Auriga keluar dari kokpit pesawat dengan langkah mantap. Wajahnya dipenuhi kepuasan setelah berhasil menyelesaikan penerbangan dengan sukses.Dia melepas topi pilotnya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat topi itu.Sementara matahari perlahan turun ke cakrawala, dia menyusuri lorong bandara menuju terminal.Di sampingnya, tas pilotnya yang setia menemani setiap penerbangan diajaknya pergi.“Capt!”Seseorang yang memanggilnya membuat langkah Auriga terhenti. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Arnold sedang berjalan tergesa menghampirinya.Arnold adalah co-pilot yang membersamai Auriga dalam penerbangan kali ini. Dia lelaki berkebangsaan Australia dan usianya lima tahun lebih muda dari Auriga. Pembawaannya selalu tampak ceria.“Setelah ini kau mau langsung kembali ke Indonesia?” tanya Arnold dalam bahasa Inggris sembari tersenyum lebar.“Ya, penerbangan ke Jakarta tiga jam lagi.” Auriga melirik arloji, bahkan ia tidak punya waktu untuk kembali ke apartemen lebih dulu
“Kok, Daddy belum sampe-sampe ya, Mom?” tanya Aurora tak sabaran sembari menggeliatkan tangannya ke atas. “Sebentar, Mommy telepon Daddy dulu ya.”Sudah pukul 22.30 tapi Auriga tak kunjung datang. Lavina lantas menelepon Auriga, tapi yang menjawab justru malah suara operator wanita. Nomor Auriga tidak aktif.Tak menyerah, Lavina mencoba menghubunginya lagi dan lagi.Hasilnya tetap sama.Ia mulai khawatir terjadi sesuatu pada pesawat yang ditumpangi Auriga dari Sydney ke Jakarta. Auriga menumpangi pesawat komersil, dia berstatus sebagai penumpang, bukan pilot.“Kita tunggu saja, ya. Semoga aja sebentar lagi Daddy pulang. Mommy nggak bisa menghubungi nomor telepon Daddy kamu,” ujar Lavina setelah mengirim beberapa pesan kepada Auriga yang hanya ceklis satu.“Iya, Mom,” lirih Aurora yang terlihat mulai bete.Keduanya kembali menonton televisi, tapi antusiasme yang semula terlukis di wajah Aurora kini perlahan-lahan hilang. Air muka Aurora tampak murung dengan bibir cemberut. Meski tidak
“Maaas… akhirnya kamu pulang juga.” Apa? Mas? Siapa yang meminta Lavina memanggilnya ‘mas’? Auriga berhenti melangkah di ambang pintu rumahnya, saat Lavina berseru dengan wajah ceria sembari menghampirinya. Auriga tercengang melihat penampilan Lavina yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari penampilan biasanya. Biasanya, Lavina selalu mengenakan kaos atau hoodie kedodoran dipadukan dengan celana jeans atau celana pendek rumahan, yang membuat gadis itu tampak seperti anak SMA. Namun, pagi ini, Lavina terlihat feminin dengan dress putih selutut, berlengan panjang tapi kainnya transparan di bagian lengan. Sebagian rambutnya diikat di belakang kepala dengan aksen pita, sebagiannya lagi dibiarkan tergerai ke bawah bahu. “Mas, kamu pasti capek. Ayo masuk.” Lavina tersenyum lebar sembari menggandeng lengan Auriga. Bik Nimah menghampiri untuk mengambil koper sang majikan dan membawanya ke dalam rumah. Auriga menatap Lavina dengan kening berkerut, ia masih belum mengerti dengan
Sejak awal, Lavina tidak ingin menaruh harapan apa-apa pada Auriga. Ia juga tidak berharap menjadi istri sungguhan dari pria yang terlihat hangat—saat bersama keluarganya, tapi misterius itu. Namun, secara tiba-tiba, perasaan kecewa hadir begitu saja ketika mendapati fakta bahwa hanya Lavina seorang, di dalam keluarga itu, yang tidak mendapatkan hadiah dari Auriga. Masalahnya bukan terletak pada apa hadiahnya, toh Lavina tidak ingin apa-apa. Akan tetapi ia merasa dikecualikan dan seolah-olah dirinya tidak terlihat di mata pria itu. Suasana di ruangan keluarga yang semula hangat mendadak kaku setelah Cassie bertanya, “Lho? Habis? Terus buat Lavina kok nggak ada?” Auriga seketika terdiam dan menatap Lavina dengan tatapan yang sulit dipahami. Lavina tahu, Auriga pasti lupa atau mungkin tidak berniat sama sekali memberikan hadiah untuknya. Dan itu tidak masalah. Ya, tidak masalah. Tidak apa-apa 'kan, jika Lavina membohongi hatinya sendiri? “Bang?!” sentak Cassie, membuat Auriga se
Di tengah keramaian sebuah pusat perbelanjaan, terdapat sebuah area permainan anak yang berkilauan dengan warna-warni dan gemerlap lampu. Di sana, Lavina dan Aurora, tengah bermain dengan penuh ceria dan bahagia.Mereka berdua berlari-lari dan tertawa-tawa di antara permainan jungle gym yang besar dan seluncuran yang tinggi. Lavina mengejar Aurora yang bersemangat, sementara Aurora tertawa riang ketika ibu sambungnya itu hampir menangkapnya.Auriga memandangi mereka dari kursi tunggu. Ia tidak ikut bergabung, karena sedang mendapatkan telepon penting dari Sydney yang cukup lama.Ya, setelah makan siang bersama, Lavina mengajak Aurora ke tempat permainan ini. Awalnya Auriga merasa sangsi, karena sejak dulu Aurora tidak pernah mau bermain di tempat umum.Namun, di luar dugaan, Aurora tampak bersemangat dan dia bisa mengatasi rasa takutnya ketika disemangati Lavina.Karena itu, penilaian Auriga pada Lavina kini bertambah setengah. Nilai Lavina menjadi 7,5.“Daddy! Permainannya seru bange
“Saya nggak mencuri dompet Anda, Pak!” sergah Lavina dengan geram. Dia akan kembali berbicara tapi terhenti saat Auriga tiba-tiba merangkul bahunya. “Om?”“Kita bicara dulu.” Suara Auriga terdengar rendah seraya menunduk, menatap Lavina yang terlihat berapi-api.Lavina mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengangguk dan mengikuti Auriga menjauhi kerumunan itu. Aurora ikut menghampiri mereka dengan raut muka penuh kebingungan.Pada saat yang sama, dua orang polisi datang.“Saya yang manggil polisi!” seru wanita paruh baya itu, istri si lelaki tua. “Kasus ini akan saya bawa ke jalur hukum!”Auriga melepaskan tangannya dari bahu Lavina, berdiri di hadapan gadis itu dengan tatapan butuh penjelasan. “Benar yang laki-laki itu bilang?” tanyanya dengan tenang.Seketika Lavina mendongak. “Maksud Om?” Keningnya mengernyit. “Kata laki-laki itu? Maksudnya aku mencuri dompet dia gitu?”“Bukan gitu,” sanggah Auriga, “benar dia melecehkan kamu? Karena saya tahu siapa laki-laki itu. Dia seorang dire
Akhirnya Lavina terbebas dari tuduhan kekerasan fisik dan pencemaran nama baik. Tony kemudian meminta maaf dan ia meminta kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, tapi Lavina tidak mau.Lavina ingin kasus tersebut terus diproses secara hukum pidana. Menurutnya, orang seperti Tony harus mendapat pelajaran supaya jera.“Terima kasih…,” gumam Lavina sembari menundukkan kepalanya dengan gerakan dramatis.Auriga meliriknya dan mendengus pelan sembari tersenyum samar. Lalu menginjak pedal gas, mobil hitamnya meninggalkan area kantor polisi. Aurora sudah ia antar ke rumah sebelum menyusul ke kantor polisi, tadi.“Apa yang kamu lakukan sampai muka dia babak belur begitu?” Auriga menatap tubuh Lavina yang kecil, sekilas. “Saya pikir dengan tubuh kamu yang seperti itu, agak nggak mungkin bisa melawan laki-laki sebesar dia.”Sontak, Lavina mengangkat kepala dan bicara menggebu-gebu, “Om tahu? Waktu aku keluar dari toilet, dia tiba-tiba ngedeketin aku dan megang pantatku kayak begini!”Lavina
Dalam keheningan malam hari, saat bulan masih berada di puncak langit dan bintang-bintang berkelap-kelip dengan gemerlap yang lembut, Lavina merasakan sentuhan hangat selimutnya yang lembut di atas tubuhnya.Matanya perlahan-lahan terbuka, dan ia mendapati ruangannya yang gelap hanya disinari cahaya bulan lembut, yang menerobos di celah-celah jendela.Seingatku tadi aku belum matiin lampu, batin Lavina seraya mengingat-ingat apa yang ia lakukan sebelum tidur.Hal terakhir yang ia ingat adalah ketika dirinya menyetel musik sembari membuka-buka buku mata kuliah bahasa Inggris dan kembali mempelajarinya. Lavina tidak mau kehilangan ilmu yang telah dipelajari sewaktu kuliah, dulu.Lavina benar-benar yakin ia belum mematikan lampu dan tidak memakai selimut.Lalu, siapa yang….Oh? Luka bakar di tangannya pun sudah ditutup kain kasa dan tercium bau obat. Itu luka akibat terkena kopi panas sewaktu mempertahankan tas yang direbut Resa di rumah Mawar kala itu. Akan tetapi, sampai tadi malam Lav
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab