Di tengah-tengah dinginnya udara malam hari di musim dingin ini, Auriga bertopang dagu, tersenyum sendiri seraya memandangi Lavina dari luar mini market, melalui dinding kaca.Perempuan itu tampak sibuk melayani pelanggan, dia cekatan dan ramah. Senyuman Lavina terlihat tulus dan ceria. Sayang, senyuman itu hanya diperlihatkan kepada orang lain. Di hadapan Auriga Lavina tidak pernah tersenyum dan hanya cemberut sepanjang waktu.Namun, tidak apa-apa. Hanya melihat sosoknya saja Auriga sudah merasa bahagia, seakan-akan dunia Auriga yang sempat runtuh kini telah kembali utuh.Auriga pikir, setelah menemukan Lavina rasa rindunya akan terobati. Namun ia kecele. Pada kenyataannya, rindu yang ia rasakan semakin menggebu-gebu. Lavina ada di depan mata, tapi ia sama sekali tidak bisa menjangkaunya. Dan itu sungguh-sungguh sangat menyiksa.Auriga mengembuskan napas berat, membuat uap keluar dari mulutnya.Di musim dingin seperti ini sepertinya orang-orang malas duduk di kursi yang ada di luar m
Auriga mengembuskan napasnya dengan berat. “Maafkan aku,” lirihnya, yang membuat Lavina seketika membeku. “Maaf karena sudah melukai hatimu, Lav.”Lavina merasakan hatinya berkecamuk. Meskipun hatinya masih diselimuti dengan ketidakpercayaan, namun aroma kejujuran dalam suara Auriga membuatnya terguncang." Aku tahu, aku sudah membuat kesalahan besar, Lav,” lanjut Auriga lagi. “Dan setelah kamu meninggalkan aku, aku menyadari aku nggak mau kehilanganmu. Kita bisa melewati ini bersama, kalau kamu masih mau memberiku kesempatan."Lavina merenung sejenak. Dia bisa merasakan kejujuran dalam kata-kata Auriga, tetapi luka hatinya belum sepenuhnya sembuh. Namun, ada bagian dari dirinya yang ingin mempercayai lagi."Apa Om benar-benar menyadari kesalahan Om?" tanya Lavina dengan nada skeptis.Auriga melonggarkan pelukannya untuk menatap wajah Lavina. "Aku sadar, aku sangat bodoh saat itu. Sekarang aku berjanji nggak akan mengulanginya lagi. Flora adalah masa laluku, dan kamu adalah masa depan
Bulan ke satu.Di ruangan keluarga rumah Axl, terdengar ramai oleh gelak tawa Cassie dan Feli yang tengah mendengarkan candaan tidak bermutu dari Agler. Diiringi dengan teriakan dan tawa Aurora, Ernest dan Kimberly yang berlarian saling mengejar di tengah ruangan yang luas itu.Jika bersama dengan Kimberly dan Ernest, Aurora akan terlihat ceria seperti anak-anak pada umumnya.Sementara itu, Auriga terlihat sedang mondar-mandir tanpa tujuan di ruangan itu. Raut wajahnya tampak suram. Di tangan kanannya tergenggam ponsel yang menampilkan nomor telepon Lavina.Ia ingin menghubungi nomor telepon perempuan itu. Tidak apa-apa tidak melihat wajahnya, mendengar suaranya saja sudah sangat cukup. Namun, Lavina memblokir nomor ponsel Auriga. Sial.Saat Auriga sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba….BUKKK!!!“Aaaargh! Sialan!” umpat Auriga dengan nada jengkel ketika Archer menabraknya, hingga kopi dalam cangkir yang tengah dipegang Archer tumpah ke kaki Auriga.“Oops! Sorry.” Archer mengerjap dengan
Bulan ke lima….Auriga memandangi botol yang berisi beberapa butir obat tidur, yang sudah ia konsumsi selama dua bulan terakhir setiap kali ia sulit tidur.Ia menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Pagi ini Auriga baru saja terbangun dari tidurnya. Andai semalam ia tidak mengonsumsi obat itu, mungkin sampai saat ini ia masih terjaga karena terus menerus memikirkan Lavina.Auriga benar-benar merindukan perempuan itu. Ia baru tahu bahwa ternyata rindu bisa semenyakitkan ini.Dulu, ia pernah merindukan Flora yang pergi darinya setelah meninggalkan luka. Akan tetapi rasa rindu pada Flora tidak sampai sedalam sekarang.Jika itu dulu, Auriga masih bisa melampiaskan rasa rindunya pada hal lain. Bermain bersama wanita di atas ranjang misalnya. Setelah itu Auriga akan melupakan perasaan rindu itu.Namun, kini, tidak ada yang bisa menjadi obat di kala ia sedang rindu Lavina.Ia pernah mencoba pergi ke club malam, menyewa seorang wanita nomor satu di club tersebut. Berharap
