Tangan besar itu dengan lembut mengusap punggung dan pinggang sang istri yang sedari tadi mengeluh sakit. Semakin ke sini, Pras merasa keluhan Sinar terhadap kehamilannya semakin menjadi. Wanita itu semakin sering terbangun untuk buang air kecil, dan setelahnya, Sinar akan kesulitan untuk kembali tidur.
Belum lagi, beberapa hari ini wanita itu kerap mengalami mual dan morning sickness di pagi hari. Padahal, pada semester pertamanya, Sinar tidak mengalami semua itu sama sekali.
“Masih pegel,” tanya Pras sudah mulai menguap, meski jarum jam baru menunjukkan pukul delapan malam.
Sinar mengangguk dengan bibir manyunnya. “Pengen gitu, kalau hamil lagi, kamu aja yang ngerasain sakitnya, Mas,” celetuk Sinar. “Kamu yang sakit pinggang, kamu yang mual sama muntah, kamu yang bolak balik pipis, kamu yang—"
“Iyaa,” sela Pras. “Nanti kalau hamil lagi, biar aku yang ngerasai semua-semuanya,” sahutnya asal, aga
“Udah enakan belum?” “Beluuum.” Sinar merengek dengan menggoyangkan kedua kakinya yang terjuntai di bawah tempat tidur. Sedangkan Pras, yang sudah berpakaian rapi dengan jasnya, menunda keberangkatan ke kantor karena sang istri yang sedari tadi mengeluh mual dan tidak enak badan. Sinar juga meminta Pras untuk memijat pundak serta mengusap punggungnya yang terasa tidak nyaman. “Dipijitin sama Lusi, ya, Nar?” bujuk Pras yang sebenarnya sudah telat jika harus berangkat ke kantor pagi ini. Sinar menggeleng dan kembali merengek. “Gak mau, ini loh anakmu, bukan anaknya Lusi.” Pras mengusap wajah yang mulai frustasi menghadapi Sinar. “Tapi, Nar—” “Kerja dari rumah,” potong Sinar. “Atau tunggu aku tidur, baru kamu boleh berangkat.” “Nar—” “Perutku gak enak, Mas,” Sinar kembali merengek. “Dikit-dikit keram, gak tahu ini anakmu maunya apaan? “Dia mau keluar,” jawab Pras dengan entengnya. “Belum waktunya tauk!” suara yang
Pras kembali mendengarkan penjelasan Daya dengan seksama, mengenai semua hal yang menimpa pada diri wanita itu. Setelah selesai, Pras pun mengangguk paham, karena sebelumnya ia sudah mendengar semua keterangan dari Lex. “Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Bintang sekarang?” “Baik,” jawab Daya tidak perlu berpikir terlebih dahulu. “Kita lagi gak ngomongin mas Bintang di sini.” “Baik dalam artian?” seperti biasa, Pras tidak akan menggubris ucapan seseorang jika maksud hatinya tidak tersampaikan lebih dulu. Untuk satu hal itu, Daya hanya bisa berdecak kesal, karena sudah paham dengan tabiat Pras. “Ya baik, memangnya harus diartikan sepertia apa?” “Kalian gak ada rencana rujuk? Kembali membina rumah tangga? Demi Kaivan?” Pras mencoba memancing Daya dan melihat respon dari wanita itu. Meskipun Sinar telah berceramah panjang mengenai Kaivan, Pras masih ingin memastikan sesuatu dengan Daya. Yakni, perasaan wanita itu terhadap Bintang, dan keluarga kec
Hujan pagi, membuat Pras masih betah berlama-lama berada dalam satu selimut bersama sang istri. Berbagi kehangatan, setelah melakukan kegiatan panas beberapa saat yang lalu. Sinar menggeliat dengan gumaman malas. Merubah posisi tidurnya bertelentang sejenak, untuk menatap Pras yang masih menutup mata. “Mas, udah jam segini, kamu gak mandi? Gak ngantor?” Pras yang masih malas itu, tidak membuka mata maupun menjawab Sinar. Pria itu hanya menggumam dan semakin mengeratkan pelukannya. Merasa tidak diacuhkan, Sinar menepuk tangan Pras yang melingkar di tubuhnya. “Misi, aku mau mandi, gerah!” “Mandi bareng, Nar,” ucap Pras langsung membuka kedua matanya. Melepas pelukannya kemudian bertelentang dengan helaan kecil. Memandang langit-langit kamar dan merasa enggan untuk pergi ke kantor hari ini. “Gak mau, aku mau mandi sendiri biar cepet.” Sinar bangkit dengan perlahan. Pras reflek ikut bangkit, untuk membantu sang istri menegakkan tub
Pras menatap datar pada baju couple yang sudah diletakkan Sinar di atas tempat tidur. Sepasang kaos berwarna biru langit yang masing-masing terdapat tulisan King dan Queen. Pras tidak bisa membayangkan, jika harus mengenakan pakaian layaknya remaja tersebut. Mengingat umurnya yang sudah tidak bisa lagi dikatakan muda.Sinar kemudian masuk ke dalam kamar, sembari membawa satu piring apel dan buah lain, yang sudah dipotong-potong sebelumnya.“Minggu ini foto ya?” Sinar memberi ringisan pada Pras sembari berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Baju couple pesanannya baru saja diantar oleh kurir, oleh karena itu, masih ia letakkan di atas tempat tidur agar Pras mencobanya terlebih dahulu.“Aku panggilin fotografer, biar hasilnya bisa sekalian dipajang di kamar.”“Gak mau.” Sinar menggeleng dengan menggigit garpu yang berada di tangannya. Kemudian, terlintas sesuatu di kepalanya. “Eh, iya deh, panggil fotografer tapi m
Pras menahan tawanya sedari tadi. Merasa sangat lega karena mereka tidak jadi mengenakan baju couple yang sudah dibeli oleh Sinar. Sebenarnya, bukan salah ukuran ketika membelinya, hanya saja, Sinar tidak memperhitungkan keadaan perutnya yang sudah sangat buncit itu. Jadi, kaos yang dibelinya hanya muat sebatas dada dan tidak bisa menutupi perutnya secara keseluruhan.Untuk menggantikan baju tersebut, Sinar mencari baju dengan warna senada agar tetap terlihat serasi sebagai pasangan. Meskipun, wajahnya masih saja tertekuk masam sepanjang perjalanan menuju mall.“Sudah, gak papa. Gini juga, kan, sama couplean,” rayu Pras agar sang istri tidak memasang wajah cemberutnya sedari tadi. “Warnanya sama putih-putih gini.”“Gak sama,” rungut Sinar tidak melepaskan tangan Pras sejak mereka keluar dari mobil di parkiran basement. Jemari keduanya tertaut erat, di sepanjang jalan menuju salon khusus ibu hamil yang berada di lantai satu.
Rahang Pras masih saja mengetat dengan wajah datarnya. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak keduanya melangkah meninggalkan Bintang.“Mas …” sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sinar berusaha mencairkan suasana. Namun, pria itu tidak tergerak sedikit pun untuk membuka bibirnya. Sinar bahkan tidak berani untuk menyinggung rencana photobox yang sudah dicanangkan sebelumnya.“Sampai kapan kamu diemin aku kayak gini?” ucap Sinar, masih ingin terus berusaha berbicara dengan Pras. “Aku, kan, ketemunya gak sengaja. Jadi bukan salah aku, dong.”Pras masih saja bungkam dengan semua pikiran yang tidak bisa Sinar terka.Sebenarnya, Sinar ingin melakukan protes yang lebih lagi untuk lebih memaksa Pras. Namun, Sinar memiliki trauma tersendiri jika sudah berada satu mobil dengan pria itu. Sinar sudah dua kali merasakan diturunkan di pinggir jalan, ketika mereka tengah bertengkar dahulu kala. Untuk itu, Sinar lebih ba
Wajah Pras kontan berubah panik seketika, saat melihat sang istri yang duduk dan mengaduh kesakitan. Langsung berlutut di hadapan Sinar dan reflek meraba perut yang membuncit itu dengan khawatir. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, melihat Sinar yang meringis menahan nyeri.“Yang mana yang sakit, Nar?” tanya Pras dengan wajah pias penuh penyesalan. Tangan Pras dengan tanggap langsung berada di punggung serta perut sang istri. “Perutmu sakit? kita ke rumah sakit seka—”Ucapan panik Pras itu terpotong seketika, saat Sinar memukul tangan yang tidak henti mengusap perut besarnya itu. “Pergi! Gak usah deket-deket! Awas aja sampe anakku kenapa-kenapa!”Pras bungkam, batinnya sudah sangat gusar memikirkan ucapan Sinar tentang anak mereka. Mencoba menenangkan diri, tapi tidak kunjung bisa. Sungguh, Pras tidak sengaja menarik tangannya, karena ingin pergi dan enggan berdebat dengan sang istri. Tidak pernah menduga sedikit pun
Selang infus yang juga berisi antibiotik sudah tertancap di lengan Sinar. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi infeksi pada bayi di dalam kandungannya. Tindakan medis tersebut dilakukan oleh dokter pengganti, karena Dokter Novi masih melakukan operasi di rumah sakit lain.Kondisi janin sementara, masih bisa dikatakan sehat dan baik-baik saja. Pergerakannya juga masih aktif di dalam sana. Untuk hal yang satu itu, Pras dan Sinar akhirnya bisa bernapas dengan sangat lega.“Apa masih bisa lahir normal, Dok?” tanya Sinar pada sang dokter pengganti yang bernama Desi. “Kan HPLnya masih tiga mingguan lagi.”Desi yang sudah membaca rekam medis Sinar sebelumnya, memberika senyum ramahnya. “Kalau sudah 37 minggu, sebenarnya janin sudah matang dan siap dilahirkan,” terang Desi. “Karena air ketubannya masih merembes dan baru bukaan satu, jadi kita tunggu aja dulu ya. Kontraksinya juga tolong dipantau rentangnya.”“
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama