi mulut dengan jemarinya yang mungil. “Mommy juga cantiiik banget!” se
Auriga melirik arloji, sudah lima menit berlalu sejak kepergian Lavina. Kemudian Auriga menatap putrinya yang tengah meringis kesakitan dan darah masih terus menetes dari dagu. Auriga merasa khawatir dan panik, tapi tampak tenang di permukaan.“Apa sebaiknya kita bawa Aurora ke rumah sakit saja? Aku khawatir dagunya sobek atau perlu penanganan dokter,” usul Yoana.Auriga diam sesaat. Kemudian bertanya kepada Young Soo, “Seberapa jauh rumah sakit dari sini?”Saat Young Soo menjawab bahwa rumah sakit letaknya tidak jauh dari tempat ini, Auriga kembali berkata, “Kalau begitu saya akan bawa Aurora ke rumah sakit sekarang.”“Ide bagus. Aku juga khawatir dia kenapa-napa.” Young Soo mengangguk. “Tapi apa kita menunggu Lavina dulu?”Auriga kembali melirik arloji. Lalu mengembuskan napas berat. “Bisa kamu saja yang menunggu dia? Nanti kalian bisa menyusul ke rumah sakit. Saya naik taksi saja.”“Baiklah. Nanti aku dan Lavina menyusul. Hati-hati.”Auriga menyetop taksi. Saat ia akan menaiki taks
Merasa bersalah.Itulah yang Auriga rasakan saat ini. Andai tadi siang ia tidak menyalahkan Lavina atas jatuhnya Aurora, dan… andai ia tidak membiarkan Lavina pergi sendirian untuk membeli obat, mungkin sekarang Lavina ada di dalam kamar hotel sedang tertidur nyenyak dengan posisi tidur yang jauh dari kata anggun.Saat sedang tidur bersama Lavina, Auriga harus berulang kali menyingkirkan tangan Lavina yang menampar wajahnya cukup keras. Juga harus menyingkirkan kaki gadis itu yang menerjang-nerjang kaki Auriga. Sehingga Auriga merasa kesal semalaman. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak kemarin malam.Namun, malam ini, Auriga tidak tahu di mana Lavina berada dan sedang apa gadis itu di tengah malam yang cukup dingin ini.Auriga dan Young Soo berpencar untuk mencari Lavina sejak tadi siang. Sementara Aurora ditinggal di hotel bersama Yoana.“Halo? Bagaimana? Kamu sudah menemukan Lavina?” tanya Auriga dengan napas sedikit terengah pada Young Soo di seberang telepon.“Belum. Aku tidak mene
Akhirnya beberapa saat kemudian Auriga membawa Lavina keluar dari kedai tersebut dengan memangkunya ala bridal, karena Lavina tengah tertidur. Auriga menyetop taksi.Ia baru menghubungi Young Soo ketika sudah duduk di dalam taksi tersebut.Setelah panggilannya dengan Young Soo berakhir, Auriga akan memasukkan ponsel ke saku celana, tapi gerakannya terhenti saat matanya tertuju pada wajah Lavina yang bersandar di kaca pintu mobil. Gadis itu tidur dengan damai.Auriga tertegun. Ia jadi teringat dengan kejadian siang tadi, ketika ia menyalahkan Lavina atas jatuhnya Aurora. Saat itu, Auriga melihat sorot mata kecewa dalam tatapan Lavina untuk pertama kalinya.“Maafkan aku,” gumam Auriga seraya menarik kepala Lavina untuk berpindah dari kaca mobil, ke bahunya.Saat itulah Lavina terbangun dan kembali meracau. Dia mendongak dan mengamati Auriga dengan tatapan sayu.“Oh? Bukannya kamu Om Auriga?" racaunya sembari menjawil pipi Auriga dengan ujung jari telunjuknya. "Ish! Kenapa orang jahat in
Lavina terbangun dengan kepala yang terasa pening. Ia terkejut begitu sadar pagi ini sudah berada di kamar hotel, padahal, hal terakhir yang ia ingat adalah dirinya tersesat lalu ia ditolong oleh Sang Ook ahjumma dan diberi makan secara gratis.Karena pikirannya kalut dan takut sebab hilang di negeri orang, Lavina akhirnya nekad mencoba minuman soju dengan niat supaya pikirannya menjadi tenang. Namun, Lavina justru merasakan kepalanya melayang dan ia tidak ingat apa-apa lagi setelah itu.“Mommy!” seru Aurora yang baru saja membuka pintu kamar. “Mommy, sudah bangun?!”Siapa yang menemukanku dan membawaku ke sini? batin Lavina.“Hai!” Lavina tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangan. “Selamat pagi!”Aurora berlari dan menghambur ke pelukan Lavina. “Aku senang bisa melihat Mommy lagi!”Lavina tertawa kecil. “Gimana dagu dan lutut kamu? Masih sakit?”“Udah nggak sakit lagi, kok, Mom.” Aurora menggelengkan kepalanya, lalu mendongak, menatap Lavina dengan tatapan polos. “Mommy jangan me
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab