Pertemuan yang dilakukan di sebuah kafe yang masih terlihat sepi itu, ternyata bukan hanya dihadiri oleh Lex dan Pras saja. Ada seorang wanita yang juga ikut serta bersama mereka. Wanita itu adalah sekretaris firma, yang sudah lima tahun belakangan ini mengabdi di sana. Arista, wanita berusia 29 tahun dan masih berstatus single itu, akhirnya dipilih oleh Lex untuk untuk mengambil alih beberapa saham yang ada di Surya Exporindo.
Sebelumnya, Lex juga sudah berkonsultasi dengan Pras. Dengan bertukar pikiran dan banyak pertimbangan, akhirnya Pras menyetujuinya. Mengikutsertakan Arista dalam rencana mereka, juga tidak ada buruknya. Karena selama mengenal Arista, Pras tahu kalau wanita itu tidak pernah neko-neko dan cenderung penurut. Toh nantinya, Arista juga akan mendapat bayaran yang setimpal atas kerja samanya. Karena, semua yang dilakukan saat ini, hanya boleh diketahui oleh mereka bertiga.
“Jadi, ini surat perjanjiannya.” Lex menyodorkan sebuah map yang berisi berkas
Kalau sempat, besok MAL update ya, tapi kalau gak sempat berarti besok lusa. 🙏🙏💙💙🥰🥰
Manik legam itu, sudah memperhatikan Pras sejak pria itu masuk ke dalam resto dan duduk bersama teman prianya. Tidak berselang lama kemudian, ada seorang wanita lagi yang ikut bergabung di meja yang sama. Ketiga orang tersebut, tampak membicarakan hal yang sangat serius. Hal itu jelas terlihat, karena sepanjang pertemuan yang ada, tidak tampak tawa sekali pun yang tersemat diantara mereka bertiga. Hingga pada akhirnya, Pras lebih dulu berdiri dan melangkahkan kakinya keluar resto. Meninggalkan kedua orang temannya, yang masih berbincang di meja. Pria itu juga terlihat langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya dengan tergesa. Seolah sudah memiliki janji lain setelah dari sini. “Bisa … antar aku pulang?” Pras berdecak tidak suka. Melihat seseorang menerobos masuk ke dalam mobilnya begitu saja. “Keluar sendiri, atau aku yang seret kamu keluar, Day.” Daya menghela dengan gelengan dan masih keras kepala. Tidak mengindahkan ucapan Pras, w
Dapur, adalah tujuan Pras selanjutnya, jika tidak menemukan sang istri berada di kamar. Namun, tebakannya kali ini salah, Pras tidak menemui Sinar di sana. Mengeluarkan ponsel dari saku celana, Pras mencoba menelepon Sinar untuk mencari tahu keberadaannya. Namun, tidak juga ada yang mengangkat. Selanjutnya, Pras memanggil seorang pelayan untuk bertanya keberadaan istrinya yang tidak biasa seperti ini. “Mbak Sinar di teras belakang, Mas,” ujar Lusi, pelayan yang memang ditugaskan khusus untuk mengurus keperluan Sinar. “Lagi jahit baju,” “Jahit baju, di teras belakang? bukannya mesin jahitnya ditaruh di gudang?” Dahi Pras mengerut, menunggu jawaban Lusi sejenak sebelum melangkahkan kaki ke teras belakang. “Waktu Mas Pras pergi tadi, Mbak Sinar minta mesin jahitnya dikeluarin sama dipasangin dinamonya dan segala macamnya, terus minta ditaroh di teras belakang.” jelas Lusi lagi. Pras mengangguk paham. “Makasih, tolong siapkan makan siang.” Kemudia
Kelopak mata Sinar terbuka dengan malas. Merasa terganggu dengan suara getaran ponsel, yang tidak henti berbunyi di atas nakas. Ingin menjangkau tapi tidak sampai. Ponsel Pras berada pada nakas yang bersebrangan dengan dirinya.“Mas.” Sinar menepuk pelan bahu yang tengah memeluknya hingga berulang kali. “Mas hapemu rewel, ganggu!”“Hmm, biarin, bentar juga mati sendiri,” jawab Pras masih dengan mata yang tertutup erat. Merasa enggan mengangkat telepon di hari libur seperti ini.Benar saja, tidak lama kemudian, ponsel Pras berhenti bergetar. Namun, tidak berselang lama, getaran itu kembali lagi mengganggu tidur siang keduanya. Sebenarnya, hanya Sinar seoranglah yang merasa terganggu. Sedangkan Pras, pria itu tetap asyik terlelap tanpa memedulikan suara yang ada.“Udah kubilang, kan, kalau mau tidur itu di silent,” decak Sinar berusaha bangkit, tapi tubuhnya ditahan dalam pelukan Pras.“Sudah, gak
Sinar menumpu wajahnya dengan tangan kiri. Menatap Pras memakan mi ayamnya dengan begitu lahap. “Kenapa tiba-tiba mau mi ayam di sini? padahal dulu kan ke sini makannya bakso, gak pernah ngerasain mi ayamnya sama sekali?”“Karena aku tiba-tiba pengen mi ayam,” jawab Pras setelah menelan makanannya.“Itu namanya ngidam,” ucap Sinar dengan mulut yang masih penuh.Pras menggeleng, masih tetap pada pendiriannya kalau ia tidak ngidam. Hal ini seperti dirinya menginginkan sesuatu dan harus mendapatkannya. Sesimple itu, pikir Pras.“Sudah berapa kali aku bilang, aku itu gak ngidam,” elak Pras.“Kalau gak ngidam, di perempatan dekat rumah kan ada juga yang jual mi ayam, kenapa gak makan di situ aja?”“Karena aku pengen makan di sini Sinar sayaaang,” Pras sudah telampau gemas, karena sang istri sedari tadi memojokkannya dengan kata ngidam. “As simple as that, bukan ngidam,
Sinar mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan dengan teratur. Duduk bersandar pada headboard, sembari menunggu Pras yang masih berada di kamar mandi. Sibuk mengusap perut, yang sedari tadi selalu saja mendapat tendangan, dari sang bayi yang berada di dalam sana. Sinar pernah hamil sebelumnya, dan ia benar-benar merasakan banyak perbedaan dengan kehamilan pertamanya dahulu kala. Karena perbedaan itulah, Sinar sangat yakin kalau jenis kelamin bayinya saat ini adalah perempuan. Hingga ia pun sudah menyiapkan nama panggilan untuk bayinya kelak. “Kenapa?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi, segera menghampiri Sinar yang terlihat meringis sembari mengusap perutnya. “Dia main akrobat lagi di dalam?” “Hu’uh,” kata Sinar dengan anggukan dan bibir yang maju beberapa senti. Meletakkan kedua telapak dinginnya pada perut sang istri, lalu menempelkan telinganya di sana. Pras terkekeh sendiri ketika merasakan tendangan kecil itu, begitu keras
"Mukanya biasa aja bisa gak, sih! Gak usah kecentilan gitu!" Sinar berdecak sembari memberi cubitan kecil berkali-kali pada lengan Pras. Sejak sang dokter kandungan mengatakan jenis kelamin bayi mereka, pria itu spontan menyematkan senyum tipisnya yang tiada henti. Hal tersebut membuat Sinar semakin kesal. Bagaimana tidak, kalau para perawat serta beberapa pengunjung rumah sakit yang berjenis kelamin perempuan, mendadak menambatkan maniknya ke arah Pras. "Kecentilan?" tanya Pras dengan datar. "Iya! Gak usah pake senyum-senyum gitu! Kamu itu lama-lama jadi meresahkan." "Meresahkan?" Pras masih belum mengerti di mana letak kesalahannya, hingga sang istri menekuk wajah sepanjang perjalanan melewati koridor rumah sakit. Bukankah sikap Pras saat ini tengah menunjukkan kalau dirinya sedang bahagia? Tapi mengapa Sinar sedari tadi sibuk menggerutu tiada henti. "Iya! Jangan pura-pura gak tahu, kalau dari tadi itu, dilihatin mulu sama mbak-mbak perawat.
“Jadi, mas Bin keluar dua minggu lagi?” Sinar menggigit bibir bagian dalamnya menatap Pras, yang tidak pernah bosan memegangi perut san istri yang membola. Pria yang tengah sibuk mencari-cari di mana sang bayi akan melancarkan tendangannya itu, kemudian menatap datar pada Sinar. “Kamu gak perlu bertanya hal retoris seperti itu, Nar.” “Aku cuma tanya,” decak Sinar menarik satu sudut bibirnya dengan jengkel. “Dan kamu sudah tahu jawabannya, jadi buat apa lagi dipertanyakan?” terdengar jelas, kalau intonasi yang dilontarkan Pras sangat mengandung sinisme yang luar biasa. Pria itu tidak suka jika Sinar membahas mengenai mantan suaminya itu sama sekali. “Aku sudah kabulin permintaan kamu, kan?” lanjut Pras. “Jadi, hormati juga permintaanku, untuk gak berhubungan dengan Bintang sama sekali. Jangan tanyakan dia, apalagi bertemu.” “Iya, tahu." Memangnya, apalagi yang bisa dijawab oleh Sinar kalau bukan ‘iya’. Meskipun di dalam hati, masih ada
Bira sampai lupa, kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya di Jakarta. Sepertinya sudah sangat lama sekali. Hanya Aida dan Raja yang menyempatkan datang, untuk menjenguknya sesekali jika ada kesempatan di hari libur. Sedangkan Pras, semenjak menikah dengan Sinar, pria itu sudah tidak pernah lagi menginjakkan kaki di Negeri Singa. Bahkan saat Bira memerlukan pria itu sekalipun, Pras hanya akan meneleponnya. Meskipun ketika darurat, Pras hanya akan ikut dalam rapat kecil secara daring. Namun, di satu sisi, Bira bisa berlega hati. Karena menurut Aida, kehidupan pernikahan Sinar dan kakaknya itu berjalan bahagia. Mekipun, Bira masih tidak bisa mempercayai hal itu sepenuhnya. Sampai akhirnya, Bira melihat dengan mata kelapanya sendiri. Sepasang suami istri itu saling memagut mesra di dapur, tanpa rasa sungkan sama sekali. “Di kamar woi! Kayak gak ada tempat aja! Jangan di sinilah kalau mau pamer.” Bira melewati pasangan suami istri tersebut menuju lemar
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama