Ya Tuhan, aku benar-benar melakukannya! Rania menggigit bibirnya. Ingatannya kembali dan sangat terasa jelas lumatan bibir Sakti kepada dirinya.
"Jangan pergi! Aku sangat mencintaimu," kata Rania melingkarkan kedua tangan tepat di pinggang sispex yang di miliki Sakti. Kepalanya bersandar manja di dada bidang yang mengeluarkan aroma khas yang sangat menghipnotisnya.
"Aku akan menemanimu!" Perkataan Sakti mulai terekam jelas dalam ingatannya.
"Tidak!" Teriakan Rania membuat sopir taksi menghentikan laju kendaraannya.
Ssst Duk
"Owh!" keluh Rania memegang kening yang menghantam bahu jok yang ada di depannya.
"Kenapa, Teh?" tanya sopir taksi itu menoleh ke belakang. Memastikan penumpangnya dalam keadaaan baik-baik saja."Kenapa teteh berteriak?"
Rania tersenyum tipis. Ia baru menyadari teriakannya membuat sopir taksi itu terkejut.
"Tidak, Pak! Maaf, saya hanya teringat dengan baju saya di rumah. Padahal, besok saya harus memakainya tapi saya lupa tak mencucinya," ucap Rania meringis.
"Oh, begitu! Saya kira teteh kenapa?" Sopir taksi mulai melajukan kembali kendaraannya.
Ya Tuhan, bisa-bisanya aku mengingat kejadian itu lagi! Dan ini malah semakin parah. Ya Tuhan, kenapa aku jadi begini? Kenapa aku bilang seperti itu padanya dan dengan mudahnya bersikap manja? Apa jangan-jangan ini semua karena aku minum minuman milik pak Sakti itu? gumam batin Rania mengingat saat ia menegak minuman kaleng seperti orang kehausan. Ia menghela nafas panjang. Kedua matanya beralih menatap lampu-lampu yang seakan berlari mengikuti dirinya.
Drt ... Drt ...
Pandangan Rania beralih. Dahinya mengernyit melihat nama sahabatnya turun naik di layar pipih untuk menghubungi dirinya.
"Sarah!" gegas Rania mengangkat telepon tersebut."Sarah, ada apa? Tumben malam-malam menghubungiku? Bukankah hari ini kamu shift malam?"
("Rania, keluarlah! Sekarang aku di depan rumah kamu. Aku bingung, kenapa rumah kamu banyak orang dan di depan rumah juga banyak mobil?")
Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Perkataan sahabatnya benar-benar membuatnya bingung.
Banyak orang? Di depan rumah banyak mobil? Apa jangan-jangan mereka menagih hutang di rumah? Tidak! Itu tidak mungkin!
"Rania ... Hello! Apa kamu mendengarkanku!"Suara sarah terdengar melengking dari balik layar pipih itu, hingga membuat Rania menjauhkan ponsel dari telinganya.
Rania menghela nafas panjang. Alisnya bertaut dan kembali menempelkan ponsel tepat di telinganya.
"Sarah, aku dalam perjalanan pulang. Tolong, jaga ayahku, ya? Sebentar lagi aku pulang!" ucap Rania.
"Kenapa aku harus menjaga ayahmu? Bukankah ayah kamu ...," kata Sarah terhenti saat menyadari teleponnya mati.
"Yah, mati lagi! Kenapa Rania menyuruhku menjaga ayahnya, ya?" tanya Sarah bingung.
Sarah menghela nafas panjang. Dua bola matanya tak berhenti menatap rumah Rania yang sangat ramai.
"Sebenarnya siapa yang bertamu? Kok kayak acara ...." Dahi Sarah mengerut. Alisnya bertaut saat melihat beberapa orang menghias depan rumah sahabatnya itu.
"Apa jangan-jangan Rania mau tunangan atau malah menikah secara diam-diam?" tebak Sarah tiba-tiba. Bibirnya merapat, sudut matanya mengerut menatap om Hakim berbicara dengan orang berjas yang tak asing baginya.
"Mike? Kenapa dia di rumah Rania?" tanya Sarah terkejut saat pacar yang ia khianati berada di rumah sahabat dekatnya itu.
***
Rania turun dari taksi. Kedua bola matanya tak berhenti mengerjap melihat rumahnya terhias indah dengan bunga-bunga bermekaran.
Apa ini benar rumahku? tanya Rania seakan tak percaya melihatnya. Dua bola matanya berputar menatap halaman rumahnya yang sudah terpasang tenda.
"Rania!" panggil tetangga rumah yang menghentikan langkah kakinya. Rania berbalik dan mencoba untuk tersenyum saat berhadapan dengan ibu-ibu yang terkenal dengan biang gosip di sekitar rumahnya.
"Selamat malam, ibu-ibu!" jawab Rania.
"Kamu itu ya, diam-diam sudah mau menikah saja! Ibu pikir kamu tuh tak punya pacar lho!"
"Iya, saya juga berpikir seperti itu. Padahal, kata Ratih kamu di kantor tak punya kekasih. Trus, kamu menikah dengan siapa?" sahut ibu tetangga yang lain.
Rania menghela nafas panjang. Bibir bawahnya melipat menahan rasa amarah yang tertahan di dada.
Benar-benar menyebalkan! Bisa-bisanya mereka memandangku seperti itu. Kayak aku ini tak laku saja! gumam batin Rania menghela nafas panjang.
"Atau jangan-jangan kamu menikah dengan om-om, ya?"
Rania mendongak. Kedua tangannya mengepal saat tuduhan ibu-ibu tersebut sudah melewati batas.
Tenang Rania tenang! Kamu tak boleh emosi menghadapi mereka. Mulut mereka akan terdiam jika tau dengan siapa kamu akan menikah! tegas Rania mulai mengembangkan senyumnya.
"Bisa jadi! Ya ampun Rania, tak seharusnya kamu seperti itu. Kamu itu masih muda lho!" sahut ibu lainnya.
Rania melangkah kakinya dan mendekati kedua ibu tukang gosip itu secara perlahan.
"Kalo besok tidak ada acara, ibu-ibu bisa datang ke sini. Dan ibu-ibu bisa melihat dengan siapa saya akan menikah. Dan, kalian juga tak perlu membawa amplop untuk saya. Ok!" gegas Rania melangkah pergi meninggalkan mereka.
"Heh, sombong banget dia! Belagu banget tak mengharap amplop dari kita!"
"Iya, menikah dengan om-om saja, bangga. Kita pulang! Besok kita lihat seperti apa suami Rania itu!" gegas mereka pergi.
Ceklek
Rania membuka pintu rumahnya. Kedua matanya mengerling melihat isi rumahnya berbeda dari biasanya.
Ya Tuhan, apa aku salah masuk rumah?" tanya Rania dalam hati. Kedua matanya berputar memastikan kalo rumah yang ia masuki adalah rumahnya.
"Kamu darimana?" Suara ayah mengejutkan Rania.
Rania berbalik dan tersenyum saat ayahnya keluar dari kamar.
"Tadi, Rania pergi ...." Rania menghentikan perkataannya. Dan tak mungkin juga jika ia memberitahu yang sebenarnya pada sang ayah kemana ia pergi.
"Rania pergi ke acara ulangtahun teman, Ayah. Maaf, ya. Tadi Rania tak sempat bilang sama ayah," ucap Rania memegang punggung tangan ayahnya.
"Begitu. Ayah kira kamu ke mana? Lihatlah! Rumah kita jadi bagus seperti ini. Dalam waktu dua jam, mereka memberikan nuansa baru untuk rumah kita."
Dua bola mata Rania berbinar. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat betapa bahagianya wajah ayah melihat rumahnya yang terhias cantik.
"Ayah menyukainya?" tanya Rania.
"Heem. Ayah harap, dia lelaki yang tepat untuk kamu, Sayang! Mencintai kamu setulus hati seperti ibu kamu," pinta Ayah memegang kedua pipi Rania.
"Amin!" jawab Rania spontan.
Sejenak, air liurnya tertelan begitu saja. Senyumnya yang dari tadi mengembang mendadak memudar dengan ucapannya barusan.
Bagaimana mungkin aku bisa mengaminkan perkataan itu? Jelas-jelas aku dan pak Sakti tak saling mencintai dan gara-gara minuman itu kami terjebak dalam situasi yang sulit seperti ini! Hah, andai saja kemarin aku tak minum minuman itu! gumam batin Rania mendesah panjang.
"Tidurlah! Acaranya akan di lakukan jam 8 pagi. Dan katanya jam 3 pagi, mereka akan datang untuk merias wajah kamu," kata Ayah yang membuat Rania terkejut.
"What? Jam 3 pagi?"
***
Keesokan harinya, Sakti tak berhenti menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Rambut klimis, setelan jas hitam yang ia kenakan membuat aura ketampanannya kian terpancar.
"Ini cincinnya. Sesuai pesanan kamu!" Mike menyerahkan sepasang cincin pernikahan pada sahabatnya yang duduk di belakang.
Sakti mengernyit dan mulai membuka kotak cincin tersebut. Begitu indah dan sesuai dengan apa yang ia inginkan.
"Aku sudah membatalkan acara hari ini sampai tiga hari ke depan. Dan kamu bisa langsung bulan madu," ucap Mike yang seketika membuat Sakti menatap ke arahnya.
Bulan madu? batin Sakti bertanya. Perkataan Mike benar-benar membuat Sakti tak mampu menegak salivanya sendiri saat mendengarnya.
Tatapan matanya beralih ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan yang seakan berlari mengejarnya.
Haruskah aku dan dia melakukannya?
Haruskah aku dan dia melakukannya? tanya batin Sakti menyeringai.Di sisi lain, Rania tak berhenti mengerjap melihat wajahnya yang terpoles dengan make up. Berbalut kebaya putih di sertai dengan henna yang mempercantik kedua tangannya membuat aura kecantikannya kian terpancar."Nasi sudah menjadi bubur. Meskipun kalian tak melakukannya, tapi tetap saja orang yang melihatnya akan berpikiran negatif," ucap Ayah kembali terlintas dalam benaknya."Kan hanya ayah yang tau! Dan Rania sangat yakin jika kami tak melakukan apa-apa, Ayah! Pak sakti hanya menemaniku di saat aku mabuk. Dan mungkin saja dia ketiduran sampai pagi," bantah Rania."Bagaimana dengan Kevin? Apa dia akan percaya jika kamu berkata seperti itu? Ayah pun juga tak percaya jika kalian tak melakukannya." Perkataan ayah seketika membuat Rania tercengang mendengar nama itu.Lamunan Rania buyar. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah layar ponsel miliknya. Berharap lebih, agar Kevin membaca dan membalas pesan yang ia ki
Dasar wanita aneh! gumam batin Sakti tersenyum tipis. Namun, senyum manisnya mendadak hilang saat Rania terbangun dan duduk menghadap dirinya."Pak Sakti, apa boleh saya bertanya sesuatu pada Bapak?" tanya Rania yang memperlihatkan keceriaannya kembali. "Bicaralah!" ujar Sakti yang tetap fokus pada layar laptopnya.Bibir Rania merapat. Kedua tangannya menopang di atas bantal yang ada di pangkuannya. Jemari tangannya juga tak berhenti meremas mengimbangi rasa tak enak yang datang menghampiri. Berpikir, seakan merangkai kata-kata yang tepat untuk di ucapkan pada atasannya itu."Kenapa? Apa kamu berubah pikiran? Jika tidak ada yang di bicarakan, tidurlah!" pinta Sakti menatap wanita yang saat ini resmi menjadi istri sahnya.Rania mendongak. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat aura ketampanan Sakti yang kian terpancar. Memakai kaos putih dan celana selutut. Dan untuk pertama kalinya, ia duduk santai berdua dengan atasan yang sangat menyebalkan baginya."Ehm ... Pak Sakti,
Bulan madu? Apa iya, aku dan dia akan bulan madu? tanya Rania dalam hati."Bagus! Ayah sangat senang mendengarnya. Dan kalian tidak usah khawatir tentang ayah. Kalo kalian pergi bulan madu, ayah akan menghubungi Kevin untuk menemani ayah di rumah!" tutur ayah terlihat begitu senang.Itu tak akan pernah terjadi, Ayah. Dan tak akan mungkin. Demi masa depan kami, kami memutuskan untuk mengakhiri pernikahan kami setelah enam bulan lamanya! kata batin Rania seraya tersenyum manis di depan sang ayah tercinta.***Di perjalanan, Rania tak berhenti menatap ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.Ia mendesah sebal saat terjebak macet di hari kerjanya."Kalo tau begini, aku tak mungkin turun dari mobil pak Sakti. Ya Tuhan, semoga hari ini aku tak bertemu dengan madam Sonya," lirih Rania menyandarkan kepala tepat di kaca jendela bus yang tertutup itu.Sesampai di tempat kerja, Rania berlari sekencang-kencangnya. "Jika kamu telat sekali lagi, madam tak segan-segan memotong gaj
"Selingkuh? Apa maksud kamu? Jangan bilang kamu selingkuh dan mengkhianati pak Mike?" Anggukan kepala Sarah membuat Rania menghela nafas panjang. Ia tak menyangka sahabatnya yang terkenal pendiam, malah berulah melebihi dirinya.Di dalam taksi, Rania seakan tak percaya dengan apa yang telah di lakukan oleh sahabatnya itu. Terkenal alim dan pendiam, itulah yang melekat di diri Sarah selama berteman dengannya."Bener-bener gila! Bagaimana mungkin dia membuang pak Mike yang selalu memanjakan dirinya. Padahal, segala kebutuhannya selalu di cukupi oleh pak Mike. Sarah-Sarah, seharusnya kamu bersyukur memiliki kekasih seperti dia. Penyanyang, perhatian, tampan, semua ada padanya. Hah, nggak seperti aku. Harus terpaksa menikah dengan orang yang suka memperlakukanku seenaknya!" gumam Rania menghela nafas panjang. Bibirnya melipat seraya menatap ke arah pepohonan di jalan yang seakan berlari mengejarnya.Drt ... Drt ...Getaran ponsel mengejutkan Rania. Sudut mata belonya menyipit melihat nom
Bagaimana ini? Apa iya pak Sakti mau meminjamkan uang padaku? gumam Rania dalam hati."Kamu hubungi Sakti sekarang juga dan bilang apa yang sebenarnya terjadi. Ayah yakin dia pasti mau mengerti!"Rania mendongak menatap sang ayah yang mulai memberikan support untuknya."Tapi, Ayah ...," kata Rania terhenti."Kenapa Rania? Apa sebelum menikah kamu tak menceritakan semua hutangmu itu pada suami kamu?" sindir pak Suga tersenyum sinis.Rania terdiam. Mulutnya seakan terkunci rapat dan tak mampu menjawab pertanyaan dari rentenir tersebut."Rania, sambungkan teleponnya pada Sakti. Ayah akan bicara padanya!" pinta Ayah memicing menatap ke arah pak Suga. Seolah-olah tak terima dengan sindiran dari musuhnya tersebut.Dengan penuh keraguan, Rania merogoh ponselnya dan mulai menghubungkannya pada Sakti.Rania mendongak menatap sang ayah yang dengan sabar menunggu jawaban dari Sakti. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa mengiringi rasa gundah yang datang menghampiri.Aduh! Bagaimana ini? Tak m
Masalah apa lagi yang terjadi padanya?" tanya Sakti penasaran. Drt ... Drt ...Sakti menunduk melihat ponsel miliknya yang bergetar. Dengan gaya yang begitu perfect, Sakti mengangkat telepon dan melangkah pergi masuk dalam kamarnya kembali."Ya, Mike?" tanya Sakti duduk tepat di kursi putarnya. Kedua kaki menyilang menopang di atas meja kerja.("Ada apa? Kenapa tadi sore kamu menelponku berkali-kali? Jangan bilang kamu memberiku pekerjaan di saat waktu istirahatku!") Sakti menyeringai. Ia sudah menduga jika sahabatnya akan berkata seperti itu kepada dirinya. Perkataan yang selalu sama terucap setiap kali ia memberikan pekerjaan di malam hari pada sahabatnya itu."Semua sudah terselesaikan! Tapi, ada pekerjaan lain yang harus kamu lakukan," kata Sakti yang bersiap menjauhkan ponsel dari telinganya.("SAKTI ARGANTARA ....") Sakti mengernyitkan dahi. Perlahan, ia meletakkan ponselnya tepat di atas meja. Membiarkan kata serampah Mike tumpah dalam benda layar pipih miliknya."Bicaral
"Kenapa pak Mike di sini? Trus, kenapa makanannya di masukkan ke dalam rantang? Apa jangan-jangan keluarga pak Sakti tak jadi datang?" tanya Rania seorang diri. Rasa penasaran membuat dirinya bergegas menghampiri sekertaris pribadi suaminya itu.Menggerutu tiada henti itulah yang dilakukan Mike saat ini."Bener-bener keterlaluan! Selalu memberiku pekerjaan di luar jam kerja. Seharusnya, pekerjaan ini cocoknya untuk ART bukan sekertaris pribadi perusahaan sepertiku," ucap Mike menggerutu. Dengan langkah hati-hati, Rania berjalan menghampiri Mike. Lelaki manis dan cool yang tak lain adalah mantan kekasih sahabatnya, Sarah."Pak Mike," sapa Rania yang membuat Mike menoleh."Rania, kamu mau berangkat kerja?" tanya Mike yang terdengar begitu lembut. Senyumnya selalu tertoreh setiap kali berbicara dengan Rania. "Kenapa makanannya di masukkan ke dalam rantang? Apa keluarga pak Sakti tak jadi ke sini?" Pertanyaan Rania seketika membuat Mike mengerutkan kening. Senyumnya sedikit memudar saat
Rania terbelalak kaget. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa melihat kendaraan yang jauh berbeda dengan lainnya.Sesampai di tempat kerja, Rania memarkirkan sepeda di tempat yang tersedia. Helaan nafas terdengar mengiringi rasa kecewa yang saat ini datang menghampiri."Menurut saya, sepeda sangat tepat untuk kamu. Selain untuk kesehatan, resiko kecelakaan sangat kecil ketimbang memakai motor. Jadi, saya memutuskan untuk membelikan sepeda untukmu. Dan tak ada alasan kamu bilang terlambat lagi sampai rumah sebelum aku pulang!" Perkataan Sakti masih terngiang dalam benaknya."Rania-Rania, bagaimana bisa kamu berpikiran kalo dia memberikan mobil untuk kamu. Seharusnya kamu itu tau, kamu itu siapa? Mana mungkin dia membelikan mobil yang harganya ratusan juta. Heh, mimpi kamu kelewatan!" gerutu Rania berbicara seorang diri sembari menatap sepeda yang berwarna hitam miliknya. Dengan langkah tak bersemangat, ia mulai meninggalkan tempat parkir yang jarak parkirannya tak jauh dari ruang ke
Clara terkejut. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat suara Kevin terdengar olehnya. Ia menoleh. Dan TUARRTamparan keras melesat tepat di pipi kanannya."Dasar wanita sialan!" ketus ibu Mega yang terlihat marah dengan Clara.Kevin dan Mike tercengang di buatnya."Kakak!" ucap Clara seraya memegang pipi kanannya. Sungguh, terasa sangat sakit dan membekas tamparaan keras tersebut."Kakak?" tanya Mike mengerutkan keningnya. Ia seakan tak percaya jika ibu Mega adalah kakak kandungnya Clara."Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Kamu tau? Rumah ini adalah kenangan kita bersama ayah dan ibu. Dan bisa-bisanya kamu menjual tanpa ijin terlebih dulu padaku. Apa kamu sudah tak menganggap kakak lagi!" ketus ibu mega meluapkan rasa amarah yang tertahan. Clara terdiam. Bibirnya bergetar mengimbangi rasa sakit hati yang masih membekas di hati."Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa menjualnya. Aku tak mau aku berhutang budi dengan lelaki yang sudah menjadi milik orang lain. Sudah cu
"Sebentar lagi, sebentar lagi kehidupanmu akan berubah, Rania Agatha! Dan aku pastikan mereka tak akan mau dengan wanita sepertimu!" ucap Clara begitu senang bukan main.Rania terdiam. Sungguh, ia sangat bingung akan perkataan yang terlontar dari mulut Clara. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat kering dan sakit. "Bersiaplah!" gegas Clara mulai pergi meninggalkan rania seorang diri di kamar.Rania menghela nafas berat. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah Clara yang mulai pergi meninggalkannya. Akan tetapi, Rania mengerling saat Clara berjabat tangan dengan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menyeramkan."Aku tak bisa bayangkan, bagaimana ekspresi sakti setelah orang yang ia cintai telah di peristri oleh orang lain. Hah, sudah pasti dia akan menjadi gila!" Perkataan Clara seketika mengingatkan rania.'Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ingin menjualku." Rania menggigit bibir bawahnya menahan rasa amarah yang tertahan saat melihat Clara tersenyum senang
"Kamu nggak usah ke sana! Biar aku yang mengurusnya!" ucap Mike."Jangan melarangku! Katakan! Di mana dan siapa yang membawa istriku pergi?" tegas Sakti meluapkan rasa amarahnya."Clara! Tadi clara menghubungiku dan dia tau di mana Rania berada," tutur Mike menjelaskan."Lalu, kamu percaya dengan kata-katanya?" tanya Sakti yang tak mendengar bantahan dari sahabatnya itu. "Yang aku butuhkan saat ini adalah informasi yang akurat dari plat nomor mobil yang aku kirimkan padamu itu. Cari sekarang!"Sakti segera mematikan ponselnya. Ia mendesah sebal saat Mike tak melakukan apa yang ia minta."Bagaimana bisa dia mengabaikan perintahku yang sangat penting ini?" keluh Sakti menegak salivanya dengan paksa. Untuk kali pertama, Mike tak secepat kilat seperti biasanya. Biasanya, di saat sakti selalu memberikan perintah, tak butuh waktu lama mike menyelesaikannya. Sangat berbeda dengan perintah kali ini. Padahal, perintah kali ini sangat berharga bagi Sakti. Bahkan melebihi nyawanya.Di kantor, M
Rania terjatuh tak sadarkan diri."Bawa dia masuk!" perintah seseorang yang membuat Rania pingsan karenanya.Sedangkan, Sakti bingung mencari keberadaan Rania yang tak ada di restoran.'Apa dia sudah pulang ke rumah?' batin Sakti bertanya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir yang sudah ia tugaskan untuk mengantar sang istri pergi."Halo, Pak! Di mana sekarang?" tanya Sakti memastikan.Sesaat, kedua bola matanya mengerling mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir begitu saja. Bibirnya merapat seraya berpikir kemana sang istri pergi."Hubungi yang lain. Dan segera hubungi saya jika sudah menemukan ibu Rania!" Perintah Sakti menutup teleponnya.Alisnya bertaut. Kedua tangannya menopang di pinggang sembari mengamati tempat duduk yang memperlihatkan sesuatu yang tidak asing baginya.Dengan cepat, ia mulai melangkah. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah pesanan yang sama persis dengan permintaannya pada Rania. "Minumannya masih utuh. Apa mungkin di
"Siapa wanita itu? Bisa-bisanya memanggil suamiku dengan sebutan 'Say'? Dan dia juga, kenapa dia berbicara terang-terangan menjawab pertanyaan wanita itu di depanku?"Bibir ranum rania memanyun. Rasa bahagia dan semangat yang membara perlahan mulai memudar saat rasa cemburu mulai menguasai dirinya."Setelah aku memberikan semua kepadanya, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku? Hah," keluh Rania melempar dua baju yang ada di tangannya.Di kantor, Sakti berjalan menghampiri Bu Mega, manager keuangan yang usianya lebih tua darinya. Sakti sudah menganggap Bu Mega seperti ibunya sendiri. Tak heran jika mereka begitu akrab. Layaknya ibu dan anak."Semuanya sudah beres, ibu tinggal membenahi selisih keuangannya saja!" tunjuk Sakti ke arah laporan yang di pegang oleh bu Mega."Jadi, hari ini ibu harus lembur, dong?" tanya Ibu Mega memastikan."Heem. Bukankah ibu tak pernah salah dalam berhitung? Tapi, kenapa laporan ini banyak kesalahan?" cecar Sakti yang menatap wanita paruh baya yang du
Tak seharusnya kamu menyuruhku ke sini melihat keromantisan kalian!" Lirih mike dengan tatapan sinis.Sakti menyeringai. Ia tak habis pikir, Mike sudah datang membawa makanan yang ia pesan."Letakkan saja di meja dan kamu ...," kata Sakti terhenti."Masih belum kelar?" tanya Mike berjalan ke arah meja kerja Sakti yang masih sama seperti waktu ia pulang kerja. Laporan menumpuk dan tak ada kegiatan laptop untuk melakukan pekerjaan.'Hah! Pasti dia menyuruhku ke sini untuk lembur. Dan sudah pasti, dia akan beralasan mengantar pulang rania,' gumam batin Mike melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan benda layar pipih yang menempel di telinga."Baik, Pak. Sebelum jam dua belas, saya akan mengirimkan file-nya!" Perkataan Sakti yang membuat Mike mendesah sebal dan sudah sangat bisa di tebak, dia akan lembur seorang diri.'Dasar sahabat laknat! Dia tak tau apa, seharian aku tak istirahat karenanya!' gerutu batin Mike membanting tubuhnya tepat di kursi putar milik sahabatnya itu."Pulanglah!
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rania mulai panik.'Kenapa dia diam saja? Apa jangan-jangan dia ....' kata batin Rania terhenti saat pikiran negatif mulai menghantuinya."Tidak! Dia tak mungkin mati! Tidak!' Batin Rania seakan berkecamuk. Dua bola matanya berkaca-kaca. Rasa nikmat dan bahagia yang ia rasakan seketika berubah menjadi rasa takut dan sedih yang teramat dalam."Bangunlah! Tolong, jangan tinggalkan aku!" kata Rania mengoyak tubuh Sakti yang masih berada dalam pelukannya. Air matanya pun menetes saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. Dua bola mata Rania berputar. Semua terlihat begitu gelap dan hanya terdengar detakan jam dinding yang ada di ruangan tersebut.Perlahan, Rania mencoba mendorong tubuh Sakti dan berusaha untuk duduk. Bibirnya bergetar, jemari tangannya mulai mencari dan meraba remote yang akan menerangi ruangan tersebut.TekRania mengernyip. Sinar beberapa lampu yang menyala membuat kedua matanya silau.GlekTegakkan salivanya mengalir de
' Kenapa tatapan matanya seperti itu? Apa rasa cintanya kepadaku berubah hanya gegara sapu itu?' tanya Rania dalam hati seraya melihat sapu yang berada dalam genggaman sakti."Rania, apa kamu tau ...," ucap Sakti terhenti."Bukankah kamu bilang sangat mencintaiku? Lalu, kenapa kamu marah padaku hanya gegara sapu jelek itu? Kamu tau! Sejak semalam, perasaanku bercampur aduk karenamu," gumam Rania memanyunkan bibirnya. Sakti menyeringai. Perlahan, ia mulai meletakkan sapu itu di samping meja dan berjalan menghampiri Rania. Ia tak menyangka, istrinya salah paham dengan tingkah lakunya itu."Di saat aku mulai mencintaimu, kamu malah ...."GlekDua bola manik mata Rania mengerling. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa saat lumatan hangat mengarah pada bibir ranum miliknya. Begitu hangat dan kenyal. Sejenak, lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat Sakti melepas ciumannya. Apalagi jemari tangan Sakti mendongakkan dagunya secara perlahan. Sungguh, membuat detakan ritme jant
DegRania mengerling saat melihat tulisan yang membuat dirinya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.'Jadi dia ....' Dua bola mata indahnya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat melihat penyakit yang tertulis dalam rongsen tersebut. Sebuah penyakit yang selama ini berada dalam pikirannya.'Ya Tuhan, apa ini benar?' tanya batin Rania seraya menggelengkan kepala.Alis Sarah bertaut. Ia melirik sahabatnya yang terlihat sedih setelah membuka barang yang ia berikan."Ada apa?" tanya Sarah penasaran. Jemari tangannya dengan cepat menggenggam tangan sahabatnya itu.Rania buru-buru memasukkan kembali hasil rongsen tersebut. Bibirnya mengembang, mencoba menutupi rasa sedih yang menguasai dirinya."Tidak! Tidak ada apa-apa! By the way, terimakasih ya! Kamu sudah mau mengantar ini padaku!" ucap Rania mencoba untuk tersenyum."Serius. Kamu tak apa? Tapi, kenapa mata kamu ...," tunjuk Sarah memastikan."Oh ini," tunjuk Rania ke arah sudut matanya."Tadi, tadi aku menguap tiada henti. Jad