Auriga hanya mengembuskan napas dengan berat. Kemudian ia menurunkan kedua kaki ke lantai. “Aurora di mana?”“Dia lagi nonton televisi,” jawab Flora, “oh ya, aku sudah masak buat makan malam kita. Harusnya kita makan tadi, tapi aku nggak tega bangunin kamu. Kelihatannya kamu lelah, Auriga.”“Sedikit,” gumam Auriga lagi.Seketika, Auriga terhenyak ketika Flora tiba-tiba berdiri di hadapannya, hingga wajah Auriga sejajar dengan perutnya. Kemudian Flora memeluknya.“Aku masih sangat ingat, dulu kamu paling senang dipeluk seperti ini kalau lagi lelah setelah pulang dari penerbangan.” Flora terkekeh pelan. “Aku akan selalu ingat semuanya tentang kita. Dan… aku rindu saat-saat kita bersama, Auriga.”Auriga terdiam. Tentu saja ia ingat. Bahkan bayangan demi bayangan kemesraannya dengan Flora di masa lalu kembali berkelebat di dalam kepala.Namun, saat ini, pelukan Flora sama sekali tidak membuatnya merasa tenang. Hatinya malah semakin resah dan merasa bersalah pada Lavina karena ia ada dalam
“Kalau gitu, sekarang aku mau Daddy sama Mommy Flora menikah lagi!”Seketika Auriga terhenyak mendengarnya. Bahkan, ia nyaris tersedak makanan yang tengah ia kunyah. Kemudian ia menatap Flora yang juga tampak terkejut. Keduanya saling tatap sesaat.Semenjak Aurora lahir ke dunia, Auriga hampir tidak pernah menolak keinginan putrinya apapun itu. Ia akan selalu berusaha mengabulkannya dan membahagiakannya. Meski Auriga berkali-kali ditegur orang tuanya karena terlalu memanjakan anak.Sejauh ini, keinginan Aurora yang cukup sulit dihadapi Auriga adalah ketika anak itu memintanya menjadikan Lavina sebagai ibunya.Namun, ketika kini Aurora meminta ia menikahi lagi Flora, kenapa rasanya begitu berat?Bukankah seharusnya Auriga senang karena dengan begitu ia bisa kembali bersama Flora? Seperti apa yang selama ini ia inginkan.“Sayang….” Auriga akhirnya bersuara setelah cukup lama terdiam.“Iya, Dad? Daddy setuju, ‘kan?”Melihat sorot mata Aurora yang penuh harap, membuat lidah Auriga mendada
Jantung Auriga seketika berdebar-debar dan wajahnya menegang. Dengan tak sabaran Auriga segera membaca isi surat tersebut.Jakarta, 05 NopemberDear, Om Auriga.Om, aku harap surat ini menemukanmu dalam keadaan sehat dan bahagia. Ada begitu banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi aku merasa bahwa surat ini adalah cara terbaik untuk mengungkapkannya dengan sepenuh hati.Pertama-tama aku ingin mengucapkan terima kasih atas segala yang telah Om lakukan ke aku selama kita menikah. Meski aku tahu, pernikahan ini sama sekali nggak nyata. Terima kasih atas perhatian dan dukungan Om, sehingga aku bisa menyelesaikan kuliah. Percayalah, aku nggak akan pernah melupakan kebaikan Om Auriga.Om, mulai hari ini aku akan pergi. Please, jangan pernah mencariku lagi. Aku akan pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Om dan aku berharap kita nggak pernah ketemu lagi untuk selamanya.Aku ingin jujur mengenai satu hal. Bahwa sebenarnya, aku sama sekali nggak memiliki perasaan apapun untuk Om Auriga. Pernikah
[“Tadi aku ngintip laptop kakak aku dan ternyata ada gambar ini, Vin.”][“Kak Keny punya wedding organizer. Dia ngurusin pernikahannya mantan suami kamu sama wanita itu.”]Seketika, Lavina tercenung. Luka hati yang belum mengering kini kembali terasa perih seperti ditaburi garam di atas luka itu.Ia tahu, Lina tidak bermaksud mengungkit rasa sakitnya. Sebab Lina tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi kepada rumah tangga Lavina. Lina hanya tahu Lavina sudah bercerai dengan Auriga. Itu saja.Dan mendengar kabar pernikahan Auriga dan Flora, dada Lavina kembali terasa begitu sesak dan nyeri. Tanpa sadar, setetes air matanya terjatuh. Entah akan sampai kapan luka ini akan terus mengungkungnya….***Di dalam sebuah mobil sport putih yang melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya, Flora tampak bersemangat berbincang-bincang dengan Keny—pemilik Wedding Organizer yang bekerjasama dengannya untuk menyiapkan pernikahannya dengan Auriga.Flora sedang memastikan bahwa semuanya harus berjalan
“Om itu cuma mesin ATM berjalan buat aku.” Lavina tertawa. “Jadi jangan merindukan aku, Om. Percuma. Aku sama sekali nggak pernah merindukan Om, yang aku rindukan cuma uang Om aja, kok.”Auriga seketika terlonjak. Matanya terbelalak. Napasnya sedikit tersengal seraya menatap langit-langit ruangan berwarna putih. Kemudian ia memejamkan matanya lagi sambil berusaha mengatur napas.Ia bertemu Lavina di dalam mimpinya. Dan barusan entah mimpi ke berapa kali yang Auriga alami setelah perempuan itu pergi. Ucapan Lavina di mimpinya barusan membuat Auriga merasa kesal. Rahangnya berkedut jengkel.Mesin ATM berjalan? Auriga benci dengan tiga kata itu.Setelah napasnya kembali normal, ia kemudian bangkit dari tempat tidur Lavina—yang sudah dikembalikan ke posisi semula dari gudang oleh pekerja di rumahnya.Kemudian Auriga keluar dari kamar tersebut dan tanpa sengaja tatapannya tertuju pada rumah Shopie yang kosong sejak ia melihatnya semalam.“Bik, kucingnya Aurora ke mana, ya?” Auriga sengaja
Auriga terdiam. Mendengar kata pernikahan, nyatanya sama sekali tidak membuatnya senang. Justru ia merasa ada yang mengganjal di hati.“Nanti saja, ya. Sekarang aku ada urusan dulu.”“Mau ke mana? Apa nggak bisa hari ini meluangkan waktu untukku?” protes Flora dengan suara lembut. Pasalnya, meski ada di Indonesia, kenyataannya Auriga jarang sekali memberi waktu untuknya.“Mau ketemu teman. Nanti saja kalau urusanku sudah selesai, baru kita ngobrol.”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Auriga bergegas pergi meninggalkan Flora yang tampak terperangah dan merasa kesal karena diabaikan begitu saja.Auriga mengendarai mobilnya sendiri. Dan tak sampai tiga puluh menit kemudian, ia tiba di TK tempat Aurora sekolah.Ya, ia memenuhi undangan dari Ibu Intan, dan entah mengapa ia merasa harus menyembunyikan kenyataan ini dari Flora bahwa ia akan datang ke tempat ini.Memasuki area TK, Auriga menyempatkan diri mengintip kelas Aurora melalui kaca jendela. Lalu detik itu juga ia terhenyak begitu m
Auriga heran melihat perubahan ekspresi di wajah wanita itu. “Dia….” Auriga menggantungkan kalimatnya, emosinya kembali menggelegak ketika teringat dengan percakapannya bersama Bu Intan tadi. “Dia nggak baik-baik saja. Andai dulu Bibik nggak mengundurkan diri, mungkin dia nggak akan seperti ini.”Bik Nimah terhenyak. “Maksud Bapak?”Auriga tersenyum dan menggeleng. “Nggak, saya sama sekali nggak menyalahkan Bibik. Hanya saja… rasanya sulit sekali mendapat pekerja orang baik seperti Bibik.” Ia memainkan ponsel sejenak lalu menunjukkan sebuah foto yang tadi dikirimkan Bu Intan, kepada Bik Nimah. “Bibik lihat ini? Pekerja baru di rumah saya sudah berani melakukan ini pada Aurora. Kurang ajar sekali dia. Saya nggak tahu kesalahan apa yang Aurora buat sampai-sampai dia berani seperti ini pada anak saya."Kelopak mata Bik Nimah seketika turun dengan lesu. Ia menggeleng pelan dan berkata, “Bapak mengira Bik Reni yang melakukannya?”Auriga mengernyit. “Kenapa Bibik nggak terkejut mendengar ka
Tak ada ibu yang tidak menyayangi anaknya. Begitu pun Flora. Ketika ia pergi meninggalkan Aurora beberapa tahun yang lalu, ia merasakan sakit yang tidak akan dirasakan orang lain selain seorang ibu ketika harus meninggalkan darah dagingnya.Namun, meski begitu, Flora tidak bisa membawa Aurora pergi bersamanya. Billy tidak mau menerima anak itu. Flora yang mendambakan perhatian dari seorang lelaki seperti Billy, akhirnya lebih memilih kebahagiaannya bersama Billy ketimbang bersama putrinya dan Auriga.Tidak. Bukannya Flora tidak mencintai Auriga. Auriga adalah sosok lelaki yang didambakan para wanita. Dia tampan, bahkan ketampanan Billy berada jauh di bawah Auriga. Tak hanya itu, sosok Auriga yang mempesona dan berkarisma membuat wanita manapun mudah tergila-gila kepadanya, termasuk Flora.Hanya saja, di mata Flora, Auriga memiliki satu kekurangan. Pekerjaannya.Profesinya sebagai pilot membuat pria itu jarang berada di rumah, sehingga Flora terbiasa melakukan segala hal sendirian sela
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab