Trotoar yang terang menghidupkan jiwa Zara. Tidak seperti istana Reon yang gelap gulita bagai sumber kegelapan. "Kucing Vanilla, di mana kau?" Teriak Zara lantang. Tangannya membentuk corong layaknya speaker mulut. 'Dasar mereka! Begini saja bahasanya seperti penjajahan. Kerahkan pasukan? Maaf, sekarang kucing dan manusia sedang gencatan senjata. Andai saja bisa kukatakan seperti itu pada Alexa agar dia bungkam,' batin Zara meledek. Sudah jauh dari kawasan rumah Reon, Zara tetap tidak menemukan kucingnya. "Hah, di mana dia?" Cemas mulai melanda. Memandang cahaya lampu jalan membuatnya mendesah. Lalu, terdengar suara kucing mengeong dari salah satu toko yang terbuka. Tanpa menunggu, segera menuju sumber suara. "Jelas-jelas aku mendengarnya di sini tadi. Apa mungkin kucing lain?" lirihnya teliti mencari di sekitar toko. Alhasil dia menjadi sorotan banyak orang. Suara kucing itu terdengar lagi, tetapi lebih lembut. Zara berbalik dengan harapan besar. Namun, yang dia dapatkan ju
Koleksi drama kehidupan berputar dalam imajinasi. Zara agak sedih Ryo meratapinya. Namun, hanya itu yang Zara pikirkan dan tertulis dalam surat. "Aku tidak percaya! Justru kau yang berbuat seenaknya." Ryo membuang gumpalan surat itu. Alis Zara bertaut. "Mengancam Forin, apa kau sengaja ingin menghancurkanku? Ditambah dengan surat ini, sangat jelas kau menyatakan perang, Zara." Ryo murka. Wajah putihnya semerah darah. Zara tersentak tatkala berdecak."Jauh-jauh datang hanya ingin mendebatku? Sudah kuduga kau diracuni model itu." Zara sebisa mungkin mengontrol emosinya. Ryo menggeleng tak kuasa, "Kupikir kau pintar, tapi menanggapi Forin saja sampai menganiayanya. Dia menangis tersedu-sedu setelah pulang pemotretan dari taman." "Oh? Begitukah? Jadi dia menangis, ya? Pasti menyenangkan melihat wajah manisnya menangis tanpa henti." Zara melayangkan senyum tanpa beban. "Gadis ini!" Ryo mengepalkan tangannya.Bastian ingin melerai dengan menunjukan bukti rekamannya pada Ryo, tetapi Z
Kepergian Reon membubarkan para pelayan, kecuali Azuma yang masih berdiri dengan sisa syok yang mendalam."Ci-cinta sepihak memang menyakitkan," Azuma tergagap. Merinding, Zara berbalik menatapnya. "Aku tidak mencintainya, Bibi! Ryo hanyalah mantanku!" "Huaaa, Tuan, Zara marah!" Azuma langsung bebas dari rasa kaku. Dia lari mencari Reon untuk mengadu. "Astaga, orang itu selalu saja!" Zara menepuk keningnya.Bastian sedari tadi berpikir, "Jadi, jurnalis yang bekerja sama dengan Forin adalah para saudara Ryo? Lalu, yang mengawasiku juga mereka? Kurasa itu tidak benar. Kalau benar mengapa Ryo memintanya mengawasiku, padahal dia saja tidak tau?" Zara menjambak anak rambutnya lemah dan menatap halaman luas. "Kau tau? Forin yang menyuruhnya, bukan Ryo," balas Zara lirih. "Apa?!" Bastian kaget. Zara mengangguk pelan."Aku sudah meramalnya usai bertemu Forin di taman. Pertama, keempat kakak Ryo terhubung dengan media, bukan berarti mereka bekerja di media. Hanya perantara yang memilik
Dunia tidak akan hancur hanya karena Zara cemburu, meskipun gadis itu menyangkalnya."Dasar bodoh!""Eh?" Zara mengerjap linglung. "Siapa juga yang menyukai makhluk rendahan seperti kalian? Wanita selalu merepotkan." Reon membanting setir hingga memutar jalan. Ternyata laboratoriumnya telah terlewatkan. "Hiyaaaa! Kau mau membunuhku apa?!" teriak Zara histeris. Memegang sabuk pengaman saja tidak cukup menghilangkan takut. Lalu, mobil itu perlahan berbelok ke gerbang memasuki lingkungan laboratorium. Seluruh tubuh Zara gemetar. Dia enggan melepaskan sabuk pengaman. "Re-rendahan dia bilang? Ah, lututku seperti jeli," merintih ngeri. Tak menghiraukan Zara, Reon segera keluar dan membuka pintu laboratorium. Mau tidak mau Zara menyusul walau terus menyumpahi Reon dari belakang. "Ada yang harus kau bereskan di sini. Tempat pembakaran sampah ada di halaman belakang. Bakar semuanya," ujar Reon tanpa berhenti berjalan. "Hah?! Sampah lagi?!" Memekik pun tidak ada artinya."Huft! Apa bo
Tiap detik bagai satu jam. Zara menghilang dalam alam sadar.Kenyataan menamparnya keras membuat jarak yang begitu jauh dengan sang majikan. Zara mendorong Reon begitu saja. 'Ke-kenapa aku menempel seperti lem di lengannya?!' batin Zara memekik.Dia membekap mulutnya. Bola matanya bergerak-gerak.'Kenapa aku merengkuhnya?' hati Reon bingung. Saling berpaling dengan kerutan di dahi serta gejolak yang aneh.Seolah tidak terjadi sesuatu, mereka pulang dalam keadaan canggung. Situasi bodoh itu menggerogoti Zara dalam perjalanan.Pagi pukul delapan. Zara kebingungan mondar-mandir di kamar mandi kantor. Cermin yang memenuhi dinding menampilkan wajahnya yang bengis nan berpikir kritis. Dia benar-benar menekan nalurinya."Apa aku akan mati?"Memegang dada yang berdebar kuat. Terasa jantung hendak keluar. "Aarghh, tidak, tidak, tidak! Aku tidak akan mati hanya karena terlalu dekat dengan si banyak wajah itu. Ck, menyebalkan sekali! Harusnya aku tidak terbawa suasana kemarin! Ini gara-gara
Panas tak berkesudahan hingga malam. Kegelisahan pun melanda Raja Iblis di kursi kebesarannya."Tuan, Azuma bilang Nona Zara belum kembali." Alexa datang setelah menerima laporan dari orang rumah.Reon dan Zack tersentak. "Apa? Bagaimana bisa? Ini sudah cukup lama untuk lari ketakutan," Zack mewakili Reon berbicara. Sebentar lagi pukul delapan malam. Alexa pun menggeleng. "Tidak mungkin juga gadis itu kabur," lanjut Zack mengetuk dagu.Ucapannya membentuk sugesti. Kedua alis Alexa terangkat. "Tuan, izinkan aku mencarinya," serius Alexa. Reon mengangguk cepat. Kecemasan yang menakutkan di wajahnya begitu kentara meskipun disembunyikan."Telusuri siapa pun yang bersinggungan dengan Zara, termasuk dua desainer itu." Bahkan suaranya teredam kekhawatiran itu sendiri. Berat rasanya perintah terucap hingga menggetarkan dua ajudannya. "Jika curiga pada klien, kenapa tidak mencurigai karyawanmu? Kami semua terpesona pada Zara," sahut Zack membekukan suasana.Alexa pun pamit pergi. Bukan
"Tunggu dulu, Raja Iblis! Ada yang ingin saya bicarakan pada Anda! Di mana temanku Zara?!"Kondisi babak belur yang hanya terbalut plaster seadanya, Bastian memberanikan diri menghadang Reon di depan gedung perusahaan. Alexa dan Zack tak percaya Bastian berani datang bahkan setelah Alexa membuatnya berantakan. "Aku tidak tau," jawab Reon memperhatikannya jelas. "Jangan bohong!" Bastian memotong udara.Napasnya masih terengah, "Nona Alexa datang bertanya tentang keberadaan Zara. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa dia menghilang?" Alexa dan Zack terperangah, tetapi Reon tetap tenang tak tersentuh. "Maafkan saya, Tuan Bastian. Saya telah salah paham," dengan kakunya Alexa memohon maaf seperti tiada niat. Bastian tetap mempertahankan emosi. "Saya tidak mempermasalahkannya." Zack yang terus memandang pun melerai. "Hei, sudahlah, jangan terlalu formal. Bastian, aku tidak kolot seperti mereka berdua. Saat ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi Zara benar-benar menghilang sejak pag
"Tuan, Nona Zara ...," ucapan Alexa terputus dengan dobrakan pintu yang dilayangkan kakinya sendiri. Zack segera menayangkan tayangan rekaman CCTV. Dia merampas laptop polisi. "Diculik dalam keramaian trotoar," lanjut Alexa setelah berada di dekat Reon."Baiklah, ini dia!" Zack memutar rekaman itu. Sesuai praduga Reon, Zara hilang berdasarkan penculikan. Keningnya memunculkan garis halus yang nampak tenang, tetapi tangannya terkepal."Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir dari awal? Ada apa dengan otakku?" Reon pun berdiri."Kita pergi!" Melenggang keluar rumah membuat Zack dan Alexa mengikutinya."Heh? Lalu, aku bagaimana?" Bastian menengadahkan tangan bingung. Reon melirik sempat berhenti."Kembalilah menjadi Burung Merpati Zara." Desisan Reon meninggalkan misteri bagi Bastian. "Argh, apa maksudnya?"Berkerut dahi sembari menggaruk kepala. Sontak terpikirkan sesuatu. "Burung Merpati ... astaga, aku juga harus pergi!"Tak menunggu lagi dia meninggalkan kediaman Reon begitu cepat.