Sinar mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan dengan teratur. Duduk bersandar pada headboard, sembari menunggu Pras yang masih berada di kamar mandi. Sibuk mengusap perut, yang sedari tadi selalu saja mendapat tendangan, dari sang bayi yang berada di dalam sana.
Sinar pernah hamil sebelumnya, dan ia benar-benar merasakan banyak perbedaan dengan kehamilan pertamanya dahulu kala. Karena perbedaan itulah, Sinar sangat yakin kalau jenis kelamin bayinya saat ini adalah perempuan. Hingga ia pun sudah menyiapkan nama panggilan untuk bayinya kelak.
“Kenapa?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi, segera menghampiri Sinar yang terlihat meringis sembari mengusap perutnya. “Dia main akrobat lagi di dalam?”
“Hu’uh,” kata Sinar dengan anggukan dan bibir yang maju beberapa senti.
Meletakkan kedua telapak dinginnya pada perut sang istri, lalu menempelkan telinganya di sana. Pras terkekeh sendiri ketika merasakan tendangan kecil itu, begitu keras
Jaga kesehatan ya semuaaaa ... banyakin senyum biar nambah imuun ... kisseeedd ...🥰🥰💙💙
"Mukanya biasa aja bisa gak, sih! Gak usah kecentilan gitu!" Sinar berdecak sembari memberi cubitan kecil berkali-kali pada lengan Pras. Sejak sang dokter kandungan mengatakan jenis kelamin bayi mereka, pria itu spontan menyematkan senyum tipisnya yang tiada henti. Hal tersebut membuat Sinar semakin kesal. Bagaimana tidak, kalau para perawat serta beberapa pengunjung rumah sakit yang berjenis kelamin perempuan, mendadak menambatkan maniknya ke arah Pras. "Kecentilan?" tanya Pras dengan datar. "Iya! Gak usah pake senyum-senyum gitu! Kamu itu lama-lama jadi meresahkan." "Meresahkan?" Pras masih belum mengerti di mana letak kesalahannya, hingga sang istri menekuk wajah sepanjang perjalanan melewati koridor rumah sakit. Bukankah sikap Pras saat ini tengah menunjukkan kalau dirinya sedang bahagia? Tapi mengapa Sinar sedari tadi sibuk menggerutu tiada henti. "Iya! Jangan pura-pura gak tahu, kalau dari tadi itu, dilihatin mulu sama mbak-mbak perawat.
“Jadi, mas Bin keluar dua minggu lagi?” Sinar menggigit bibir bagian dalamnya menatap Pras, yang tidak pernah bosan memegangi perut san istri yang membola. Pria yang tengah sibuk mencari-cari di mana sang bayi akan melancarkan tendangannya itu, kemudian menatap datar pada Sinar. “Kamu gak perlu bertanya hal retoris seperti itu, Nar.” “Aku cuma tanya,” decak Sinar menarik satu sudut bibirnya dengan jengkel. “Dan kamu sudah tahu jawabannya, jadi buat apa lagi dipertanyakan?” terdengar jelas, kalau intonasi yang dilontarkan Pras sangat mengandung sinisme yang luar biasa. Pria itu tidak suka jika Sinar membahas mengenai mantan suaminya itu sama sekali. “Aku sudah kabulin permintaan kamu, kan?” lanjut Pras. “Jadi, hormati juga permintaanku, untuk gak berhubungan dengan Bintang sama sekali. Jangan tanyakan dia, apalagi bertemu.” “Iya, tahu." Memangnya, apalagi yang bisa dijawab oleh Sinar kalau bukan ‘iya’. Meskipun di dalam hati, masih ada
Bira sampai lupa, kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya di Jakarta. Sepertinya sudah sangat lama sekali. Hanya Aida dan Raja yang menyempatkan datang, untuk menjenguknya sesekali jika ada kesempatan di hari libur. Sedangkan Pras, semenjak menikah dengan Sinar, pria itu sudah tidak pernah lagi menginjakkan kaki di Negeri Singa. Bahkan saat Bira memerlukan pria itu sekalipun, Pras hanya akan meneleponnya. Meskipun ketika darurat, Pras hanya akan ikut dalam rapat kecil secara daring. Namun, di satu sisi, Bira bisa berlega hati. Karena menurut Aida, kehidupan pernikahan Sinar dan kakaknya itu berjalan bahagia. Mekipun, Bira masih tidak bisa mempercayai hal itu sepenuhnya. Sampai akhirnya, Bira melihat dengan mata kelapanya sendiri. Sepasang suami istri itu saling memagut mesra di dapur, tanpa rasa sungkan sama sekali. “Di kamar woi! Kayak gak ada tempat aja! Jangan di sinilah kalau mau pamer.” Bira melewati pasangan suami istri tersebut menuju lemar
Sinar meremas sisi dress hamilnya ketika memasuki sebuah toko perlengkapan bayi. Toko yang sama, yang pernah di masukinya dengan Bintang dahulu kala. Tiga tahun berlalu, toko tersebut hanya sedikit mengalami perubahan tata letak beberapa etalasenya. Selebihnya, semua masih sama seperti dahulu kala.“Sinar,” tegur Pras yang langsung memecah lamunan Sinar seketika. Wanita itu mengerjab, dan buru-buru mengalihkan perhatianya pada sang suami.Hari ini, adalah hari yang sudah lama ditunggu oleh Pras. Setelah usia kandungan Sinar telah menginjak tujuh bulan, Pras adalah orang pertama yang langsung mengajak sang istri untuk berbelanja perlengkapan bayi. Pras bahkan sudah meminta orang untuk merenov ruangan di samping kamar tidur mereka. Ruangan yang akan dihubungkan dengan connecting door itu, nantinya akan digunakan sebagai kamar putra mereka.Sinar kembali teringat dengan beberapa hal manis ketika bersama Bintang dahulu kala. Pria itu jugalah yang begitu
Sore itu, Pras pulang lebih cepat dari biasanya. Pria itu langsung menuju ruang yang berada di sebelah kamarnya. Sebuah kamar, yang nantinya akan diperuntukkan untuk sang putra tercinta.“Kira-kira kapan selesai?” tanya Pras kepada salah satu tukang yang bekerja di sana.“Tiga hari lagi selesai, Pak. Besok sudah finishing akhir dan beres-beres.”“Oke.” Pras berbalik dan beranjak ke kamar yang dahulunya di tempati oleh Vio. Untuk sementara waktu, Pras dan Sinar pindah ke kamar tersebut. Setelah semua renovasi selesai, barulah keduanya kembali ke kamar mereka.Seperti biasa, Pras mendapati Sinar sedang berbaring di ranjang. Wanita itu benar-benar sangat malas beberapa bulan ini. Kalau tidak tidur, maka ia akan pergi ke dapur untuk makan. Satu-satunya kegiatan yang lumayan bermanfaat selama kehamilan Sinar ialah, wanita itu sibuk menjahit di teras belakang.Yang aneh adalah, Sinar enggan menjahit dari kain yang tela
Tangan besar itu dengan lembut mengusap punggung dan pinggang sang istri yang sedari tadi mengeluh sakit. Semakin ke sini, Pras merasa keluhan Sinar terhadap kehamilannya semakin menjadi. Wanita itu semakin sering terbangun untuk buang air kecil, dan setelahnya, Sinar akan kesulitan untuk kembali tidur.Belum lagi, beberapa hari ini wanita itu kerap mengalami mual dan morning sickness di pagi hari. Padahal, pada semester pertamanya, Sinar tidak mengalami semua itu sama sekali.“Masih pegel,” tanya Pras sudah mulai menguap, meski jarum jam baru menunjukkan pukul delapan malam.Sinar mengangguk dengan bibir manyunnya. “Pengen gitu, kalau hamil lagi, kamu aja yang ngerasain sakitnya, Mas,” celetuk Sinar. “Kamu yang sakit pinggang, kamu yang mual sama muntah, kamu yang bolak balik pipis, kamu yang—"“Iyaa,” sela Pras. “Nanti kalau hamil lagi, biar aku yang ngerasai semua-semuanya,” sahutnya asal, aga
“Udah enakan belum?” “Beluuum.” Sinar merengek dengan menggoyangkan kedua kakinya yang terjuntai di bawah tempat tidur. Sedangkan Pras, yang sudah berpakaian rapi dengan jasnya, menunda keberangkatan ke kantor karena sang istri yang sedari tadi mengeluh mual dan tidak enak badan. Sinar juga meminta Pras untuk memijat pundak serta mengusap punggungnya yang terasa tidak nyaman. “Dipijitin sama Lusi, ya, Nar?” bujuk Pras yang sebenarnya sudah telat jika harus berangkat ke kantor pagi ini. Sinar menggeleng dan kembali merengek. “Gak mau, ini loh anakmu, bukan anaknya Lusi.” Pras mengusap wajah yang mulai frustasi menghadapi Sinar. “Tapi, Nar—” “Kerja dari rumah,” potong Sinar. “Atau tunggu aku tidur, baru kamu boleh berangkat.” “Nar—” “Perutku gak enak, Mas,” Sinar kembali merengek. “Dikit-dikit keram, gak tahu ini anakmu maunya apaan? “Dia mau keluar,” jawab Pras dengan entengnya. “Belum waktunya tauk!” suara yang
Pras kembali mendengarkan penjelasan Daya dengan seksama, mengenai semua hal yang menimpa pada diri wanita itu. Setelah selesai, Pras pun mengangguk paham, karena sebelumnya ia sudah mendengar semua keterangan dari Lex. “Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Bintang sekarang?” “Baik,” jawab Daya tidak perlu berpikir terlebih dahulu. “Kita lagi gak ngomongin mas Bintang di sini.” “Baik dalam artian?” seperti biasa, Pras tidak akan menggubris ucapan seseorang jika maksud hatinya tidak tersampaikan lebih dulu. Untuk satu hal itu, Daya hanya bisa berdecak kesal, karena sudah paham dengan tabiat Pras. “Ya baik, memangnya harus diartikan sepertia apa?” “Kalian gak ada rencana rujuk? Kembali membina rumah tangga? Demi Kaivan?” Pras mencoba memancing Daya dan melihat respon dari wanita itu. Meskipun Sinar telah berceramah panjang mengenai Kaivan, Pras masih ingin memastikan sesuatu dengan Daya. Yakni, perasaan wanita itu terhadap Bintang, dan keluarga kec