Kenapa dia menyewaku sebagai calon istrinya? Apa dia tidak mempunyai kekasih hati? batin Rania bertanya.
Hampir satu jam lamanya, Sakti menunggu Rania. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Lama sekali?" tanya Sakti yang mulai jenuh untuk menunggu.
Sejenak, hentakan kaki terdengar jelas di telinganya. Ia mendongak dan terkejut melihat penampilan Rania yang sangat memukau. Sampai-sampai ia tak mampu berpaling.
"Bagaimana , Pak? Apa penampilan saya sudah sesuai dengan keinginan Bapak?" Pertanyaan Rania seketika membuyarkan lamunannya.
Sakti berdiri dan mulai melangkah menghampiri Rania yang super percaya diri.
"Ya. Daripada sebelumnya, yang ini lebih baik!" gegas Sakti pergi meninggalkan Rania.
"Hah, benar-benar! Katanya ingin menjadikanku sebagai calon istri, tapi kenapa sifatnya begitu? Seharusnya dia belajar bersikap manis, memujiku kek atau apa. Bagaimana nanti kalo kliennya curiga? Dasar boss aneh!" gerutu Rania melangkah pergi mengikuti Sakti.
Sesampai di restoran, Rania terkejut saat Sakti meraih tangannya dan menggenggamnya begitu erat. Layaknya seorang kekasih yang takut kehilangan.
"Jika ada orang yang bertanya padamu jawab saja iya dan iya. Mengerti!" ucap Sakti mengingatkan.
"Ok!" jawab Rania dengan semangat menjalankan pekerjaan barunya. Bersandiwara untuk menjadi calon istri CEO ternama.
Sejenak, Rania mengernyit saat langkah Sakti mulai terhenti. Raut wajahnya yang tampan seperti menyimpan sesuatu yang membuatnya sedang tak baik-baik saja.
Rania menoleh mengikuti arah mata Sakti.
Kenapa pak Sakti melihat wanita cantik itu? tanya batin Rania mengikuti langkah kaki Sakti kembali.
Semua berdiri menyambut kedatangan Sakti Argantara.
"Maaf, sudah membuat semua menunggu!" ucap Sakti mulai menorehkan senyum mahalnya.
"Tidak, Pak. Kami semua juga baru datang!" jawab salah satu klien yang umurnya jauh lebih tua darinya.
"Iya, Pak! Anda tak perlu meminta maaf seperti itu. Justru kami sangat senang, Anda dan calon istri anda bisa datang untuk bertemu dengan kami."
Rania menegak salivanya sendiri. Ia tak menyangka jika para klien dari Sakti memiliki istri yang seumuran dengan dirinya. Masih sangat muda jika di sandingkan dengan para lelaki yang usianya persis seperti ayahnya.
Apa iya mereka istrinya? batin Rania penasaran menatap dua wanita yang terlihat begitu manja dengan pasangannya itu. Namun, tidak halnya dengan wanita yang duduk tepat di hadapan Rania. Tatapan matanya selalu mengarah pada lelaki yang kini telah menjadi calon suaminya. Yah, meskipun hanya sesaat.
Aneh, kenapa wanita itu terus melihat pak Sakti seperti itu? Apa dia naksir sama pak Sakti? batin Rania melirik Sakti yang sama sekali tak merespon wanita tersebut. Sudahlah! Ngapain juga aku kepo tentang wanita itu. Yang penting saat ini adalah bekerja dengan baik.
Di mobil, Sakti memberikan sebuah amplop coklat pada Rania.
"Ambillah!" ucap Sakti yang membuat Rania senang bukan main.
"Makasih, Pak!" jawab Rania yang tak sabar melihatnya. Jemari tangannya dengan cepat membuka amplop tersebut. Raut wajahnya berbinar menatap segepok uang yang jumlahnya terbilang lebih banyak dari apa yang di janjikan.
"Beneran ini untuk saya, Pak? Bukankah ini melebihi ...," kata Rania terhenti.
"Kamu sudah meyakinkan semua klien jadi saya memberikan uang lebih untuk kamu," kata Sakti melajukan mobilnya.
Senyum Rania mengembang. Ia tak menyangka jika boss yang selalu memarahinya ternyata memiliki sifat yang dermawan. Tidak perhitungan seperti yang ia bayangkan.
"Makasih, ya, Pak!" ucap Rania tersenyum senang seraya memasukkan uang tersebut dalam tas baru miliknya.
Dengan uang ini, aku bisa mentraktir makan kevin di restoran mewah. Kevin pasti mau memaafkanku. Masalah biaya pengobatan ayah, aku bisa nunggu gaji bulananku! gumam Rania tersenyum seorang diri.
Sesaat, Rania menunduk menatap ke arah dress dan sepatu hak tinggi yang ia kenakan. Semua barang branded yang tak pernah terlintas di benaknya untuk memiliki ataupun memakainya.
Rania menoleh memandang Sakti yang fokus dalam mengemudi.
"Ehm, pak Sakti. Apa boleh saya pergi dengan teman saya menggunakan dress ini?" tanya Rania sangat hati-hati.
"Semua yang kamu kenakan sudah menjadi milik kamu. Jadi kamu bebas menggunakan pakaian itu semau kamu. Ambillah semua!" jawab Sakti yang seketika membuat Rania senang bukan main.
"Serius, Pak! Bapak memberikan semuanya untuk saya?" Rania memastikan.
"Ya!"
***
"Rania, kamu mau ke mana lagi?" tanya Ayah menghentikan langkah putrinya.
Rania berbalik dan tersenyum menghampiri sang ayah.
"Ayah, Rania pergi sebentar ya! Rania ada janji sama kevin. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. kata Rania mengusap punggung tangan ayahnya yang berselangkan dengan infus.
Ayah terdiam. Tatapan matanya tak berhenti menatap ke arah pakaian indah yang di kenakan oleh putrinya itu.
"Beneran, kamu bertemu dengan Kevin?" tanya ayah memastikan.
"Iya, Ayah. Masa' Rania bohong!" jawab Rania.
"Kamu tak lupa kan pesan ayah?" tanya Ayah memastikan.
Rania tersenyum dan mencium punggung tangan ayahnya itu.
"Tidak, Ayah. Rania tau batasannya kok! Pokoknya, ayah fokus pada kesehatan ayah, ya! Rania bekerja siang malam hanya untuk kesehatan ayah. Rania hanya ingin melihat ayah seperti dulu lagi," ujar Rania yang seketika membuat ayahnya lega.
"Maafkan ayah, Nak. Tak seharusnya ayah membuatmu bekerja sekeras ini. Maafkan ayah!"
"Ayah, Ini sudah menjadi tanggung jawab Rania. Jadi, ayah tak perlu menyalahkan diri ayah sendiri."
Ayah seakan tak mampu membendung air mata yang tertahan di pelupuk mata. Ia tak menyangka jika kecelakaan yang menimpa justru menyengsarakan putri tercintanya.
Kamu benar-benar anak yang baik. Ayah sangat beruntung memilikimu! gumam batin Ayah tersenyum menahan rasa haru yang tertahan.
"Ya sudah, Rania pergi dulu, ya! Jika ayah butuh sesuatu ayah bisa memanggil perawat di sini," kata Rania tersenyum melihat anggukan ayahnya.
Tepat di sebuah Restoran, Rania tak sabar bertemu dengan lelaki yang ia cintai. Makanan, minuman, bahkan hadiah istimewa sudah ia siapkan.
"Rania, kamu menunggu terlalu lama, ya?" tanya Kevin duduk tepat di hadapannya.
"Tidak!"
Sesaat, Rania. terkejut saat jemari tangannya tersentuh oleh lelaki yang sangat ia cintai sejak masih duduk di bangku SMA.
"Rania, aku sangat merindukanmu! Aku benar-benar tak bisa menyimpannya lagi. Sudah cukup perasaan ini aku pendam. Rania, aku sangat mencintaimu! Aku ingin hubungan kita lebih dari seorang sahabat."
Tubuh Rania seketika meremang. Hatinya seakan berbunga-bunga mendengar penuturan dari Kevin.
Sesaat, lamunan Rania buyar ketika ada suara yang memanggil dirinya.
"Maaf, Kak. Handphone kakak terjatuh," ucap salah satu karyawan restoran yang membuat dirinya seakan terbangun dari tidurnya.
"Oiya, Makasih!" jawab Rania mencoba untuk tersenyum.
Ya Tuhan, ternyata itu hanya khayalanku saja! desah batinnya kecewa.
Sejenak, pandangan Rania beralih menatap kotak kado yang ada di depannya. Senyumnya mengembang melihat kado yang sudah terhias begitu indah.
"Semoga dia suka!" kata Rania memegang kotak kecil yang akan ia berikan untuk Kevin Bimantara.
Sesaat, bibir mungilnya merapat. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah pintu masuk restoran yang sudah terbuka lebar. Berharap sang pujaan hati segera datang menemuinya.
"Kenapa dia belum datang juga?" tanya Rania seorang diri. Jemari tangannya tak berhenti mengetuk-ngetuk ke arah meja menahan rasa cemas yang datang menghampiri.
Drt ... Drt ...
Rania tersenyum saat melihat nama Kevin tertera di layar ponselnya, bergerak ke atas ke bawah memanggil dirinya. Dengan cepat dan tanpa banyak buang waktu, ia menjawab telepon tersebut.
"Iya, Vin. Kamu sudah perjalanan ke sini?" tanya Rania memastikan.
("Rania, maaf. Hari ini aku tak bisa ke sana, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan,")
Senyum Rania memudar. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat pahit untuk merasakannya.
"Ya sudah, kalo begitu!" Rania menghela nafas panjang. Tangan kanannya seakan lemas tak mampu meletakkan ponselnya kembali.
"Hah, kenapa rencanaku tak seperti yang aku harapkan!" keluh Rania menatap makanan yang harganya terbilang fantastis untuk seorang Kevin Bimantara."Padahal aku rela menghabiskan uangku hanya untuk bertemu dengannya."
***
"Siapa wanita itu? Mereka bilang kamu membawa calon istri kamu. Apa kamu balikan lagi dengan Clara atau kamu menyewa orang untuk mengelabuhi mereka?" cecar Mike penasaran.
Sakti tersenyum tipis. Ia sudah mengira pertanyaan itu akan terlontar dari mulut sahabatnya.
"Yang pasti untuk kali ini aku tidak merepotkanmu!" tutur Sakti melangkah pergi meninggalkan sahabatnya itu.
Mike seakan tak percaya dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Untuk pertama kalinya, ia seakan terbebas dari perintah yang selalu melelahkan.
Siapa wanita itu? Apa dia sudah membuka pintu hatinya lagi? tanya batin Mike berpikir.
"Apa kamu akan bermalam di sini?" teriak Sakti yang seketika membuyarkan lamunannya.
"Tunggu aku!" Mike berlari menghampiri Sakti yang sudah memasuki mobil terlebih dulu.
Rania menyandarkan kepalanya. Pandangan matanya tertuju ke arah pepohonan yang berjejer indah di jalan yang telah ia lewati. Rasa kecewa dan sedih kini menghampiri dirinya. Bagaimana tidak, hanya untuk bertemu dengan orang yang ia cinta, ia harus merelakan uang yang seharusnya bisa untuk biaya pengobatan sang ayah.
"Benar-benar apes! Apa aku kualat ya sama ayah? Lebih mementingkan kepentinganku sendiri daripada kesehatan ayah," kata batin Rania menghela nafas panjang.
Tepat di pertigaan lampu merah, Rania terbelalak kaget saat melihat Kevin berboncengan dengan wanita lain. Sungguh sangat mesra, layaknya sepasang kekasih yang di mabuk asmara.
Kevin! Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Tatapan matanya mulai berkaca-kaca mengimbangi rasa sakit yang datang menghampiri dirinya.
"Rania, maaf. Hari ini aku tak bisa ke sana, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan!" Perkataan Kevin yang terucap beberapa menit yang lalu kini kembali terngiang di telinganya.
Rania memalingkan wajahnya. Hatinya seakan tak mampu melihat kenyataan pahit yang terlihat jelas di depan matanya. Bibirnya bergetar, air matanya pun berjatuhan membasahi kedua pipinya.
Bener-bener bodoh! Bisa-bisanya aku mengharapkan cinta yang jelas-jelas tak bisa aku dapatkan. Ayah, maafkan Rania, ayah. Rania benar-benar dibutakan cinta! kata batin Rania sesegukan.
Sejenak, Rania mendongak melihat taksi yang ia tumpangi berhenti begitu saja.
Rania keluar dan menghampiri pak sopir taksi yang sedang sibuk melihat mesin taksinya.
"Kenapa, Pak?" tanya Rania penasaran.
"Maaf, Teh. Mesinnya ada yang bermasalah. Jadi, Teteh cari taksi yang lain saja, ya?"
Rania menghela nafas panjang. Ia tak menyangka hari ini merupakan hari terburuk baginya.
Lengkap sudah penderitaanku! Rania duduk tepat di trotoar yang tersedia tak jauh dari taksi yang ia tumpangi. Menunggu taksi lain yang tak kunjung datang melintas.
"Selamanya aku akan menjadi sahabat terbaik untukmu!" Perkataan Kevin kembali melintas di benaknya.
Bibir Rania merapat, kedua tangan menopang di dada menahan semilir angin malam yang mulai menerpa tubuhnya.
"Semangat Rania semangat! Kamu pasti bisa menerima semua ini," gumam Rania mencoba untuk tersenyum. Tapi, apa daya. Perasaan yang begitu besar pada kevin membuatnya tak mampu menahan air mata yang tertahan.
Drt ...
Sambil sesenggukan, Rania mengambil ponselnya. Ia mendesah sebal saat beberapa pesan singkat dari Sakti memenuhi kotak masuk ponsel miliknya.
"Datanglah ke rumah sekarang! Dan jangan sampai telat. Ingat! Sebelum jam 12 malam, kamu masih bekerja untuk saya."
"Jam 12 malam! Sejak kapan dia bilang seperti itu padaku? Bukankah semuanya sudah beres?" tanya Rania dengan cepat mengetik untuk membalas pesan yang membuatnya naik darah.
"Maaf, ya, Pak! Saya sedang sibuk!"
Tak sampai satu detik, Rania mengerling saat Sakti membalasnya.
"Jika kamu tidak datang. Saya harap uang yang saya berikan bisa kamu kembalikan lagi!"
Sebuah pesan yang semakin membuat Rania terperangah mendengarnya.
Jika kamu tidak datang. Saya harap uang yang saya berikan bisa kamu kembalikan lagi!"Sebuah pesan yang semakin membuat Rania terperangah mendengarnya.Rania mendesah sebal. Tanpa banyak buang waktu ia beranjak dari duduknya dan bergegas untuk menyetop taksi yang akan membawanya ke rumah bossnya itu.Sesampai di rumah Sakti, langkah Rania terhenti. Sudut matanya mengerut melihat Sakti yang berdiri di depan pintu menunggu kedatangannya.Apa yang sebenarnya ia perintahkan? tanya batin Rania berjalan menghampiri."Ada apa, Pak?" tanya Rania mencoba untuk tersenyum."Saya lapar. Tolong masakan makanan untuk saya!" perintah Sakti yang masuk ke dalam rumah begitu saja.Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Ia tak habis pikir jika perintah bossnya membuatnya sangat kesal."Jadi, jauh-jauh dia menyuruhku datang ke sini hanya untuk masak makanan untuknya?" tanya Rania mendesah sebal. Ya Tuhan, kenapa dia selalu mempersulitku? Dia kan orang kaya, kenapa dia tak makan di restoran at
Tamat sudah riwayatku! ucap batin Rania memejamkan kedua matanya. Rania berdiri, kedua tangannya menyatu dan berbalik di hadapan mereka."Maafkan, ya? Aku tak bermaksud untuk kabur dari kalian. Aku akan ...," kata Rania terhenti."Kabur dari siapa?" Suara khas Sakti benar-benar membuat Rania seketika membuka kedua matanya.Kedua matanya terbelalak kaget saat orang yang di kira preman yang mengejarnya, ternyata adalah bossnya sendiri."Pak Sakti?" tanya Rania.Dahi Sakti mengerut. Kedua matanya tak berhenti menatap rambut Rania yang acak-acakan. Tubuhnya penuh keringat dan terlihat sangat kucel."Kemana larinya?" Rania dan Sakti menoleh menatap dua preman yang berhenti tepat lurus 100 meter dari mereka.Rania berpaling dan tanpa minta ijin terlebih dahulu, ia memeluk tubuh atletis Sakti dengan erat."Maaf, Pak. Saya benar-benar butuh bantuan bapak," ujar Rania menenggelamkan wajahnya tepat di dada bidang bossnya tersebut.Sakti menghela nafas panjang. Dan membiarkan dua tangan Rania m
Tidurlah! Aku akan mengantarmu pulang," kata Sakti menegakkan tubuh Rania. Sesaat, Sakti terkejut saat dua tangan Rania mencengkeram t-shirt yang ia kenakan dan melumat bibirnya dengan mesra.Hampir satu menit, Sakti membiarkan bibir Rania menguasai bibir miliknya. Kedua matanya tak mampu mengerjap. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat merasakan ciuman hangat dari bibir mungil milik asisten rumah tangganya itu."Sudahlah! Rasanya aku lelah," ucap Rania mulai tertidur pulas.Lamunan Sakti buyar. Senyumnya mengembang saat mengingat kejadian yang tak terduga antara dirinya dan Rania."Heh, bagaimana bisa aku membiarkan dia menciumku," ucap Sakti melipat bibirnya. Terasa masih membekas jelas ia rasakan. Matahari pagi mulai menampakkan cahayanya. Dengan wajah yang penuh semangat, om Hakim tak sabar ingin memberi kejutan pada putri tercinta."Kevin, kamu tak memberitahu Rania kan kalo om pulang hari ini?" tanya om Hakim mendongak menatap Kevin yang mendorong kursi rodanya."Tidak
Aku!" jawab Sakti yang seketika mengejutkan Mike."What?" Mike mengerling. Ia tersenyum sinis tak percaya mendengar perkataan konyol sahabatnya itu. "Hahahahhahha," tawa Mike seakan pecah begitu saja."Kenapa tertawa?" tanya Sakti."Kalo ingin mengerjaiku, please jangan sekarang! Hari ini, aku sangat pusing memikirkan wanita gila itu," tutur Mike mencoba meluapkan amarah, kesal yang tertahan di dada sejak kemarin."Wanita itu benar-benar gila. Bisa-bisanya dia selingkuh dengan lelaki lain, padahal selama ini aku selalu menurutinya, memperlakukannya seperti ratu. Tapi apa? Dia tega mengkhianati kesetiaanku!"Sakti menghela nafas panjang. Jemari tangannya menyatu seraya menatap wajah melas mike yang duduk di hadapannya. Keningnya mengernyit mendengar curahan hati Mike yang terbilang sangat panjang."Pokoknya, kalo kamu cari wanita harus lihat bibit, bobot dan bebetnya. Jangan asal-asalan! Bener-bener tak bisa di maafkan!" gerutu Mike mendesah sebal."Sudah bicaranya?" tanya Sakti menopa
Ya Tuhan, aku benar-benar melakukannya! Rania menggigit bibirnya. Ingatannya kembali dan sangat terasa jelas lumatan bibir Sakti kepada dirinya."Jangan pergi! Aku sangat mencintaimu," kata Rania melingkarkan kedua tangan tepat di pinggang sispex yang di miliki Sakti. Kepalanya bersandar manja di dada bidang yang mengeluarkan aroma khas yang sangat menghipnotisnya."Aku akan menemanimu!" Perkataan Sakti mulai terekam jelas dalam ingatannya."Tidak!" Teriakan Rania membuat sopir taksi menghentikan laju kendaraannya.Ssst Duk"Owh!" keluh Rania memegang kening yang menghantam bahu jok yang ada di depannya."Kenapa, Teh?" tanya sopir taksi itu menoleh ke belakang. Memastikan penumpangnya dalam keadaaan baik-baik saja."Kenapa teteh berteriak?" Rania tersenyum tipis. Ia baru menyadari teriakannya membuat sopir taksi itu terkejut."Tidak, Pak! Maaf, saya hanya teringat dengan baju saya di rumah. Padahal, besok saya harus memakainya tapi saya lupa tak mencucinya," ucap Rania meringis."Oh,
Haruskah aku dan dia melakukannya? tanya batin Sakti menyeringai.Di sisi lain, Rania tak berhenti mengerjap melihat wajahnya yang terpoles dengan make up. Berbalut kebaya putih di sertai dengan henna yang mempercantik kedua tangannya membuat aura kecantikannya kian terpancar."Nasi sudah menjadi bubur. Meskipun kalian tak melakukannya, tapi tetap saja orang yang melihatnya akan berpikiran negatif," ucap Ayah kembali terlintas dalam benaknya."Kan hanya ayah yang tau! Dan Rania sangat yakin jika kami tak melakukan apa-apa, Ayah! Pak sakti hanya menemaniku di saat aku mabuk. Dan mungkin saja dia ketiduran sampai pagi," bantah Rania."Bagaimana dengan Kevin? Apa dia akan percaya jika kamu berkata seperti itu? Ayah pun juga tak percaya jika kalian tak melakukannya." Perkataan ayah seketika membuat Rania tercengang mendengar nama itu.Lamunan Rania buyar. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah layar ponsel miliknya. Berharap lebih, agar Kevin membaca dan membalas pesan yang ia ki