Panggilan dari bosnya.“Halo?” sapa Lavina sambil mendaratkan bokongnya di tepian ranjang.“Lavina, kerja bagus. Kau memang luar biasa dan selalu totalitas dalam bekerja,” puji seorang pria di seberang telepon dengan nada menggebu-gebu.Lavina tersenyum meringis sembari mengusap tengkuk. Pipinya merona. “Terima kasih pujiannya, Mr. Kim. Aku senang sekali dengan pekerjaan ini.”“Ngomong-ngomong… begini, Lavina. Apakah lusa kau bisa kembali bekerja?”“Lusa?”“Ya. Bagaimana? Kau bersedia?”Lavina mengangguk cepat, tapi saat sadar bosnya yang bernama Kim Jun Seo itu tidak akan melihat gerakannya, buru-buru ia menyahut, “Tentu saja. Aku bersedia!”Jun Seo tertawa. “Bagus. Bagus. Aku suka sekali dengan orang sepertimu,” timpalnya.“Ngomong-ngomong kali ini wisatawan dari mana? Indonesia?”“Ya. Ini perjalanan privat, bukan rombongan wisatawan dari grup travel. Kau hanya membawa satu orang saja, dan dia akan berwisata selama kurang lebih satu bulan.”“SATU BULAN?!!” Mata Lavina terbelalak, ia
“Jadi? Kenapa Om pakai nama Arnold? Untuk mengelabuiku? Iya?” cecar Lavina dengan bibir merengut dan kening yang berkerut.Auriga mengulum senyum dan membasahi bibirnya, lalu tertawa hingga menampilkan sederet giginya yang rapi. Ia menoleh ke arah kanan jalanan yang mereka lewati, lalu menatap Lavina lagi yang duduk di sampingnya dengan tatapan dalam. Senyuman masih terlukis di bibirnya.Tidak ada yang bisa menakar seberapa besar kebahagiaan Auriga saat ini. Akhirnya, setelah penantian panjang selama satu tahun yang terasa bagai seratus tahun, Auriga bisa bertemu dan menatap kembali wajah Lavina yang selama ini hanya hadir di dalam mimpi.“Arnold adalah nama temanku,” jawab Auriga dengan suara lembut.“Terus kenapa dipakai sama Om?”Melihat wajah ketus Lavina dengan bibir merengut seperti anak kecil, membuat Auriga semakin yakin bahwa kali ini ia sedang tidak bermimpi.“Sengaja.”“Apa?!”“Karena kalau memakai namaku, kamu pasti nggak akan mau menjadi tour guide aku, Lav,” jawab Auriga
Hati Lavina terasa berkecamuk. Sudah lama sekali mereka tidak begitu dekat seperti ini dan mengobrol dengan tenang. Dan restoran ini memberikan kesempatan untuk merayakan pertemuan mereka kembali.“Gimana kuliah kamu? Ada hambatan?”Lavina tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Lancar, kok. Kuliah di sini sangat menyenangkan.”“Syukurlah.” Auriga memasukkan makanan ke mulutnya. “Kamu makan dengan benar selama di sini?”Lavina mengangguk.“Lalu kenapa tubuhmu terlihat lebih kurus?”“Ah, ini… siapa bilang aku kurus? Berat badanku stabil, kok.”“Kamu yakin?”“Hm.” Lavina mengangguk kembali.Auriga menandangi Lavina cukup lama, yang membuat Lavina tak berani balas menatap pria itu karena gugup.“Ngomong-ngomong, ada yang mau kamu tanyain ke aku?” tanya Auriga, yang membuat Lavina seketika terdiam.Banyak.Banyak hal yang ingin Lavina tahu tentang Auriga dan Aurora. Namun Lavina masih merasa ragu dengan hubungan mereka berdua.“Tanyakan saja. Nggak usah sungkan. Kamu berhak tahu,” ucap Auriga,
Lavina merasa terenyuh. Lalu detik itu juga ia terkejut kala mendengar suara tepuk tangan dari orang-orang di sekeliling mereka yang tampaknya sudah memperhatikan sejak tadi.“Kalian benar-benar pasangan yang serasi!”“Semoga kalian berdua hidup bahagia.”Lavina tersenyum dengan pipi merona mendengar ucapan dua orang wanita dalam bahasa Korea itu. Lavina mengucapkan terima kasih, lalu menatap Auriga yang sudah kembali duduk di kursinya. Auriga pun tampak salah tingkah, tapi pria itu berhasil menyembunyikannya.“Apa yang mereka bilang?” tanya Auriga penasaran.“Katanya aku terlalu muda untuk Om,” dusta Lavina, yang membuat Auriga seketika memelotot.“Hey! Serius mereka bilang begitu? Waah… sepertinya aku harus memberi mereka—”“Aku berbohong,” sela Lavina dengan cepat sebelum Auriga berbuat yang tidak-tidak. “Sensi banget ya kalau dibilang tua.”Auriga tampak kesal, tapi setelah menatap wajah Lavina ia pun menghela napas panjang dan ketegangan di wajahnya seketika mengendur. Ia tertegu
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab