Panas tak berkesudahan hingga malam. Kegelisahan pun melanda Raja Iblis di kursi kebesarannya."Tuan, Azuma bilang Nona Zara belum kembali." Alexa datang setelah menerima laporan dari orang rumah.Reon dan Zack tersentak. "Apa? Bagaimana bisa? Ini sudah cukup lama untuk lari ketakutan," Zack mewakili Reon berbicara. Sebentar lagi pukul delapan malam. Alexa pun menggeleng. "Tidak mungkin juga gadis itu kabur," lanjut Zack mengetuk dagu.Ucapannya membentuk sugesti. Kedua alis Alexa terangkat. "Tuan, izinkan aku mencarinya," serius Alexa. Reon mengangguk cepat. Kecemasan yang menakutkan di wajahnya begitu kentara meskipun disembunyikan."Telusuri siapa pun yang bersinggungan dengan Zara, termasuk dua desainer itu." Bahkan suaranya teredam kekhawatiran itu sendiri. Berat rasanya perintah terucap hingga menggetarkan dua ajudannya. "Jika curiga pada klien, kenapa tidak mencurigai karyawanmu? Kami semua terpesona pada Zara," sahut Zack membekukan suasana.Alexa pun pamit pergi. Bukan
"Tunggu dulu, Raja Iblis! Ada yang ingin saya bicarakan pada Anda! Di mana temanku Zara?!"Kondisi babak belur yang hanya terbalut plaster seadanya, Bastian memberanikan diri menghadang Reon di depan gedung perusahaan. Alexa dan Zack tak percaya Bastian berani datang bahkan setelah Alexa membuatnya berantakan. "Aku tidak tau," jawab Reon memperhatikannya jelas. "Jangan bohong!" Bastian memotong udara.Napasnya masih terengah, "Nona Alexa datang bertanya tentang keberadaan Zara. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa dia menghilang?" Alexa dan Zack terperangah, tetapi Reon tetap tenang tak tersentuh. "Maafkan saya, Tuan Bastian. Saya telah salah paham," dengan kakunya Alexa memohon maaf seperti tiada niat. Bastian tetap mempertahankan emosi. "Saya tidak mempermasalahkannya." Zack yang terus memandang pun melerai. "Hei, sudahlah, jangan terlalu formal. Bastian, aku tidak kolot seperti mereka berdua. Saat ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi Zara benar-benar menghilang sejak pag
"Tuan, Nona Zara ...," ucapan Alexa terputus dengan dobrakan pintu yang dilayangkan kakinya sendiri. Zack segera menayangkan tayangan rekaman CCTV. Dia merampas laptop polisi. "Diculik dalam keramaian trotoar," lanjut Alexa setelah berada di dekat Reon."Baiklah, ini dia!" Zack memutar rekaman itu. Sesuai praduga Reon, Zara hilang berdasarkan penculikan. Keningnya memunculkan garis halus yang nampak tenang, tetapi tangannya terkepal."Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir dari awal? Ada apa dengan otakku?" Reon pun berdiri."Kita pergi!" Melenggang keluar rumah membuat Zack dan Alexa mengikutinya."Heh? Lalu, aku bagaimana?" Bastian menengadahkan tangan bingung. Reon melirik sempat berhenti."Kembalilah menjadi Burung Merpati Zara." Desisan Reon meninggalkan misteri bagi Bastian. "Argh, apa maksudnya?"Berkerut dahi sembari menggaruk kepala. Sontak terpikirkan sesuatu. "Burung Merpati ... astaga, aku juga harus pergi!"Tak menunggu lagi dia meninggalkan kediaman Reon begitu cepat.
Tanpa sadar Zara terbuai perjalanan. Dia tertidur pulas. Lalu, laki-laki yang hampir tidak pernah menunjukkan ekspresi lain selain keangkuhan dan sedikit senyuman itu seakan lupa diri. "Pergilah! Kuserahkan perusahaan pada kalian. Aku akan mencari Zara sendiri." Reon mengusir Zack dan Alexa. Badai telah berlalu. Tak mengira jika berlangsung hingga pagi. Mereka juga telah menjauh dari pemukiman. "Tuan, hubungi kami jika terjadi sesuatu. Bagaimana bisa saya meninggalkan Anda?" Dari nada bicara yang serius, Alexa sedih menjauh dari Reon. Dia ingin mengikuti Reon."Apa tidak sebaiknya saya saja yang melanjutkannya? Anda butuh istirahat," Zack turut tidak tega. Alis Reon justru bertaut."Kalian berani menentangku?" Sontak kedua orang itu menggeleng. "Ahaha, tentu tidak." Zack angkat tangan berkeringat dingin."Bagus! Pergilah!" Reon pun meninggalkan mereka.Zack dan Alexa saling pandang setelah Reon bergabung di jalan raya. Mereka pikir apakah tidak masalah membiarkan Reon yang di
Jauh dari keramaian kota, jauh dari polusi dan debu udara, juga jauh dari materialisme dunia. Tidak ada kesejukan melebihi sungai yang mengalir jernih. Hawa kehadirannya menghilangkan rasa lelah."Aku tertidur?"Perlahan Zara bangun. Begitu sadar menempati tempat yang berbeda dia berdiri tertatih. "Hah?! Di mana ini?!" teriaknya lantang.Terkejut hebat sudah berada di rerumputan basah. Dia menoleh ke segala arah. Tepi sungai di dalam hutan Jati serta banyaknya ilalang dan rumpun bambu menjadi pusat perhatiannya.Seluruh bagian tubuh terasa pegal, kemungkinan lelah perjalanan. Dahi pun berkerut tanda kebingungan."Hutan lagi?!" keluhnya memekik lemah. Mendesis kesakitan dan menggaruk tengkuknya. Dia tersentak menyadari ikatannya terlepas. Mengerjap dua kali, kemudian memahami kondisi."Ah, aku kembali dibuang, ya?"Menatap redup tangan dan kaki yang bebas. "Kukira aku akan dibawa ke pasar gelap. Apa untungnya penculik itu membuangku kemari? Ini di mana?" Mendongak menantang langi
Demi menghilangkan dahaga, Zara terpaksa kembali menyusuri hutan. Langit masih mengamuk mengubah petir menjadi cambuk. Zara sangat kesal karena air tak kunjung turun. "Hujan saja kalau mau hujan! Kenapa harus marah-marah?!" Dia mendongak memarahi langit. Dalam sekejap lesu tanpa tenaga. "Hah, aku sudah tidak sanggup lagi berjalan. Aku haus!" rengeknya dengan bibir bergelombang. Berkat terpaan angin, wajahnya yang lengket menjadi kering. Tubuhnya menyerah bersandar sebuah pohon Jati. Meraup rumput yang dingin dan memandangnya tanpa selera. "Eerrr, apa aku harus makan ini?" Genggaman yang sangat erat. Rumput itu menjadi tak berdaya di tangannya. Rahang Zara pun mengetat. "Hatiku ... masih terasa sesak." gumamnya lirih memandang rumput. Luruh sudah rerumputan itu. Zara kembali mengepalkan tangan di dada. Detakannya lebih kuat. Seirama dengan gemuruh yang meneror. Mendadak bayangan Reon terlintas di benaknya. Zara tersentak, sedetik kemudian lenyap."Ck! Kenapa aku memikirkan o
Mereka mengatur napas di dalam mobil. Para warga desa kembali, kesulitan mencari karena badai. Sontak Zara tidak bisa bergerak, bersandar kursi. "Hah, akhirnya aku bisa tenang." lirihnya senyum tenang. Reon hendak melepas kemejanya membuat Zara terjingkat melotot. "Aaaa! Apa yang kau lakukan?!" teriaknya menutup wajah, tapi jemarinya terbuka."Lepas pakaianmu jika tidak ingin masuk angin." Reon tetap melepas kemejanya. Terekspos lah Reon yang bertelanjang dada. Merah sudah setiap garis wajah Zara. Jantungnya seakan ingin meledak. "Ka-kau sudah gila, ya?!" pekiknya mencicit memalingkan wajah. Dia memanas.'Huaaa, berbahaya sekali! Kenapa dia bisa memiliki tubuh sebagus itu? Tidak, tidak, jangan berpikiran macam-macam, Zara. Kendalikan dirimu!' batinnya.Reon pindah ke belakang hanya untuk mengambil barang. "Ada selimut di bagasi. Pakailah!" Melempar selimut putih nan tebal pada Zara, sedangkan dia memakai pakaian ganti. "Eh? Ada selimut? Bahkan kemeja juga?" mengerjap menatap
"Dia itu aneh sekali! Sedikit-sedikit mau menghancurkan perusahaan orang seenaknya saja. Dipikir membuatnya mudah?" Zara sudah jauh lebih baik dari beberapa jam yang lalu. Bastian bingung. "Entahlah! Kalau kau sendiri bagaimana?" Zara Mengerucutkan bibir kesal sembari mengantar Bastian pulang hingga ke gerbang. "Tentu saja merusak jiwa orangnya." mendongak bangga.Bastian meringis karena itu jauh lebih parah. Kemudian, semuanya sirna. Pagi-pagi sekali Zara ingin bersantai menghirup udara segar. Namun, Reon menariknya pergi ke kantor. "Eh, apa-apaan ini? Lepaskan aku!" Dia tidak bertemu Alexa maupun Zack. Zara mencari mereka karena ingin mendapat bantuan. Pasalnya Reon memberi pekerjaan berat. "Salin semua dokumen itu di komputer. Selesaikan sekarang juga." Perintah Reon tanpa berhenti berkutat dengan laptop."Apa?" Zara terperangah melihat tumpukan laporan keuangan di meja. "Kenapa harus disalin? Bukankah sudah ada file-nya di divisi keuangan?" tanyanya heran. "Hilang," ja