Dasar wanita aneh! gumam batin Sakti tersenyum tipis. Namun, senyum manisnya mendadak hilang saat Rania terbangun dan duduk menghadap dirinya."Pak Sakti, apa boleh saya bertanya sesuatu pada Bapak?" tanya Rania yang memperlihatkan keceriaannya kembali. "Bicaralah!" ujar Sakti yang tetap fokus pada layar laptopnya.Bibir Rania merapat. Kedua tangannya menopang di atas bantal yang ada di pangkuannya. Jemari tangannya juga tak berhenti meremas mengimbangi rasa tak enak yang datang menghampiri. Berpikir, seakan merangkai kata-kata yang tepat untuk di ucapkan pada atasannya itu."Kenapa? Apa kamu berubah pikiran? Jika tidak ada yang di bicarakan, tidurlah!" pinta Sakti menatap wanita yang saat ini resmi menjadi istri sahnya.Rania mendongak. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat aura ketampanan Sakti yang kian terpancar. Memakai kaos putih dan celana selutut. Dan untuk pertama kalinya, ia duduk santai berdua dengan atasan yang sangat menyebalkan baginya."Ehm ... Pak Sakti,
Bulan madu? Apa iya, aku dan dia akan bulan madu? tanya Rania dalam hati."Bagus! Ayah sangat senang mendengarnya. Dan kalian tidak usah khawatir tentang ayah. Kalo kalian pergi bulan madu, ayah akan menghubungi Kevin untuk menemani ayah di rumah!" tutur ayah terlihat begitu senang.Itu tak akan pernah terjadi, Ayah. Dan tak akan mungkin. Demi masa depan kami, kami memutuskan untuk mengakhiri pernikahan kami setelah enam bulan lamanya! kata batin Rania seraya tersenyum manis di depan sang ayah tercinta.***Di perjalanan, Rania tak berhenti menatap ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.Ia mendesah sebal saat terjebak macet di hari kerjanya."Kalo tau begini, aku tak mungkin turun dari mobil pak Sakti. Ya Tuhan, semoga hari ini aku tak bertemu dengan madam Sonya," lirih Rania menyandarkan kepala tepat di kaca jendela bus yang tertutup itu.Sesampai di tempat kerja, Rania berlari sekencang-kencangnya. "Jika kamu telat sekali lagi, madam tak segan-segan memotong gaj
Clara terkejut. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat suara Kevin terdengar olehnya. Ia menoleh. Dan TUARRTamparan keras melesat tepat di pipi kanannya."Dasar wanita sialan!" ketus ibu Mega yang terlihat marah dengan Clara.Kevin dan Mike tercengang di buatnya."Kakak!" ucap Clara seraya memegang pipi kanannya. Sungguh, terasa sangat sakit dan membekas tamparaan keras tersebut."Kakak?" tanya Mike mengerutkan keningnya. Ia seakan tak percaya jika ibu Mega adalah kakak kandungnya Clara."Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Kamu tau? Rumah ini adalah kenangan kita bersama ayah dan ibu. Dan bisa-bisanya kamu menjual tanpa ijin terlebih dulu padaku. Apa kamu sudah tak menganggap kakak lagi!" ketus ibu mega meluapkan rasa amarah yang tertahan. Clara terdiam. Bibirnya bergetar mengimbangi rasa sakit hati yang masih membekas di hati."Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa menjualnya. Aku tak mau aku berhutang budi dengan lelaki yang sudah menjadi milik orang lain. Sudah cu
"Sebentar lagi, sebentar lagi kehidupanmu akan berubah, Rania Agatha! Dan aku pastikan mereka tak akan mau dengan wanita sepertimu!" ucap Clara begitu senang bukan main.Rania terdiam. Sungguh, ia sangat bingung akan perkataan yang terlontar dari mulut Clara. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat kering dan sakit. "Bersiaplah!" gegas Clara mulai pergi meninggalkan rania seorang diri di kamar.Rania menghela nafas berat. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah Clara yang mulai pergi meninggalkannya. Akan tetapi, Rania mengerling saat Clara berjabat tangan dengan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menyeramkan."Aku tak bisa bayangkan, bagaimana ekspresi sakti setelah orang yang ia cintai telah di peristri oleh orang lain. Hah, sudah pasti dia akan menjadi gila!" Perkataan Clara seketika mengingatkan rania.'Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ingin menjualku." Rania menggigit bibir bawahnya menahan rasa amarah yang tertahan saat melihat Clara tersenyum senang
"Kamu nggak usah ke sana! Biar aku yang mengurusnya!" ucap Mike."Jangan melarangku! Katakan! Di mana dan siapa yang membawa istriku pergi?" tegas Sakti meluapkan rasa amarahnya."Clara! Tadi clara menghubungiku dan dia tau di mana Rania berada," tutur Mike menjelaskan."Lalu, kamu percaya dengan kata-katanya?" tanya Sakti yang tak mendengar bantahan dari sahabatnya itu. "Yang aku butuhkan saat ini adalah informasi yang akurat dari plat nomor mobil yang aku kirimkan padamu itu. Cari sekarang!"Sakti segera mematikan ponselnya. Ia mendesah sebal saat Mike tak melakukan apa yang ia minta."Bagaimana bisa dia mengabaikan perintahku yang sangat penting ini?" keluh Sakti menegak salivanya dengan paksa. Untuk kali pertama, Mike tak secepat kilat seperti biasanya. Biasanya, di saat sakti selalu memberikan perintah, tak butuh waktu lama mike menyelesaikannya. Sangat berbeda dengan perintah kali ini. Padahal, perintah kali ini sangat berharga bagi Sakti. Bahkan melebihi nyawanya.Di kantor, M
Rania terjatuh tak sadarkan diri."Bawa dia masuk!" perintah seseorang yang membuat Rania pingsan karenanya.Sedangkan, Sakti bingung mencari keberadaan Rania yang tak ada di restoran.'Apa dia sudah pulang ke rumah?' batin Sakti bertanya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir yang sudah ia tugaskan untuk mengantar sang istri pergi."Halo, Pak! Di mana sekarang?" tanya Sakti memastikan.Sesaat, kedua bola matanya mengerling mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir begitu saja. Bibirnya merapat seraya berpikir kemana sang istri pergi."Hubungi yang lain. Dan segera hubungi saya jika sudah menemukan ibu Rania!" Perintah Sakti menutup teleponnya.Alisnya bertaut. Kedua tangannya menopang di pinggang sembari mengamati tempat duduk yang memperlihatkan sesuatu yang tidak asing baginya.Dengan cepat, ia mulai melangkah. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah pesanan yang sama persis dengan permintaannya pada Rania. "Minumannya masih utuh. Apa mungkin di
"Siapa wanita itu? Bisa-bisanya memanggil suamiku dengan sebutan 'Say'? Dan dia juga, kenapa dia berbicara terang-terangan menjawab pertanyaan wanita itu di depanku?"Bibir ranum rania memanyun. Rasa bahagia dan semangat yang membara perlahan mulai memudar saat rasa cemburu mulai menguasai dirinya."Setelah aku memberikan semua kepadanya, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku? Hah," keluh Rania melempar dua baju yang ada di tangannya.Di kantor, Sakti berjalan menghampiri Bu Mega, manager keuangan yang usianya lebih tua darinya. Sakti sudah menganggap Bu Mega seperti ibunya sendiri. Tak heran jika mereka begitu akrab. Layaknya ibu dan anak."Semuanya sudah beres, ibu tinggal membenahi selisih keuangannya saja!" tunjuk Sakti ke arah laporan yang di pegang oleh bu Mega."Jadi, hari ini ibu harus lembur, dong?" tanya Ibu Mega memastikan."Heem. Bukankah ibu tak pernah salah dalam berhitung? Tapi, kenapa laporan ini banyak kesalahan?" cecar Sakti yang menatap wanita paruh baya yang du
Tak seharusnya kamu menyuruhku ke sini melihat keromantisan kalian!" Lirih mike dengan tatapan sinis.Sakti menyeringai. Ia tak habis pikir, Mike sudah datang membawa makanan yang ia pesan."Letakkan saja di meja dan kamu ...," kata Sakti terhenti."Masih belum kelar?" tanya Mike berjalan ke arah meja kerja Sakti yang masih sama seperti waktu ia pulang kerja. Laporan menumpuk dan tak ada kegiatan laptop untuk melakukan pekerjaan.'Hah! Pasti dia menyuruhku ke sini untuk lembur. Dan sudah pasti, dia akan beralasan mengantar pulang rania,' gumam batin Mike melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan benda layar pipih yang menempel di telinga."Baik, Pak. Sebelum jam dua belas, saya akan mengirimkan file-nya!" Perkataan Sakti yang membuat Mike mendesah sebal dan sudah sangat bisa di tebak, dia akan lembur seorang diri.'Dasar sahabat laknat! Dia tak tau apa, seharian aku tak istirahat karenanya!' gerutu batin Mike membanting tubuhnya tepat di kursi putar milik sahabatnya itu."Pulanglah!
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rania mulai panik.'Kenapa dia diam saja? Apa jangan-jangan dia ....' kata batin Rania terhenti saat pikiran negatif mulai menghantuinya."Tidak! Dia tak mungkin mati! Tidak!' Batin Rania seakan berkecamuk. Dua bola matanya berkaca-kaca. Rasa nikmat dan bahagia yang ia rasakan seketika berubah menjadi rasa takut dan sedih yang teramat dalam."Bangunlah! Tolong, jangan tinggalkan aku!" kata Rania mengoyak tubuh Sakti yang masih berada dalam pelukannya. Air matanya pun menetes saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. Dua bola mata Rania berputar. Semua terlihat begitu gelap dan hanya terdengar detakan jam dinding yang ada di ruangan tersebut.Perlahan, Rania mencoba mendorong tubuh Sakti dan berusaha untuk duduk. Bibirnya bergetar, jemari tangannya mulai mencari dan meraba remote yang akan menerangi ruangan tersebut.TekRania mengernyip. Sinar beberapa lampu yang menyala membuat kedua matanya silau.GlekTegakkan salivanya mengalir de
' Kenapa tatapan matanya seperti itu? Apa rasa cintanya kepadaku berubah hanya gegara sapu itu?' tanya Rania dalam hati seraya melihat sapu yang berada dalam genggaman sakti."Rania, apa kamu tau ...," ucap Sakti terhenti."Bukankah kamu bilang sangat mencintaiku? Lalu, kenapa kamu marah padaku hanya gegara sapu jelek itu? Kamu tau! Sejak semalam, perasaanku bercampur aduk karenamu," gumam Rania memanyunkan bibirnya. Sakti menyeringai. Perlahan, ia mulai meletakkan sapu itu di samping meja dan berjalan menghampiri Rania. Ia tak menyangka, istrinya salah paham dengan tingkah lakunya itu."Di saat aku mulai mencintaimu, kamu malah ...."GlekDua bola manik mata Rania mengerling. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa saat lumatan hangat mengarah pada bibir ranum miliknya. Begitu hangat dan kenyal. Sejenak, lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat Sakti melepas ciumannya. Apalagi jemari tangan Sakti mendongakkan dagunya secara perlahan. Sungguh, membuat detakan ritme jant
DegRania mengerling saat melihat tulisan yang membuat dirinya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.'Jadi dia ....' Dua bola mata indahnya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat melihat penyakit yang tertulis dalam rongsen tersebut. Sebuah penyakit yang selama ini berada dalam pikirannya.'Ya Tuhan, apa ini benar?' tanya batin Rania seraya menggelengkan kepala.Alis Sarah bertaut. Ia melirik sahabatnya yang terlihat sedih setelah membuka barang yang ia berikan."Ada apa?" tanya Sarah penasaran. Jemari tangannya dengan cepat menggenggam tangan sahabatnya itu.Rania buru-buru memasukkan kembali hasil rongsen tersebut. Bibirnya mengembang, mencoba menutupi rasa sedih yang menguasai dirinya."Tidak! Tidak ada apa-apa! By the way, terimakasih ya! Kamu sudah mau mengantar ini padaku!" ucap Rania mencoba untuk tersenyum."Serius. Kamu tak apa? Tapi, kenapa mata kamu ...," tunjuk Sarah memastikan."Oh ini," tunjuk Rania ke arah sudut matanya."Tadi, tadi aku menguap tiada henti. Jad