Tibalah Bumi di sebuah kafe saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Gadis itu berjalan masuk sembari celingukan. Dia merasa berdebar karena tidak sabar untuk bertemu Salman, sang detektif yang dia sewa untuk menemukan Lina. Lina adalah mantan asisten rumah tangganya dulu. Bumi yakin kematian
"Maafkan saya, Non. Dulu saya tidak tau kalau kejadiannya akan jadi begini. Waktu itu saya yang ada di dapur tidak sengaja melihat Nyonya Wida memasukkan sesuatu ke salad buah milik Nyonya. Waktu itu saya tidak berpikir yang macam-macam karena Nyonya Wida selalu baik. Dia ramah pada Nyonya dan juga
Bumi melangkahkan kakinya hampir setengah berlari. Matanya yang tajam awas melihat setiap sudut lorong rumah sakit. Bibirnya pucat, kepanikan juga kentara di wajahnya. Dia terus berlari hingga akhirnya tiba di parkiran. "Mbak, di mana kamu?" gumam Bumi. Dia kembali berlari. Tak habis-habisnya mengu
"Lenyapkan dia!" perintah Wida yang segera diangguki oleh pria itu. Pria tampan tapi berjiwa psikopat. Tanpa banyak kata pria itu mendekati Lina yang meronta di atas kursi. "Bunuh dia!" perintah Wida lagi sebelum akhirnya bunyian pintu yang terbanting membuat ketiganya kaget. Terlihat beberapa oran
Sementara itu Rey yang sedang berada di kediamannya mulai gelisah. Dia baru saja mendapat informasi kalau Bumi sukses menangkap basah Wida. Dia ingin bertemu Bumi, tapi bingung bagaimana caranya. Tiba-tiba otaknya yang cerdas terbesit sebuah ide saat melihat sang mimi lewat di depan mata. Dia yang
"Aku tidak ke mana-mana, Mi," balasnya datar. "Lalu, kenapa pakaianmu keren begitu?" Kini Bumi yang menimpali. Mendengar itu Rey jadi mencebik. Dia topang dagunya dan menatap sinis ke arah Bumi. "Bukankah aku sejak lahir memang keren? Tapi stop! Cukup kagumi aku saja. Kita tidak dilahirkan di gene
Karena belum berhasil membuka misteri di balik penusukan yang dialaminya dulu, Rey pun terpaksa melanjutkan sandiwaranya. Dia harus bersedia kembali berkutat dengan buku, kerja kelompok, presentasi, PR, ulangan dan lainnya. Termasuk hari ini, dia dipaksa berpartisipasi dalam bazar yang dibuka untuk
Rey terdiam. Dia bahkan mengabaikan Nuna yang bertanya. Matanya hanya fokus pada orang yang dia lihat dan sebaya dengannya. "Farel," ucap Rey akhirnya. Dia bahkan semakin mengamati pria yang sebenarnya adalah sahabatnya waktu sekolah dulu. "Jadi namanya Farel?" ulang Nuna. Rey mengangguk, lantas
Mata Rio langsung terbelalak hebat. "Jadi ... jadi kamu yang digilainya, dan istrimu adalah orang yang dibuatnya keguguran?" terka Rio. Dia masih belum bisa menetralisir keterkejutan. "Ya begitulah kira-kira. Dan kamu masih saja menyukainya?" Rio terkekeh hambar. "Nasib benar-benar buruk. Aku tahu
Bumi cuma bisa nyengir saja. "Jangan tertawa, Bum! Ini tidak lucu!" dengkus Sakha. - - Enam bulan kemudian. Ballrorm sebuah hotel dihias sedemikian rupa megahnya. Lampu, bunga, serta balon menjadi ornamen pendukung pesta pernikahan dua bersaudara itu. Dua bersaudara? Ya, mereka adalah Aryan d
Rey yang keheranan merebut lembar itu, dan responnya juga sama—membulatkan mata seakan-akan tidak percaya. "Bum, kamu serius?" tanya Rey. Melihat Sakha yang ada di sebelahnya mematung tak bergerak memantik rasa penasarannya menjadi semakin besar. Di dekatinya Bumi, lantas duduk di sisi ranjang. "B
"Mi ...." "Padahal Mimi sudah semedi di spa demi nama ini. Gangga Semesta Jadiyaksa." Bumi dan Rey saling tatap. Mereka tak menyangka nama yang disiapkan begitu indah dan jauh dari nama aktor Hollywood. "Itu artinya apa, Mi?" tanya Bumi. Penasaran dia dan sejujurnya agar tertarik. Nama itu terden
Mata Rey pun kembali terarah ke box bayi yang ada disebelahnya. "Aku bingung. Terlalu banyak nama bagus yang aku pikirkan. Dan satu pun tidak ada yang membuatku yakin. Tolong beri waktu aku untuk memikirkannya," balas Rey. Bumi pun mengiakan dengan anggukan kepala. Sekarang mata Rey kembali ke Bumi
Kebahagiaan yang didapatkan sekarang tidak bisa Bumi jabarkan. Rasanya sangat luar biasa. Setelah melalui masa kontraksi hampir sepuluh jam akhirnya sang bayi lahir dengan selamat dan sehat dengan berat 3,5 kilogram dengan proses persalinan normal. Kebahagiaannya semakin berlipat ketika mengetahui a
"Dan yang membuat aku penasaran, kenapa kamu selalu diam? Kamu seolah tidak mengenalku. Jika kamu mengatakannya mungkin kita sudah lama berteman." "Maaf, aku tidak berpikir sampai di situ. Aku hanya menolong, itu saja," balas Aryan lagi. Senyum Milea semakin mengembang. Lamat dia menatap Aryan yan
Tiga puluh menit. Satu jam. Hingga dua jam berlalu sia-sia. Semua jenis olahraga dia coba. Dari squad jump, push-up, angkat barbel sudah dicoba, hanya saja hasilnya nihil. Aryan kalah dan lelah. Lelaki bingung harus bagaimana. Tubuhnya sudah lemah tapi hasrat untuk mencumbu Milea justru semakin k
"Kamu masih muda? Apa kamu single? Kalau iya, apa kamu mau menjadikan aku istri?" "Maaf, Nona. Saya memang masih single, tapi ...." "Tidak perlu dilanjutkan. Aku hanya butuh itu sebagai awal. Jadi Tuan Jas yang tampan, persiapkan diri untuk menerimaku sebagai istri." Aryan yang baru saja selesai