Rey terdiam. Dia bahkan mengabaikan Nuna yang bertanya. Matanya hanya fokus pada orang yang dia lihat dan sebaya dengannya. "Farel," ucap Rey akhirnya. Dia bahkan semakin mengamati pria yang sebenarnya adalah sahabatnya waktu sekolah dulu. "Jadi namanya Farel?" ulang Nuna. Rey mengangguk, lantas
Karena penasaran, sepanjang bazar Farel memutuskan terus mengawasi Rey. Dia benar-benar tidak percaya, apa mungkin amnesia seperti itu ada? Dan juga bisa selamat dari penusukan itu sungguh mustahil. Dia bahkan menyaksikan sendiri saat Rey bersimbah darah. Sementara Rey, dalam kesibukan melayani pem
Saat perjalanan pulang, Rey tidak mengoceh seperti biasa, tak juga bermain gadget seperti biasanya. Pria dewasa berbalut seragam olahraga itu hanya memalingkan muka keluar jendela menatap jalanan yang sama sekali tidak menarik minatnya. Beberapa kali dia menghela napas berat, tentu saja suara itu me
Sementara itu, di waktu yang sama tapi berbeda tempat dengan Rey dan Bumi, Yota dan Aryan sedang duduk bersebelahan. Di depan mereka ada sebuah kaca besar dan hanya ada beberapa lubang kecil di bawahnya. Keduanya saling berpegangan tangan menunggu sang ibu keluar dari bilik jeruji besi. "Apa kamu y
"Aryan, kenapa kita ke sini?" tanya Yota. Dia meronta tapi cekalan tangan saudara kembarnya itu membuatnya tak kuasa melawan. Dia terpaksa mengikuti langkah kaki sang abang. Sekarang keduanya sudah berada di dekat meja prasmanan sebuah rumah makan Padang. Para karyawan bahkan saling berbisik meliha
"Aryan! Tenanglah. Jangan begini ...." Entah sudah keberapa kali Yota menenangkan Aryan. Akan tetapi tetap saja mendapatkan penolakan. Sang abang benar-benar telah diselimuti kemarahan sekarang. Aryan bahkan tanpa ragu menepis terus tangannya saat mencoba menghentikan. Mendadak dia menyesal mengata
"Apa katamu? Apa sekarang kau sedang mengancamku?" tanya Farel. Mukanya merah padam dengan rahang mengetat kuat. Tangannya juga menggenggam erat ponsel yang ada di tangan. "Halo! Ha-halo!" Farel berteriak, dia bahkan beberapa kali melihat layar, lalu menempelkan kembali benda pipih itu ke telinga.
"Maaf telat," kata seseorang berpenampilan urakan, sosok laki-laki tua berusia empat puluh lima tahun yang kesuluruhan tubuhnya hampir dipenuhi tato. Dia menatap ke arah Farel yang duduk bersedekap. Dia bahkan mengabaikan Farel yang menatap dengan tatapan membunuh. "Boleh aku duduk sekarang?" tanya
Mata Rio langsung terbelalak hebat. "Jadi ... jadi kamu yang digilainya, dan istrimu adalah orang yang dibuatnya keguguran?" terka Rio. Dia masih belum bisa menetralisir keterkejutan. "Ya begitulah kira-kira. Dan kamu masih saja menyukainya?" Rio terkekeh hambar. "Nasib benar-benar buruk. Aku tahu
Bumi cuma bisa nyengir saja. "Jangan tertawa, Bum! Ini tidak lucu!" dengkus Sakha. - - Enam bulan kemudian. Ballrorm sebuah hotel dihias sedemikian rupa megahnya. Lampu, bunga, serta balon menjadi ornamen pendukung pesta pernikahan dua bersaudara itu. Dua bersaudara? Ya, mereka adalah Aryan d
Rey yang keheranan merebut lembar itu, dan responnya juga sama—membulatkan mata seakan-akan tidak percaya. "Bum, kamu serius?" tanya Rey. Melihat Sakha yang ada di sebelahnya mematung tak bergerak memantik rasa penasarannya menjadi semakin besar. Di dekatinya Bumi, lantas duduk di sisi ranjang. "B
"Mi ...." "Padahal Mimi sudah semedi di spa demi nama ini. Gangga Semesta Jadiyaksa." Bumi dan Rey saling tatap. Mereka tak menyangka nama yang disiapkan begitu indah dan jauh dari nama aktor Hollywood. "Itu artinya apa, Mi?" tanya Bumi. Penasaran dia dan sejujurnya agar tertarik. Nama itu terden
Mata Rey pun kembali terarah ke box bayi yang ada disebelahnya. "Aku bingung. Terlalu banyak nama bagus yang aku pikirkan. Dan satu pun tidak ada yang membuatku yakin. Tolong beri waktu aku untuk memikirkannya," balas Rey. Bumi pun mengiakan dengan anggukan kepala. Sekarang mata Rey kembali ke Bumi
Kebahagiaan yang didapatkan sekarang tidak bisa Bumi jabarkan. Rasanya sangat luar biasa. Setelah melalui masa kontraksi hampir sepuluh jam akhirnya sang bayi lahir dengan selamat dan sehat dengan berat 3,5 kilogram dengan proses persalinan normal. Kebahagiaannya semakin berlipat ketika mengetahui a
"Dan yang membuat aku penasaran, kenapa kamu selalu diam? Kamu seolah tidak mengenalku. Jika kamu mengatakannya mungkin kita sudah lama berteman." "Maaf, aku tidak berpikir sampai di situ. Aku hanya menolong, itu saja," balas Aryan lagi. Senyum Milea semakin mengembang. Lamat dia menatap Aryan yan
Tiga puluh menit. Satu jam. Hingga dua jam berlalu sia-sia. Semua jenis olahraga dia coba. Dari squad jump, push-up, angkat barbel sudah dicoba, hanya saja hasilnya nihil. Aryan kalah dan lelah. Lelaki bingung harus bagaimana. Tubuhnya sudah lemah tapi hasrat untuk mencumbu Milea justru semakin k
"Kamu masih muda? Apa kamu single? Kalau iya, apa kamu mau menjadikan aku istri?" "Maaf, Nona. Saya memang masih single, tapi ...." "Tidak perlu dilanjutkan. Aku hanya butuh itu sebagai awal. Jadi Tuan Jas yang tampan, persiapkan diri untuk menerimaku sebagai istri." Aryan yang baru saja selesai