"Nyonya."
Panggilan itu membuat Adeline sontak tersadar. Ia menarik pandangan ke arah Ana, kepala pembantu di mansion mewah ini sekaligus seorang ibu. Sebenarnya Adeline belum terbiasa dengan panggilan itu, bahkan ia sudah mengatakan untuk tidak memanggilnya nyonya, tapi Ana bersikeras.
Karena malas berdebat, akhirnya Adeline membiarkan saja.
"Kenapa, Ana?" tanya Adeline sambil mendongak. Dia sedang berada di taman samping mansion, melakukan kegiatan favoritnya belakangan ini, yaitu melamun. Miris, tapi mau bagaimana lagi.
"Dokter keluarga Malik sudah ada di dalam, Nyonya."
"Maksudnya?" tanya Adeline tak mengerti. Alis rapi itu menyatu bingung.
"Iya, Nyonya. Tuan Kendrick memanggil dokter untuk Nyonya."
"Tapi untuk apa?" tanya Adeline yang masih belum paham.
"Kalau itu saya tidak tahu, Nyonya," jawab Ana yang membuat helaan nafas keluar dari hidung Adeline.
Adeline berdiri. "Baiklah. Kalau begitu aku masuk dulu," jelas Adeline yang lalu melangkahkan kaki jenjang miliknya yang dilindungi oleh sandal rumah.
Ia sedikit merasa kesusahan untuk mengingat ruangan-ruangan di mansion mewah ini. Ada banyak sekali ruangan yang bahkan Adeline tidak tahu apa fungsinya.
"Selamat siang, Nyonya."
Suara dokter wanita yang masih memakai pakaian dinasnya terdengar, menyambut kedatangan Adeline yang baru menginjakkan kaki di ruang tamu.
Adeline tersenyum, berusaha membuat raut wajahnya rileks. "Silakan duduk," perintahnya sembari menjatuhkan bokong Adeline di salah satu sofa.
"Nama saya Hazan. Kedatangan saya kesini sesuai dengan perintah Tuan Kendrick." jelas dokter wanita itu dengan senyum ramahnya sesudah ikut duduk.
"Untuk keperluan apa?" tanya Adeline. Adeline tahu kalau dokter itu sudah tahu namanya, jadi dia tidak perlu memperkenalkan diri.
"Saya disuruh Tuan kendrick untuk mengecek kesehatan Nyonya. Saya juga akan memberikan Nyonya obat pencegah kehamilan."
Penjelasan itu membuat Adeline sedikit terkejut. Tapi beberapa detik kemudian ia menarik bibirnya, membentuk sebuah senyuman. Seolah menunjukkan tidak terjadi apa-apa.
Sejujurnya Adeline tidak suka ketika melihat ekspresi Hazan. Dari cara Hazan menatap dan tersenyum seolah menyiratkan ejekan.
"Baiklah," sahut Adeline, "oh iya, aku sarankan kau harus belajar bagaimana bersikap sopan terhadap pasien yang kau tangani."
Sindiran itu berhasil membuat senyuman Hazan luntur seketika.
"Kau mau memeriksa saya dimana? Di sini atau di kamar?" tanya Adeline dengan senyuman. Hanya Kendrick saja yang bisa membuat harga diri Adeline hancur, Adeline tidak mau ada yang lain.
Sehabis kepergian Hazan, Adeline menghabiskan waktunya di dapur. Dia menyibukkan diri dengan melihat-lihat apa saja yang dimiliki dapur mewah tersebut. Tak lupa Adeline juga melihat bahan-bahan makanan yang ternyata tersedia dengan jumlah yang sangat banyak, sesuai dengan jumlah penghuni mansion mewah ini.
"Nyonya," panggil Ana dengan nafas yang tidak teratur, membuat Adeline menyatukan alisnya bingung.
"Kenapa?"
"I—itu—" Ana menjeda kalimatnya, membuat Adeline malah semakin merasa penasaran.
"Itu kenapa, Ana?" tanya Adeline mendesak. Dia berjalan mendekati Ana.
"Tuan Kendrick menyuruh Nyonya untuk menghubunginya sekarang." Wajah Ana berubah menjadi pucat pasi. Keringat dingin bercucuran di dahinya, padahal ruangan dapur ini dipenuhi oleh tiga pendingin ruangan yang menyala dengan suhu paling rendah.
Bayangkan saja, dia harus berpikir dimana Adeline berada dan menghampiri ruangan demi ruangan hingga tersisa satu pilihan, yakni dapur.
Sama seperti Ana, jantung Adeline juga berbunyi kencang. Ekspresi Ana malah membuatnya semakin ketakutan. Padahal Ana sudah lama bekerja dengan Kendrick, tetapi Ana masih terlihat takut. Bagaimana dirinya yang baru saja bertemu dengan Kendrick.
"Aku harus menggunakan apa? ponsel-ku diambil oleh dia," jelas Adeline. Untung saja dia cepat tersadar dan segera mengeluarkan suaranya. .
"Astaga saya lupa," pekik Ana sambil menjotos keningnya. Ia mengangkat telepon rumah tanpa kabel yang dari tadi ada di genggamannya. "D—dari tadi teleponnya terhubung."
"APA?!" Adeline memekik sambil menutup bibirnya dengan tangan. Bola matanya hampir saja keluar. Berarti dari tadi Kendrick sudah menunggunya. Habislah kau, Adeline.
"Tapi Tuan Kendrick tidak mendengar percakapan kita Nyonya. Saya menutup micnya tadi." bisik Ana, "kalau begitu saya permisi ke dapur."
Adeline menarik nafasnya panjang sebelum ia menempelkan telepon itu ke telinga. "H—halo?" Ringisan kecil dikeluarkan Adeline ketika suara helaan nafas berat terdengar di seberang.
"Aku tidak suka menunggu lama!" tegas Kendrick dari seberang,membuat Adeline meremas benda yang menempel di telinganya, menyalurkan ketakutan yang mulai menggerogoti tubuhnya. Suara tegas itu membuatnya ketakutan.
"M—maaf," kata Adeline sambil menggigit kukunya.
"Jangan lupa untuk minum obat yang Hazan berikan," jelas Kendrick, "aku tidak mau ada darah dagingku tumbuh di rahimmu!"
"Siapa yang mau juga?" sahut Adeline dalam hati. Tanpa disuruh pun Adeline juga akan mempunyai pemikiran yang sama.
"Iya," jawab Adeline sambil menelan salivanya dalam. "Kau tenang saja," lanjutnya.
"Bagus! Jangan pernah bertingkah macam-macam. Aku selalu mengawasimu dari jauh!"
Mata Adeline membola terkejut. Dia mengedarkan pandangannya ke langit-langit ruangan dapur. "A—apa kau memasang CCTV? Halo—"
Kendrick memutuskan sambungannya begitu saja.
Di seberang ...
Umpatan-umpatan terus saja Kendrick keluarkan dari bibirnya. Tangannya mencengkram keras setir mobil mahal itu dengan tatapan yang sudah berubah menjadi berkali-kali lipat tajam.
Dia menghela nafasnya lega ketika melihat Xavier, putranya, yang baru keluar dai sekolah. Sekolah Xavier bahkan sudah sepi, tidak ada lagi murid-murid yang terlihat.
Tadi, setelah Kendrick memutuskan panggilan Adeline, dia mendapatkan panggilan baru dari guru Xavier yang menyatakan tidak ada orang menjemput Xavier, padahal 2 jam lalu kelas telah usai.
Dengan penuh emosi, Kendrick langsung meninggalkan meeting begitu saja. Dia langsung bergegas mengendarai mobil sportnya, membelah jalanan Amerika yang sedang padat-padatnya.
"Apa kau sudah lama menunggu?" tanya pria dengan kemeja putih itu ke Xavier, putranya, sesudah Xavier masuk ke dalam mobil.
Kendrick mencebik kesal, seharusnya dia tidak bertanya seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak tahu topik yang menarik. Ya, Kendrick dan Xavier jarang berbicara.
Xavier diam saja setelah ia memasangkan sabuk pengaman. Pandangannya mengarah depan,enggan menatap Kendrick yang ada di sampingnya. Wajah tertekuk terlihat di bocah berumur 6 tahun itu.
"Langsung pulang atau makan?" tanya Kendrick setelah ia menjalankan mobilnya. Ia menatap Xavier dari ujung matanya.
"Pulang saja," jawab Xavier datar, membuat Kendrick mengangguk paham.
"Daddy akan mempekerjakan orang untuk mengantar jemputmu."
"Kenapa tidak Daddy saja?" tanya Xavier membuat Kendrick menoleh sebentar.
"Daddy sibuk bekerja. Kau harus paham dengan kondisi Daddy," jelas Kendrick.
Xavier mengangguk paham. "Kalau begitu lebih baik Xavier tinggal lebih lama saja di sekolah. Xaver malas di rumah."
"Kenapa? Apa yang membuatmu malas berada di rumah? Biar Daddy akan menjelaskannya ke Mommy."
"Tidak perlu."
"Xavier, bisakah kau menjelaskan secara jelas?" tanya Kendrick. Suaranya sudah meninggi. "Daddy bingung dengan dirimu. Daddy tanya baik-baik tapi kau malah menjawabnya singkat dan membingungkan!"
"Xavier juga bingung sama Daddy." Mendengar itu, Kendrick segera menekan rem yang ada di bawah kakinya tiba-tiba. Mobil itu berhenti setelah terdenegar decitan yang keras antara ban dan aspal.
Manik biru milik Kendrick dan Xavier saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Wajah mereka mirip, Xavier mewariskan semua apa yang Kendrick miliki. Bahkan sifat Kendrick juga ada di Xavier.
"Lebih baik Daddy tidak jemput Xavier. Lebih baik Daddy fokus saja dengan pekerjaan Daddy yang banyak itu. Daddy jahat! Daddy bahkan tidak pernah melihat kami ke rumah! Lebih baik tidak perlu perhatikan Xavier dan Nadine lagi!" seru Xavier dengan suara yang meninggi, memenuhi mobil mahal itu. Rahangnya mengeras, sama seperti apa yang dilakukan Kendrick jika dia marah.
"Daddy selalu memperhatikan kalian! Daddy selalu pantau keadaan kalian! Memang Daddy jarang ada waktu sama kalian, tapi ada Mommy yang selalu kasih waktu. Apa itu tidak cukup?" tanya Kendrick. "Daddy bekerja supaya kalian bisa hidup tenang. Daddy tidak main-main."
"Mommy? Bahkan Mommy saja sama seperti Daddy!"
"Maksudmu?" tanya Kendrick dengan alis yang menyatu.
"Xavier mau pulang! Sekarang!" perintah Xavier dengan nada tegas dan tatapan elang. Mengabaikan pertanyaan Kendrick. Walaupun Xavier menjawab, mereka juga tidak akan peduli sama sekali.
"Baiklah," sahut Kendrick sambil menghela nafasnya yang lalu menjalankan mobil itu. Keadaan di mobil itu menjadi hening kembali, bahkan suara pendingin saja sampai kedengaran.
'Bukk'
Suara pintu mobil itu terdengar setelah Xavier keluar. Terlihat jelas dari manik biru Kendrick kalau Xavier berlari cepat masuk ke dalam mansion mewah. Bahkan Xavier tidak mengucapkan apapun ketika ingin keluar.
"Halo?"
Suara wanita dari seberang itu membuat mata Kendrick terpejam. "Dari mana saja? Apa urusan dengan temanmu belum selesai sampai-sampai kau lupa menjemput Xavier?" tanya Kendrick dengan mencengkeram kuat ponsel miliknya.
"M—"
"Kalau kau tidak bisa menjaga mereka, katakan kepadaku! Aku akan mempekerjakan orang khusus untuk Xavier," potong Kendrick.
"Maaf. A—aku lupa. Sungguh."
Suara itu membuat Kendrick menghela nafasnya kesal. Bisa-bisanya dia lupa dengan anaknya sendiri.
Ingin rasanya dia mengeluarkan amarahnya, tetapi sayang sangat sulit sekali. Padahal mereka sudah pisah dari 3 bulan lalu tapi itu tidak membuat ia lebih leluasa untuk mengeluarkan marahnya ke Katrin, mantan istrinya.
"Mulai besok akan ada orang yang selalu stand by di sekolah Xavier. Kau sekarang bisa lebih fokus dengan teman-temanmu itu," jelas Kendrick yang lalu memutuskan telepon.
"Kita mau kemana, Tuan?" Denio mengeluarkan pertanyaannya sesudah Kendrick masuk ke dalam mobil mewah keluaran terbaru tersebut. Dia menatap Kendrick yang sedang memainkan tablet di kursi penumpang melalui kaca spion tengah.Kendrick yang dipanggil mendongakkan wajah. Wajah Kendrick terlihat benar-benar lelah. "Ke mansion ... yang baru," jelas Kendrick yang lalu memejamkan matanya.Ada banyak mansion yang Kendrick miliki, jadi dia memberikan petunjuk lebih spesifik agar Denio mengerti."Baik, Tuan," sahut Denio yang paham yang lalu memberikan petunjuk ke sopir pribadi Kendrick.Kendrick lelah. Satu harian ini dia terus berada di kantor untuk melakukan meeting dengan berbagai kolega bisnis.&nb
Mohon beri komentarnya ya teman teman.Setelah mencoba meyakinkan dirinya, Adeline kemudian berbalik badan. Mata cokelat terangnya langsung bertabrakan pada seorang wanita cantik.Wanita itu menggunakan sebuah dress dibalut oleh jaket tebal dengan aksen bulu di sekitar lehernya. Rambutnya diikat satu, menunjukkan lehernya yang jenjang."Akhirnya aku bertemu denganmu!" pekiknya sambil menunjukkan senyum lebar, mata wanita itu sampai tak terlihat lagi.Bahkan untuk membalas wanita itu dengan sebuah senyuman sangat sulit untuk dilakukan Adeline. Pikirannya masih menebak siapa wanita yang ada di hadapannya ... sepertinya dia pernah bertemu dengan wanita itu."
Pagi-pagi sekali Adeline sudah berada di balkon dengan segelas air hangat yang berada di tangannya. Saat dia ingin menatap ke bawah, ternyata matanya menemukan sesuatu. Di bawah sana, ada mobil mewah milik Kendrick. Tidak menunggu waktu lama, Kendrick segera keluar dari mobil tersebut.Sambil mengangguk mantap, akhirnya Adeline masuk ke dalam kamarnya. Bersiap sebentar lalu turun ke bawah untuk menyambut kedatangan Kendrick.Adeline boneka Kendrick. Dia harus menuruti semua yang Kendrick katakan. Dia tidak boleh membuat Kendrick marah.Langkah kaki Adeline melambat ketika melihat pria berbadan besar dengan jas yang membalut tubuh, masuk ke dalam mansion. Manik biru itu menyapu semua kondisi mansion, lalu akhirnya jatuh ke manik cokelat Adeline.
Adeline melangkahkan kakinya menuju area taman belakang.Tidak ada yang dia bisa dia lakukan di dalam mansion. Maka dari itu Adeline memutuskan untuk mengunjungi taman belakang sembari menjernihkan matanya karena sudah bosan melihat sosok Kendrick yang ada di dalam mansion.Kaki yang dibalut oleh Hermes oran sandal itu berhenti kala matanya mendapatkan seorang pria besar yang menggunakan setelan jas sedang menatapnya dengan tatapan datar tapi terlihat mengerikan.Adeline kenal orang itu. Dia Denio, sekretaris pribadi Kendrick.Adeline menggerakkan kepalanya, berusaha merilekskan ototnya yang tegang. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Adeline mencoba mencairkan suasana.Denio mene
"Hari ini kau berangkat ke kantor, 'kan?" Adeline yang duduk di kursi menghadap kaca bertanya sembari mengeringkan rambutnya dengan bantuan hair dryer. Sebenarnya dia malas keramas pagi-pagi, tapi mengingat rambutnya yang sudah bercampur dengan keringat hasil kegiatan mereka semalam, membuat Adeline terpaksa melakukannya.Kendrick menarik pandangannya yang sedari tadi memandang luar melalui kaca jendela besar. Dirinya sempat tertegun ketika melihat punggung seksi Adeline dari belakang. Padahal Adeline menggunakan sweater tapi tetap membuat Kendrick bisa membayangkan betapa mulusnya punggung Adeline."Ya," jawab Kendrick. Ia mengangkat cangkir berisi kopi, membawanya masuk, membasahi kerongkongannya.Adeline bernafas lega, setidaknya dia tidak akan sport jantung selama beberapa
"Kendrick!""Kau berani meninggikan suaramu, heh?" tanya Kendrick dari seberang.Adeline meringis, merutuki dirinya. Bukan tanpa sebab, dia sudah kepalang kesal dan berakhir meninggikan suaranya. Setelah cukup mengontrol emosinya, barulah Adeline membuka suara."M-maaf," beo Adeline yang sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya, berjaga-jaga jika teriakan Kendrick terdengar nantinya."Kalau tidak penting aku matikan—""T-tunggu," potong Adeline cepat.Bagaimana bisa Adeline menelepon pria kejam jika tidak ada kepentingan? Ada-ada saja!Dia menelan salivanya, membasahi kerongkongannya yang kering. "Kau menyuruh bodyguard untuk mengawa
Adeline mengernyitkan alisnya ketika banyak suara masuk ke indra pendengarannya. Ia menoleh ke depan, mengamati beberapa pelayan yang ada di sana. Karena merasa penasaran, Adeline bergegas menuju ke arah depan."Ada apa ini?" tanya Adeline. Deg. Tatapannya langsung jatuh kepada seorang wanita yang rambutnya terurai.Wanita itu menarik bibirnya, membentuk senyuman sinis yang dilemparkan kepada banyak pasang mata. "Tanya saja sama dia, apakah dia mengenalku atau tidak!" anjur wanita itu sembari menunjuk Adeline.Adeline menghela nafasnya. "Aku mengenalnya. Kalian boleh pergi sekarang.""Tapi, Nyonya, nanti kalau Tuan Kendrick—""Aku ak
"Ada masalah dengan pekerjaanku, jadi aku mau kau harus memuaskan diriku," bisik Kendrick sambil menggigit daun telinga Adeline dengan lembut. Adeline akhirnya bisa bernapas lega walau sedikit. Setidaknya Kendrick belum mengetahui kedatangan Carmila. "Buat emosiku kembali stabil," lanjutnya."I will," jawab Adeline pelan. Entah apa yang ada di kepala wanita bermata cokelat terang itu. Hanya dengan melihat ke mata Kendrick, Adeline seperti dihipnotis begitu saja.Kendrick membasahi bibir merahnya dengan lidah sembari membuka celana pendek Adeline dengan gerakan cepat.SrekkkkTak lupa juga dia merobek tank top hitam itu dengan kasar, membuat benda kenyal langsung menyembul keluar seperti menantang K
Tubuh pria itu kian mengeras seperti batu. Sungguh, Kendrick baru menyadari kalau saat ini mereka ada di makam Katrin.Kendrick tak berbohong kali ini. Awalnya, ia kira mereka sedang berziarah ke sebuah makam keluarga pria itu, makanya dia tak melirik batu nisan itu di awal.“Kenapa kau terdiam, Kendrick?” tanya Adeline. Menarik kerah mantel pria itu sehingga mata mereka kembali bertemu. “Ayo, jawab aku! Apa kau tidak punya jawaban? Apa kau tidak bisa berbohong untuk yang kesekian kalinya lagi? Jawab!” bentak Adeline hebat.Meskipun pria itu sedang dilanda rasa terkejut, mimik wajahnya tetap tidak menunjukkan itu. Malah terkesan sangat santai. Yang berhasil membuat emosi Adeline semakin mendidih.
