Ada banyak sekali buku yang tertumpuk di bawah tempat tidur Lucer. Sejak lima belas menit sebelumnya, dia hanya molor di atas sofa panjang. Hidupnya sudah benar-benar di luar kendali. Aku pikir setelah mendatangi rapat untuk batas-batas wilayah dia akan berubah, nyatanya tidak."Aduh, gimana, ya!?" Aku berusaha berpikir lebih keras untuk mempermudah pekerjaanku. Hanya dalam sekali percobaan, aku sudah gagal. Tuas yang kubuat takkunjung berhasil, dan lagi-lagi terus begitu."Lucer, ayo, bangunlah!" aku berteriak-teriak seperti orang yang sedang kerasukan setan. Jika dia bukan pria yang kusukai, mana mungkin aku mau mencarikannya buku sejarah tentang Swifolges."Hum, iya?" Pria yang mengenakan pakaian tidur bermotif biru polos itu mengucek-ucek matanya. Aku melemparkan boneka Boba di depannya. "Hei! Bangun dong! Ini udah jam berapa?" Jari telunjukku menunjuk ke arah jam dinding di dekat cermin.Hari sudah semakin siang, bukan bertambah pagi. Kalau saja aku tidak datang untuk mengajakny
"Dijeda, nih?" Ketika Lucer terlihat kesal, aku malah fokus ke seorang siswi yang berjalan di belakang tubuhnya.Aku berdesis, "Sttt! Bentar, ada orangnya," lalu berbicara dengan nada pelan. Lucer menoleh, dan dengan cepat kembali memandang ke depan–ke arahku. "Ngapain dia ke sini?" "Aku nggak tahu." Kami berdua sengaja saling mendiamkan mulut, agar percakapan antara Bi Dessy dengan Chel dapat terdengar jelas. "Bakwan jagungnya sepuluh, coco-colanya lima, soto ayam dua, sama bubur ayamnya tujuh, Bi." Dia nampak memberikan uang kes. Mungkin guru piket yang memintanya pergi ke kantin, atau dia sendiri yang menawarkan diri.Jarak kami dengan Chel sekitar lima meter. Suaranya yang cempreng membuat telingaku berdenging. Entah sengaja atau tidak, dia tiba-tiba berkata dengan keras,"Di sini kayaknya ada orang yang kena hukuman, ya, Bi!?"Bi Dessy terkekeh, "Hehehe. Bibi nggak tahu kalo mereka kena hukum, Neng. Biasanya anak-anak yang sering ke sini itu, yang suka bolos jam pelajaran."A
Aku berdehem, hingga tenggelam dalam sebuah peran. Gadis yang duduk di seberang sana hanya melirik sebentar, lalu kembali fokus dengan gadget di tangannya.Sudah setengah jam, tetapi belum juga ada kemajuan. Kami berada di dalam ruangan yang sama. Ruang refreshing diri Onzer merupakan kelas khusus, yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan para siswa-siswinya–keadaan mental.Ada banyak permainan, serta fasilitas memadai untuk menyalurkan kreativitas. Adik-adik kelas nampak duduk bersila, seraya mengikuti tutorial melukis menggunakan cat air. Suasana di sekelilingku ramai. Hanya ruangan berpintu cokelat yang membisu; tidak ada suara bising.Aku ingin menyapanya kembali, hingga ia lelah karena jenuh bertemu. Hubungan yang tiba-tiba menghilang, membuat hatiku resah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangunnya. Aku belum siap mendapatkan satu musuh lagi."Aku harus gimana, nih? Samperin aja apa, ya?" ucapku membatin.Di samping Chel terdapat seorang remaja laki-laki, yang juga sedang sibuk b
Cekalan pria bermata amber itu semakin menguat. Aku hampir tidak bisa bergerak, ataupun berlari lagi. Mataku mengeluarkan tangis yang membahana. Tidak lagi kuperlihatkan rasa menghargai di antara kami.Sahabat makan sahabat. Kenapa harus aku yang menjadi sasaran selanjutnya? Hatiku sakit. Sudah kucoba untuk menahan luka, tetapi tidak kuat.Pelukan hangat yang harusnya untukku, malah diberikannya untuk perempuan lain. Jika itu bukanlah Chel, aku tidak akan membiarkannya hidup. "Biarkan mereka, Margaret! Sekarang ikut aku!" Jerome menjauhkanku dari sana. Bahkan, sebelum aku mencapai tempat di mana mereka berdua bermesraan.Di sebuah lorong menuju bekas taman belakang Onzer, kami berdua saling menguatkan. Jerome baru diputuskan secara sepihak oleh Chel. Aku yang awalnya mengira hanya tersakiti seorang diri, tenyata salah."Kenapa dia jadi gini, ya, Jerome?" Aku membayangi dinding.Pria yang berjongkok sambil menghisap rokok itu berkata, "Setelah seorang wanita mendapatkan cinta, ia akan
Orang yang dicintai adalah bagian berharga di dalam hidupku. Aku adalah orang yang tidak suka, jika milikku diganggu gugat. Ya walaupun, aku dengan Lucer belum memiliki status yang jelas, tetapi kami sudah saling menyatakan cinta–kurasa aku punya hak.Hal yang pernah dirasakan Necia akhirnya menjadi karmaku. Ternyata begitu rupanya, jikalau cinta ditikung teman sendiri. Menyakitkan!Tepian pekarangan rumah itu dipenuhi dengan bunga warna-warni. Aku belum mendapati sosok Chel, ataupun pria yang kusukai–Lucer. Mereka seakan lenyap, tatkala kami sampai di sana."Rumahnya udah banyak berubah. Dulu pas aku ke sini, pekarangannya cuma ada batu-bata, dan tanah yang tandus." Aku berhenti di depan pintu berukiran gaya hidup modern.Keluarga Chel adalah pribadi yang lebih memprioritaskan pemimpin. Pak Koo membangun semacam ajaran disiplin, sehingga Chel jarang sekali mendapatkan kebebasan.Jika tipe orang tua sering memaksakan kehendak pada anaknya, suatu saat akan dilawan. Jiwa buah hati bukan
Sebelum jam makan siang dimulai, aku berkumpul bersama Dona dan Lionel. Kami menikmati obrolan santai, sebelum berpisah untuk menyelesaikan urusan masing-masing. Aku mendengarkan banyak masalah dari penuturan Dona. Dia bilang, "Keluargaku selalu ingin menjadikanku anak gadis yang sempurna. Ibuku setiap hari menghiasku, agar aku tetap tampil dengan cantik. Pun, ayahku juga selalu meminta setoran nilai setiap akhir pekan. Rasanya lelah punya keluarga yang begini, Ret, Lio."Lionel mengadu nasib. "Ayahku juga suka gitu, Na. Kalian yang ngelihat mungkin nggak ngerasa ada perbedaan. Tapi bagiku banyak."Mereka punya segudang masalah. Aku yang sering melihat mereka senyum-senyum, dan bergaul layaknya orang tanpa adanya beban hidup, nyatanya mereka terlalu rapi bermain peran.Aku tidak ingin mengumbar lika-liku konflik. Biarlah hanya menjadi pendengar yang baik, untuk kisah tragis mereka berdua."Enaknya jadi Margaret. Kalo aku nggak ada orang tua, aku pasti bahagia," tutur Lionel. Pria it
Aku sangat lelah membujuk seorang Renata Elga. Gadis bermata biru sedikit gelap itu hanya menggerutu, dan tidak berpindah tempat; mematung sambil menyilangkan tangannya.Siswa-siswi yang melihat ke arah kami, seraya berbisik-bisik, membuatku tidak suka. Kalau dipikir-pikir, aku lebih mirip pengemis pertolongan daripada seorang teman."Yaelah, Ta. Kamu kok gini amat, sih, sama temen sendiri padahal." Aku melepaskan jas almamater, lalu berjalan meninggalkan gadis yang berlagak seperti orang bisu itu.Beragam rayuan sudah kuberikan padanya, tetapi takmampu meluluhkan pertahanan yang dibangun oleh Renata. Aku perlu mencari moderator lain, yang pasti, bukan dia. Masa bodoh dengan rombongan Lucer yang akan marah, karena aku tidak berhasil membujuk Renata."Tunggu, Ret!" Suara yang kutunggu-tunggu, akhirnya terdengar.Aku berbalik. "Loh, katanya tadi nggak mau jadi moderator, Ta. Kok sekarang manggil-manggil namaku?""Gue tadi lagi berfikir doang. Sekarang mah gue udah nentuin keputusan yang
"Nggak." Hanya itu yang bisa kuberikan sebagai jawaban dari permohonan Jerome. Mau mengurusi hubungannya dengan Renata? No way. Salah sendiri kenapa dia cinta karena memandang fisik? Kalau saja dia tidak pernah tergoda rayuan maut Chel, mungkin dia masih bisa bersama-sama Renata Elga."Aku bakalan bayar, deh." Dia memberikan sebuah amplop tebal di depan mejaku. Sejujurnya, aku cukup tertarik dengan tawaran menggiurkan itu. Namun, ada hati seorang pria yang harus kujaga. Aku tidak mau ada salah paham, dan lagi-lagi dihadapkan dengan pertengkaran."Kalo kamu masih cinta sama dia, kamu perjuangkan sendiri. Aku cuman bisa kasih saran dikit-dikit doang ke kamu, Jerome. Selebihnya, kamu yang menentukan pilihan di atas keputusan kamu sendiri." Aku menggeserkan amplop tebal yang isinya mungkin ratusan juta itu ke arah kiri–kembali padanya."Mr. Sei itu pamanku. Aku ada lihat nilai kamu kecil di materi biologi. Ujian tiga bulan lagi bakalan berlangsung."Perasaanku mulai tidak enak. Jangan-j