Sejak awal, Lavina tidak ingin menaruh harapan apa-apa pada Auriga. Ia juga tidak berharap menjadi istri sungguhan dari pria yang terlihat hangat—saat bersama keluarganya, tapi misterius itu. Namun, secara tiba-tiba, perasaan kecewa hadir begitu saja ketika mendapati fakta bahwa hanya Lavina seorang, di dalam keluarga itu, yang tidak mendapatkan hadiah dari Auriga. Masalahnya bukan terletak pada apa hadiahnya, toh Lavina tidak ingin apa-apa. Akan tetapi ia merasa dikecualikan dan seolah-olah dirinya tidak terlihat di mata pria itu. Suasana di ruangan keluarga yang semula hangat mendadak kaku setelah Cassie bertanya, “Lho? Habis? Terus buat Lavina kok nggak ada?” Auriga seketika terdiam dan menatap Lavina dengan tatapan yang sulit dipahami. Lavina tahu, Auriga pasti lupa atau mungkin tidak berniat sama sekali memberikan hadiah untuknya. Dan itu tidak masalah. Ya, tidak masalah. Tidak apa-apa 'kan, jika Lavina membohongi hatinya sendiri? “Bang?!” sentak Cassie, membuat Auriga se
Di tengah keramaian sebuah pusat perbelanjaan, terdapat sebuah area permainan anak yang berkilauan dengan warna-warni dan gemerlap lampu. Di sana, Lavina dan Aurora, tengah bermain dengan penuh ceria dan bahagia.Mereka berdua berlari-lari dan tertawa-tawa di antara permainan jungle gym yang besar dan seluncuran yang tinggi. Lavina mengejar Aurora yang bersemangat, sementara Aurora tertawa riang ketika ibu sambungnya itu hampir menangkapnya.Auriga memandangi mereka dari kursi tunggu. Ia tidak ikut bergabung, karena sedang mendapatkan telepon penting dari Sydney yang cukup lama.Ya, setelah makan siang bersama, Lavina mengajak Aurora ke tempat permainan ini. Awalnya Auriga merasa sangsi, karena sejak dulu Aurora tidak pernah mau bermain di tempat umum.Namun, di luar dugaan, Aurora tampak bersemangat dan dia bisa mengatasi rasa takutnya ketika disemangati Lavina.Karena itu, penilaian Auriga pada Lavina kini bertambah setengah. Nilai Lavina menjadi 7,5.“Daddy! Permainannya seru bange
“Saya nggak mencuri dompet Anda, Pak!” sergah Lavina dengan geram. Dia akan kembali berbicara tapi terhenti saat Auriga tiba-tiba merangkul bahunya. “Om?”“Kita bicara dulu.” Suara Auriga terdengar rendah seraya menunduk, menatap Lavina yang terlihat berapi-api.Lavina mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengangguk dan mengikuti Auriga menjauhi kerumunan itu. Aurora ikut menghampiri mereka dengan raut muka penuh kebingungan.Pada saat yang sama, dua orang polisi datang.“Saya yang manggil polisi!” seru wanita paruh baya itu, istri si lelaki tua. “Kasus ini akan saya bawa ke jalur hukum!”Auriga melepaskan tangannya dari bahu Lavina, berdiri di hadapan gadis itu dengan tatapan butuh penjelasan. “Benar yang laki-laki itu bilang?” tanyanya dengan tenang.Seketika Lavina mendongak. “Maksud Om?” Keningnya mengernyit. “Kata laki-laki itu? Maksudnya aku mencuri dompet dia gitu?”“Bukan gitu,” sanggah Auriga, “benar dia melecehkan kamu? Karena saya tahu siapa laki-laki itu. Dia seorang dire
Akhirnya Lavina terbebas dari tuduhan kekerasan fisik dan pencemaran nama baik. Tony kemudian meminta maaf dan ia meminta kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, tapi Lavina tidak mau.Lavina ingin kasus tersebut terus diproses secara hukum pidana. Menurutnya, orang seperti Tony harus mendapat pelajaran supaya jera.“Terima kasih…,” gumam Lavina sembari menundukkan kepalanya dengan gerakan dramatis.Auriga meliriknya dan mendengus pelan sembari tersenyum samar. Lalu menginjak pedal gas, mobil hitamnya meninggalkan area kantor polisi. Aurora sudah ia antar ke rumah sebelum menyusul ke kantor polisi, tadi.“Apa yang kamu lakukan sampai muka dia babak belur begitu?” Auriga menatap tubuh Lavina yang kecil, sekilas. “Saya pikir dengan tubuh kamu yang seperti itu, agak nggak mungkin bisa melawan laki-laki sebesar dia.”Sontak, Lavina mengangkat kepala dan bicara menggebu-gebu, “Om tahu? Waktu aku keluar dari toilet, dia tiba-tiba ngedeketin aku dan megang pantatku kayak begini!”Lavina
Dalam keheningan malam hari, saat bulan masih berada di puncak langit dan bintang-bintang berkelap-kelip dengan gemerlap yang lembut, Lavina merasakan sentuhan hangat selimutnya yang lembut di atas tubuhnya.Matanya perlahan-lahan terbuka, dan ia mendapati ruangannya yang gelap hanya disinari cahaya bulan lembut, yang menerobos di celah-celah jendela.Seingatku tadi aku belum matiin lampu, batin Lavina seraya mengingat-ingat apa yang ia lakukan sebelum tidur.Hal terakhir yang ia ingat adalah ketika dirinya menyetel musik sembari membuka-buka buku mata kuliah bahasa Inggris dan kembali mempelajarinya. Lavina tidak mau kehilangan ilmu yang telah dipelajari sewaktu kuliah, dulu.Lavina benar-benar yakin ia belum mematikan lampu dan tidak memakai selimut.Lalu, siapa yang….Oh? Luka bakar di tangannya pun sudah ditutup kain kasa dan tercium bau obat. Itu luka akibat terkena kopi panas sewaktu mempertahankan tas yang direbut Resa di rumah Mawar kala itu. Akan tetapi, sampai tadi malam Lav
“Flora….”“Apa?” Seketika, Lavina terdiam. Raut mukanya seketika berubah datar. “Flo… ra?” lirihnya, tak percaya.Lavina tiba-tiba teringat dengan nama Flora yang tertulis di belakang selembar foto yang ditunjukkan Aurora kepadanya, tempo hari.Hati Lavina seketika mencelos.Jadi dari tadi dia cuma….Bak mendapat kekuatan besar, Lavina mendorong Auriga dalam sekejap ketika pria itu akan menciumnya lagi. Tubuh Auriga terguling ke samping. Buru-buru Lavina turun dari tempat tidur, dan dengan hati yang marah ia keluar dari kamar tersebut tanpa memedulikan Auriga lagi.***Setelah kejadian itu Lavina sulit sekali melanjutkan tidurnya. Di tempat tidur ia hanya berguling ke kiri dan kanan dengan perasaan tak menentu. Marah, kesal dan menyesal karena sudah terbuai, bercampur menjadi satu.Hingga pagi harinya Lavina tidak tidur sama sekali, tapi ia juga tidak mau keluar kamar ketika Bik Nimah memanggilnya untuk sarapan. Lavina enggan bersitatap dengan Auriga. Ia tak tahu reaksi apa yang harus
“Lebih baik obati lagi lukanya dan ganti kain kasanya dengan rutin,” ujar Auriga sembari menuangkan air putih ke gelas kosong di meja makan.“Ya.” Lavina menjawab singkat.“Ngomong-ngomong…” Auriga menatap Lavina sebelum meneguk minumnya. “Kenapa bisa terluka? Ke siram air panas? Atau terkena api?”“Nggak penting buat dibahas,” jawab Lavina dengan enggan.Auriga menatapnya dengan satu alis terangkat.“Tangan Mommy terluka?” Pertanyaan bernada khawatir itu membuat Lavina tersenyum lebar lalu mengangguk kecil.“Terluka sedikiiit….” Lavina mendekatkan ibu jari dan jari telunjuknya untuk menegaskan kata sedikit. “Oh? Adonannya sudah selesai, ayo kita cetak!”Kening Aurora mengernyit, menatap lengan Lavina dengan khawatir. Namun, ketika tahu mereka akan mulai mencetak kue, Aurora langsung bersemangat.Di dapur yang hangat, aroma vanila dan cokelat menyelimuti udara. Aurora mencoba mencetak bentuk kue dengan cetakan bintang, sementara Lavina menggulung adonan dengan hati-hati.Mereka tertaw
“AAAAH! OM MAU APA?!” pekik Lavina dengan mata membelalak saat Auriga mengunci kedua pergelangan tangannya di sisi kepala.Pria itu berdiri dengan kedua lutut di tekuk di atas tubuh Lavina.“Kamu istri saya, memangnya apa lagi yang mau saya lakukan selain itu?” jawab Auriga dengan air muka yang masih suram, segelap langit di malam hari yang tanpa sinar bulan dan bintang.Itu?Leher Lavina merasa tercekik manakala ia mengerti apa arti kata itu yang Auriga maksud. Jantungnya berdetak cepat. Nyali Lavina seketika menciut dan ia merasa seperti tikus yang akan diterkam kucing liar berwarna hitam yang menyeramkan.“Om, ja-jangan gitu dong. Om ‘kan udah janji nggak bakal nyentuh aku selama kita menikah.” Lavina berusaha membujuk supaya pria itu mau melepaskannya.“Oh ya? Saya bilang begitu?” Senyuman menyebalkan terlukis di bibir Auriga.“Om jangan pura-pura lupa! Om sendiri yang ngomong kayak gitu di hotel waktu malam pertama kita!” pekik Lavina yang semakin merasa panik ketika Auriga menur