Gustav mengernyitkan alisnya kala mendapati ada sebuah bayangan yang kini menutupi cahaya yang menerangi punggung bagian belakangnya hingga Adeline. Merasa penasaran, kepala pria itu berputar 180 derajat ke arah belakang, diikuti dengan sebagian tubuhnya. Dan kini, tubuh pria itu mematung kala matanya menatap netra biru yang sangat dingin.Adeline— yang posisinya tepat di seberang Gustav— juga menyadari ada sesuatu yang janggal. Perlahan namun pasti, juga dengan detak jantung yang kencang— wanita itu mendongakkan wajahnya. Mata dan bibir wanita itu terbuka lebar kala melihat seorang pria tengah menarik pandangan dari arah Gustav ke dirinya.“Kendrick.” Adeline menggumam kaget. Tanpa sadar, dia berdiri dari tempat semula. Tatapan yang Kendrick layangkan, seakan dapat membuat tubuhnya terasa sa
Dalam perjalanan, sebenarnya Gustav sudah ingin memberitahukan dimana alamat itu berada. Namun karena melihat reaksi Adeline yang sungguh semangat, itu membuatnya mengurungkan niat untuk menjelaskan apa yang terjadi.Gustav tidak ingin membuat ekspresi bahagia di wajah itu luntur begitu saja. Namun, ketika mereka sudah sampai, Adeline pasti akan berada dalam tahap itu. Sungguh, Gustav sangat dilema sekali.Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil itu berjalan melambat. Menandakan kalau sebentar lagi mereka akan sampai di tempat yang dituju.Adeline kerap kali memutar kepalanya ke kiri dan kanan. Seakan sedang mencari-cari namun sayangnya tak menemukan apa yang ia cari. Dengan penuh perasaan campur aduk, wanita itu melirik ke samping, ke arah Gustav. “Ap
Adeline meringis pelan. Dia terus berjalan dengan menatap ke arah samping. Sungguh merasa tidak enak.“Aku pasti sudah sangat mengecewakanmu.”Ucapan Adeline, membuat Gustav sontak memberhentikan langkahnya. Memutar kepalanya ke samping, menatap Adeline dengan alis yang menyatu bingung. “Mengecewakan?” tanyanya.Adeline mengangguk pelan. Ketika ia hendak menjelaskan, Gustav segera berbicara lebih dahulu.“Oh, aku paham. Soal permintaanku tadi di dalam?” Gustav bertanya dengan alis yang naik ke atas, juga telunjuk yang menunjuk ke belakang. Melihat Adeline yang mengangguk lagi, Gustav pun terkekeh ramah. “Astaga, Adeline, tidak perlu merasa seperti itu. Aku
“Maaf.”Satu kata itu membuat Adeline menoleh ke sebelah. “Tidak masalah.”Gustav mengembuskan napas. Dirinya merasa tidak enak sama sekali. “Aku sungguh bersalah. Ehm ... aku punya kenalan, dia seorang pria juga, kau mau bersamanya untuk mencari Katrin?” tanya Gustav, memberikan saran.Adeline terlihat berpikir. Sebenarnya, dia membutuhkan informasi mengenai Katrin dengan sangat cepat. Namun dengan tawaran itu, itu sama saja semakin merepotkan Gustav.“Tidak perlu. Aku maklum. Malah, aku yang merepotkanmu. Seharusnya tadi, kau meninggalkanku saja di restoran. Biar aku saja yang mencari keberadaan Katrin.”
Adeline tak mengerti kenapa dia bisa sepercaya ini pada seseorang yang baru ia kenal. Bahkan, kini dia sudah masuk ke dalam apartemen pria itu untuk menunggu sang pemilik apartemen bersiap.Wanita itu mencoba untuk menarik kesimpulan sendiri. Mungkin saja dikarenakan Adeline sudah sangat pasrah dan tidak tahu harus mencari kemana Katrin, makanya dia menerima tawaran yang diberikan oleh Gustav .... Ya, itu adalah alasan yang paling masuk akal.“Maaf. Kau jadi lama menungguku.”Suara berat dan harum parfum maskulin itu masuk ke indra pendengaran dan penciuman Adeline. Wanita itu sontak menoleh ke sumber suara.Di depan sana, sudah ada Gustav yang penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya
Seseorang itu mengucek matanya berkali-kali dikarenakan habis bangun dari tidur nyenyaknya. Dan secara bersamaan, mata mereka berdua terbuka untuk saling menatap satu sama lain.Tanpa sadar, napas Adeline tertahan. Dia memang menemukan sosok manusia, namun bukan sosok wanita yang bernama Katelyn, melainkan sosok pria tampan. Amat sangat tampan.Rambut pria itu yang sedikit panjang, juga ikal di bagian ujungnya, yang ditata ke belakang. Sungguh menampilkan kesan bad boy. Juga, manik pria itu yang berwarna abu cerah, berhasil menahan Adeline untuk mengedipkan kedua matanya. Dan bagian terakhir, yang sungguh membuat tubuh wanita itu panas adalah tubuh pria itu yang benar-benar tidak ditutup oleh sehelai benang apapun. Dibiarkan terbuka. Membuat Adeline bisa melihat secara bebas bagaimana dada padat dan bidang, juga perut kot
Sesudah menghabiskan waktu beberapa hari bersama Samu di kota kecil yang ada di negara Perancis, akhirnya wanita itu kini menginjakkan kaki di Kota Paris yang kerap disebut kota cinta. Adeline mendecak, kota cinta ... seharusnya dia pergi bersama pasangannya bukan?Abaikan.Tujuan kedatangan Adeline ke kota ini sebenarnya jauh sekali dari kata liburan. Dia mengunjungi tempat ini dikarenakan ingin mencari keberadaan wanita yang telah menghilang lebih dari dua tahun dan baru mengganggu pikiran Adeline untuk mengingatnya.Katrin. Ya, dia akan berusaha mencari wanita itu.Berbekal dari informasi yang Denio dapatkan, kini Adeline berada di depan salah satu unit apartemen yang berada tepat di seber
Dingin. Namun tidak terlalu menusuk kulit dan memberikan rasa gigil yang berlebihan. Karena suhu udara itu, seorang wanita dengan rambut tergerai kini mengembangkan sebuah senyuman amat lebar. Mempertontonkan bagaimana indahnya senyumnya dan gigi putih bersih itu.Hidungnya yang tinggi itu terlihat mengempis, menjadi pertanda kalau dia sedang membawa masuk oksigen yang menyegarkan ke dalam paru-parunya. Hal ini sungguh sangat merilekskan diri. Seakan pikiran-pikiran berat lenyap begitu saja untuk beberapa saat.Dikarenakan kencangnya angin, jaket bentuk jubah yang melekat di tubuhnya bergerak-gerak dengan sangat indah. Celana jeans hitam itu pun membentuk pahanya yang seksi. Ditambah lagi heels berbentuk boats itu. Sangat indah.“Apa kau sudah lama menunggu