Auriga terdiam. Mendengar kata pernikahan, nyatanya sama sekali tidak membuatnya senang. Justru ia merasa ada yang mengganjal di hati.“Nanti saja, ya. Sekarang aku ada urusan dulu.”“Mau ke mana? Apa nggak bisa hari ini meluangkan waktu untukku?” protes Flora dengan suara lembut. Pasalnya, meski ada di Indonesia, kenyataannya Auriga jarang sekali memberi waktu untuknya.“Mau ketemu teman. Nanti saja kalau urusanku sudah selesai, baru kita ngobrol.”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Auriga bergegas pergi meninggalkan Flora yang tampak terperangah dan merasa kesal karena diabaikan begitu saja.Auriga mengendarai mobilnya sendiri. Dan tak sampai tiga puluh menit kemudian, ia tiba di TK tempat Aurora sekolah.Ya, ia memenuhi undangan dari Ibu Intan, dan entah mengapa ia merasa harus menyembunyikan kenyataan ini dari Flora bahwa ia akan datang ke tempat ini.Memasuki area TK, Auriga menyempatkan diri mengintip kelas Aurora melalui kaca jendela. Lalu detik itu juga ia terhenyak begitu m
Auriga heran melihat perubahan ekspresi di wajah wanita itu. “Dia….” Auriga menggantungkan kalimatnya, emosinya kembali menggelegak ketika teringat dengan percakapannya bersama Bu Intan tadi. “Dia nggak baik-baik saja. Andai dulu Bibik nggak mengundurkan diri, mungkin dia nggak akan seperti ini.”Bik Nimah terhenyak. “Maksud Bapak?”Auriga tersenyum dan menggeleng. “Nggak, saya sama sekali nggak menyalahkan Bibik. Hanya saja… rasanya sulit sekali mendapat pekerja orang baik seperti Bibik.” Ia memainkan ponsel sejenak lalu menunjukkan sebuah foto yang tadi dikirimkan Bu Intan, kepada Bik Nimah. “Bibik lihat ini? Pekerja baru di rumah saya sudah berani melakukan ini pada Aurora. Kurang ajar sekali dia. Saya nggak tahu kesalahan apa yang Aurora buat sampai-sampai dia berani seperti ini pada anak saya."Kelopak mata Bik Nimah seketika turun dengan lesu. Ia menggeleng pelan dan berkata, “Bapak mengira Bik Reni yang melakukannya?”Auriga mengernyit. “Kenapa Bibik nggak terkejut mendengar ka
Tak ada ibu yang tidak menyayangi anaknya. Begitu pun Flora. Ketika ia pergi meninggalkan Aurora beberapa tahun yang lalu, ia merasakan sakit yang tidak akan dirasakan orang lain selain seorang ibu ketika harus meninggalkan darah dagingnya.Namun, meski begitu, Flora tidak bisa membawa Aurora pergi bersamanya. Billy tidak mau menerima anak itu. Flora yang mendambakan perhatian dari seorang lelaki seperti Billy, akhirnya lebih memilih kebahagiaannya bersama Billy ketimbang bersama putrinya dan Auriga.Tidak. Bukannya Flora tidak mencintai Auriga. Auriga adalah sosok lelaki yang didambakan para wanita. Dia tampan, bahkan ketampanan Billy berada jauh di bawah Auriga. Tak hanya itu, sosok Auriga yang mempesona dan berkarisma membuat wanita manapun mudah tergila-gila kepadanya, termasuk Flora.Hanya saja, di mata Flora, Auriga memiliki satu kekurangan. Pekerjaannya.Profesinya sebagai pilot membuat pria itu jarang berada di rumah, sehingga Flora terbiasa melakukan segala hal sendirian sela
“Apa begini harusnya sikap seorang ibu?” desis Auriga, “Kamu memang orang yang melahirkan dia, tapi kamu sendiri yang sudah membuang anakmu Flora. Kamu lebih memilih lelaki itu daripada anakmu sendiri. Apa kamu masih pantas untuk disebut seorang ibu?”Flora menutupi mulutnya saat melihat video tersebut. Auriga menunjukkan beberapa video, yang Flora sendiri pun tidak tahu bahwa kejadian itu ada yang merekam.“Nggak! Kamu jangan percaya itu, Auriga. Itu fitnah! Aku nggak pernah—Auriga!” Seketika itu juga Flora menyusul Auriga yang tiba-tiba berlalu pergi dari hadapannya dengan langkah cepat.“Auriga, please… dengarkan aku dulu! Video itu fitnah! Itu cuma potongan video aja, ‘kan? Kamu nggak—”“Bik Reni!” seru Auriga hingga suaranya yang dingin menggema di seisi rumah.“I-iya, pak?” Reni menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.“Keluarkan semua barang-barang Flora dari kamarnya. Dia akan segera pergi dari rumah ini!”“Ba-baik, pak.” Reni sempat menatap Flora dengan tatapan iba, sejenak, seb
