Lavina duduk di salah satu kursi di kantin sekolah, lagu BTS berjudul Spring Day yang mengalun merdu dari headset, membuatnya merasa mengantuk. Dia bosan karena tidak melakukan apa-apa selama menunggu Aurora belajar, hampir dua jam ia duduk di sini. Namun, tiba-tiba, bel sekolah berbunyi nyaring, Lavina seketika terlonjak dan kepalanya terantuk. Buru-buru ia melepas headset dan menghabiskan sisa minumannya. Lavina berlari-lari kecil menuju kelas Aurora. Tubuhnya yang mungil dibalut kaos putih oversize dan celana jeans. Banyak orang mengira ia adalah kakak yang sedang menunggu adiknya sekolah. Setibanya di depan kelas, Lavina menghela napas lega karena Aurora belum keluar. Sebab anak itu akan menangis jika tidak melihat Lavina saat keluar kelas. Jadi, Lavina selalu siaga berdiam diri di dekat pintu setelah bel berbunyi. “Mommy Lavina….” Aurora menghambur dan memeluk Lavina saat pintu sudah terbuka. Lavina memeluknya dan mengamati ekspresi Aurora yang sedikit lebih cerah daripada h
Auriga keluar dari kokpit pesawat dengan langkah mantap. Wajahnya dipenuhi kepuasan setelah berhasil menyelesaikan penerbangan dengan sukses.Dia melepas topi pilotnya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat topi itu.Sementara matahari perlahan turun ke cakrawala, dia menyusuri lorong bandara menuju terminal.Di sampingnya, tas pilotnya yang setia menemani setiap penerbangan diajaknya pergi.“Capt!”Seseorang yang memanggilnya membuat langkah Auriga terhenti. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Arnold sedang berjalan tergesa menghampirinya.Arnold adalah co-pilot yang membersamai Auriga dalam penerbangan kali ini. Dia lelaki berkebangsaan Australia dan usianya lima tahun lebih muda dari Auriga. Pembawaannya selalu tampak ceria.“Setelah ini kau mau langsung kembali ke Indonesia?” tanya Arnold dalam bahasa Inggris sembari tersenyum lebar.“Ya, penerbangan ke Jakarta tiga jam lagi.” Auriga melirik arloji, bahkan ia tidak punya waktu untuk kembali ke apartemen lebih dulu
“Kok, Daddy belum sampe-sampe ya, Mom?” tanya Aurora tak sabaran sembari menggeliatkan tangannya ke atas. “Sebentar, Mommy telepon Daddy dulu ya.”Sudah pukul 22.30 tapi Auriga tak kunjung datang. Lavina lantas menelepon Auriga, tapi yang menjawab justru malah suara operator wanita. Nomor Auriga tidak aktif.Tak menyerah, Lavina mencoba menghubunginya lagi dan lagi.Hasilnya tetap sama.Ia mulai khawatir terjadi sesuatu pada pesawat yang ditumpangi Auriga dari Sydney ke Jakarta. Auriga menumpangi pesawat komersil, dia berstatus sebagai penumpang, bukan pilot.“Kita tunggu saja, ya. Semoga aja sebentar lagi Daddy pulang. Mommy nggak bisa menghubungi nomor telepon Daddy kamu,” ujar Lavina setelah mengirim beberapa pesan kepada Auriga yang hanya ceklis satu.“Iya, Mom,” lirih Aurora yang terlihat mulai bete.Keduanya kembali menonton televisi, tapi antusiasme yang semula terlukis di wajah Aurora kini perlahan-lahan hilang. Air muka Aurora tampak murung dengan bibir cemberut. Meski tidak
“Maaas… akhirnya kamu pulang juga.” Apa? Mas? Siapa yang meminta Lavina memanggilnya ‘mas’? Auriga berhenti melangkah di ambang pintu rumahnya, saat Lavina berseru dengan wajah ceria sembari menghampirinya. Auriga tercengang melihat penampilan Lavina yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari penampilan biasanya. Biasanya, Lavina selalu mengenakan kaos atau hoodie kedodoran dipadukan dengan celana jeans atau celana pendek rumahan, yang membuat gadis itu tampak seperti anak SMA. Namun, pagi ini, Lavina terlihat feminin dengan dress putih selutut, berlengan panjang tapi kainnya transparan di bagian lengan. Sebagian rambutnya diikat di belakang kepala dengan aksen pita, sebagiannya lagi dibiarkan tergerai ke bawah bahu. “Mas, kamu pasti capek. Ayo masuk.” Lavina tersenyum lebar sembari menggandeng lengan Auriga. Bik Nimah menghampiri untuk mengambil koper sang majikan dan membawanya ke dalam rumah. Auriga menatap Lavina dengan kening berkerut, ia masih belum mengerti dengan
Sejak awal, Lavina tidak ingin menaruh harapan apa-apa pada Auriga. Ia juga tidak berharap menjadi istri sungguhan dari pria yang terlihat hangat—saat bersama keluarganya, tapi misterius itu. Namun, secara tiba-tiba, perasaan kecewa hadir begitu saja ketika mendapati fakta bahwa hanya Lavina seorang, di dalam keluarga itu, yang tidak mendapatkan hadiah dari Auriga. Masalahnya bukan terletak pada apa hadiahnya, toh Lavina tidak ingin apa-apa. Akan tetapi ia merasa dikecualikan dan seolah-olah dirinya tidak terlihat di mata pria itu. Suasana di ruangan keluarga yang semula hangat mendadak kaku setelah Cassie bertanya, “Lho? Habis? Terus buat Lavina kok nggak ada?” Auriga seketika terdiam dan menatap Lavina dengan tatapan yang sulit dipahami. Lavina tahu, Auriga pasti lupa atau mungkin tidak berniat sama sekali memberikan hadiah untuknya. Dan itu tidak masalah. Ya, tidak masalah. Tidak apa-apa 'kan, jika Lavina membohongi hatinya sendiri? “Bang?!” sentak Cassie, membuat Auriga se
Di tengah keramaian sebuah pusat perbelanjaan, terdapat sebuah area permainan anak yang berkilauan dengan warna-warni dan gemerlap lampu. Di sana, Lavina dan Aurora, tengah bermain dengan penuh ceria dan bahagia.Mereka berdua berlari-lari dan tertawa-tawa di antara permainan jungle gym yang besar dan seluncuran yang tinggi. Lavina mengejar Aurora yang bersemangat, sementara Aurora tertawa riang ketika ibu sambungnya itu hampir menangkapnya.Auriga memandangi mereka dari kursi tunggu. Ia tidak ikut bergabung, karena sedang mendapatkan telepon penting dari Sydney yang cukup lama.Ya, setelah makan siang bersama, Lavina mengajak Aurora ke tempat permainan ini. Awalnya Auriga merasa sangsi, karena sejak dulu Aurora tidak pernah mau bermain di tempat umum.Namun, di luar dugaan, Aurora tampak bersemangat dan dia bisa mengatasi rasa takutnya ketika disemangati Lavina.Karena itu, penilaian Auriga pada Lavina kini bertambah setengah. Nilai Lavina menjadi 7,5.“Daddy! Permainannya seru bange
“Saya nggak mencuri dompet Anda, Pak!” sergah Lavina dengan geram. Dia akan kembali berbicara tapi terhenti saat Auriga tiba-tiba merangkul bahunya. “Om?”“Kita bicara dulu.” Suara Auriga terdengar rendah seraya menunduk, menatap Lavina yang terlihat berapi-api.Lavina mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengangguk dan mengikuti Auriga menjauhi kerumunan itu. Aurora ikut menghampiri mereka dengan raut muka penuh kebingungan.Pada saat yang sama, dua orang polisi datang.“Saya yang manggil polisi!” seru wanita paruh baya itu, istri si lelaki tua. “Kasus ini akan saya bawa ke jalur hukum!”Auriga melepaskan tangannya dari bahu Lavina, berdiri di hadapan gadis itu dengan tatapan butuh penjelasan. “Benar yang laki-laki itu bilang?” tanyanya dengan tenang.Seketika Lavina mendongak. “Maksud Om?” Keningnya mengernyit. “Kata laki-laki itu? Maksudnya aku mencuri dompet dia gitu?”“Bukan gitu,” sanggah Auriga, “benar dia melecehkan kamu? Karena saya tahu siapa laki-laki itu. Dia seorang dire
Akhirnya Lavina terbebas dari tuduhan kekerasan fisik dan pencemaran nama baik. Tony kemudian meminta maaf dan ia meminta kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, tapi Lavina tidak mau.Lavina ingin kasus tersebut terus diproses secara hukum pidana. Menurutnya, orang seperti Tony harus mendapat pelajaran supaya jera.“Terima kasih…,” gumam Lavina sembari menundukkan kepalanya dengan gerakan dramatis.Auriga meliriknya dan mendengus pelan sembari tersenyum samar. Lalu menginjak pedal gas, mobil hitamnya meninggalkan area kantor polisi. Aurora sudah ia antar ke rumah sebelum menyusul ke kantor polisi, tadi.“Apa yang kamu lakukan sampai muka dia babak belur begitu?” Auriga menatap tubuh Lavina yang kecil, sekilas. “Saya pikir dengan tubuh kamu yang seperti itu, agak nggak mungkin bisa melawan laki-laki sebesar dia.”Sontak, Lavina mengangkat kepala dan bicara menggebu-gebu, “Om tahu? Waktu aku keluar dari toilet, dia tiba-tiba ngedeketin aku dan megang pantatku kayak begini!”Lavina