“Kamsahamnida….” Lavina mengucapkan terima kasih dengan ramah setelah menyerahkan sejumlah uang kembalian kepada pelanggan. Lalu terdengar derit pintu ditutup ketika pelanggan itu keluar.Sudah pukul tujuh malam, tapi energi Lavina seakan tidak ada habisnya. Ia tampak bersemangat dan enerjik, energinya selalu positif, meski sejak pagi hingga sore jadwal kuliahnya penuh yang membuat pikirannya terkuras.Lavina merasa, rasa lelahnya adalah suatu anugerah, sebuah bentuk penghargaan atas usahanya yang tak pernah ia keluhkan. Dengan tidur hanya 3-5 jam sehari, ia menjadikan rutinitas itu sebagai bagian dari hidupnya.Sambil menatap hujan salju di luar jendela, Lavina merenung, memikirkan perjalanan hidupnya atau sekadar menikmati momen ketenangan di tengah cuaca yang berubah. Orang-orang dengan payung transparan atau coat yang melindungi mereka dari salju tampak sibuk berjalan di luar, menciptakan pemandangan yang tenang namun penuh kehidupan.Suara berderit pintu membuyarkan lamunan Lavin
Lavina menarik napas berat seraya melangkahkan kakinya keluar dari mini market. Pertemuannya dengan Auriga beberapa saat yang lalu membuat perasaannya menjadi kacau, ketenangannya terusik, dan lukanya kembali menganga.Itu pasti kebetulan, batin Lavina.Ya, pasti kebetulan. Bisa jadi Auriga sedang transit di Korea dan menginap di sekitar daerah ini. Lalu pergi ke mini market karena lapar. Pria itu pasti tidak punya niat datang ke sini untuk mencarinya.Lavina tersenyum miris sambil menunduk menatap jalanan. Memangnya siapa dirinya sampai Auriga harus mencarinya jauh-jauh ke Korea?Ya, Lavina yakin pertemuan tadi hanya kebetulan saja.“Oh?” gumam Lavina, terkejut, langkahnya seketika terhenti saat ia menatap sepasang kaki yang memakai sepatu musim dingin di hadapannya. Ia nyaris menabrak orang tersebut.Belum sempat Lavina melihat wajah pria itu, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik ke depan. Hingga ia berakhir dalam pelukan pria itu dan wajah Lavina terbenam di dadanya yang bidang. Lavina
Pernikahannya batal? Benarkah? Tapi kenapa? Memangnya kenapa kalau pernikahan mereka batal? Apa Lavina harus merasa senang?Sederet pertanyaan itu memenuhi seisi kepala Lavina sejak tadi malam ia mendengar kabar itu dari Leni. Lavina mengacak rambut sambil berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Ia kemudian menggosok gigi di depan wastafel dengan pikiran yang terasa begitu penuh.Ia bahkan tidak bisa tertidur nyenyak akibat pertemuannya dengan Auriga. Lavina menghela napas panjang, menatap pantulan wajahnya yang kacau di depan cermin.“Benar-benar pria jahat,” gumamnya dengan kesal. Lalu mencuci muka, dan memutuskan untuk membersihkan tubuhnya dengan air hangat. Pagi ini Lavina tampak tidak bersemangat dan bergerak persis seperti zombie.Hampir tiga puluh menit kemudian Lavina sudah selesai bersiap-siap pergi ke kampus. Ia mengenakan coat berwarna coklat dan memasukkan beberapa buku ke dalam tas dengan terburu-buru. Bahkan Lavina belum sempat membuat sarapan dan ia memutuskan untuk m
Namun, sesaat kemudian Lavina menjauhkan kepalanya. “Sebaiknya Om jangan dekat-dekat aku. Om Auriga adalah salah satu orang yang nggak mau aku lihat di dunia ini.”Auriga terdiam. Lalu menjejalkan kedua tangan ke saku jaket. “Tapi… kamu adalah salah satu orang yang ingin aku lihat setiap waktu. Bagaimana ini? Kita bertolak belakang.”Lavina berdecih. “Player tetap akan jadi player. Om pikir, aku akan percaya sama mulut Om, yang mungkin udah mengatakan kalimat itu pada ribuan wanita?” Ia mendengus sebal, kemudian bergegas menaiki bis begitu kendaraan tersebut berhenti di hadapannya, bersamaan dengan beberapa orang yang juga sudah menunggu sejak tadi.Lavina melihat ada dua kursi kosong yang berdampingan, lalu ia menoleh ke belakang, ke arah Auriga yang mengikutinya. Lavina yakin, jika ia duduk di sana maka Auriga akan duduk di sampingnya.Karena tidak ingin berdekatan dengan pria itu, seketika itu juga Lavina memilih menempati satu kursi kosong di bagian agak depan, tepat di samping se
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab