Rahang Pras masih saja mengetat dengan wajah datarnya. Tidak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak keduanya melangkah meninggalkan Bintang.
“Mas …” sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sinar berusaha mencairkan suasana. Namun, pria itu tidak tergerak sedikit pun untuk membuka bibirnya. Sinar bahkan tidak berani untuk menyinggung rencana photobox yang sudah dicanangkan sebelumnya.
“Sampai kapan kamu diemin aku kayak gini?” ucap Sinar, masih ingin terus berusaha berbicara dengan Pras. “Aku, kan, ketemunya gak sengaja. Jadi bukan salah aku, dong.”
Pras masih saja bungkam dengan semua pikiran yang tidak bisa Sinar terka.
Sebenarnya, Sinar ingin melakukan protes yang lebih lagi untuk lebih memaksa Pras. Namun, Sinar memiliki trauma tersendiri jika sudah berada satu mobil dengan pria itu. Sinar sudah dua kali merasakan diturunkan di pinggir jalan, ketika mereka tengah bertengkar dahulu kala. Untuk itu, Sinar lebih ba
Wajah Pras kontan berubah panik seketika, saat melihat sang istri yang duduk dan mengaduh kesakitan. Langsung berlutut di hadapan Sinar dan reflek meraba perut yang membuncit itu dengan khawatir. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan, melihat Sinar yang meringis menahan nyeri.“Yang mana yang sakit, Nar?” tanya Pras dengan wajah pias penuh penyesalan. Tangan Pras dengan tanggap langsung berada di punggung serta perut sang istri. “Perutmu sakit? kita ke rumah sakit seka—”Ucapan panik Pras itu terpotong seketika, saat Sinar memukul tangan yang tidak henti mengusap perut besarnya itu. “Pergi! Gak usah deket-deket! Awas aja sampe anakku kenapa-kenapa!”Pras bungkam, batinnya sudah sangat gusar memikirkan ucapan Sinar tentang anak mereka. Mencoba menenangkan diri, tapi tidak kunjung bisa. Sungguh, Pras tidak sengaja menarik tangannya, karena ingin pergi dan enggan berdebat dengan sang istri. Tidak pernah menduga sedikit pun
Selang infus yang juga berisi antibiotik sudah tertancap di lengan Sinar. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi infeksi pada bayi di dalam kandungannya. Tindakan medis tersebut dilakukan oleh dokter pengganti, karena Dokter Novi masih melakukan operasi di rumah sakit lain.Kondisi janin sementara, masih bisa dikatakan sehat dan baik-baik saja. Pergerakannya juga masih aktif di dalam sana. Untuk hal yang satu itu, Pras dan Sinar akhirnya bisa bernapas dengan sangat lega.“Apa masih bisa lahir normal, Dok?” tanya Sinar pada sang dokter pengganti yang bernama Desi. “Kan HPLnya masih tiga mingguan lagi.”Desi yang sudah membaca rekam medis Sinar sebelumnya, memberika senyum ramahnya. “Kalau sudah 37 minggu, sebenarnya janin sudah matang dan siap dilahirkan,” terang Desi. “Karena air ketubannya masih merembes dan baru bukaan satu, jadi kita tunggu aja dulu ya. Kontraksinya juga tolong dipantau rentangnya.”“
July dan Jonas sudah berada di dalam ruangan bersama Sinar yang tidak berhenti merintih jika kontraksinya tiba-tiba datang mendera.Sementara Pras, hari ini seolah merasa jadi pria yang paling tidak berguna, karena tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan rasa sakit yang di derita sang istri. Pria itu sudah berkali-kali menawarkan agar Sinar melakukan operasi caesar saja, karena tidak tega mendengar sang istri yang kerap merintih kesakitan.“Bunda, sakiiit …” kali ini giliran July yang menjadi sasaran rengekan Sinar.“Sabar, ini baru bukaan lima, nanti kalau sudah keluar pasti lega,” ujar July yang memang selalu ceplas ceplos kepada Sinar, sembari sibuk mengusap punggung juga pinggul putrinya itu dengan lembut.“Caesar ajalah, Nar,” ujar Pras kembali ingin meyakinkan dengan wajah kusutnya. Sedari tadi yang dilakukan Pras hanyalah menjambak rambutnya sendiri, karena frustasi melihat Sinar merintih di depan m
Pras ikut menahan napas, ketika melihat Sinar mengejan dengan sekuat tenaga. Satu tangannya dengan setia berada di genggaman Sinar. Pasrah, ketika mendadak kuku sang istri sudah menancap erat saat kontraksi itu datang kembali. Berkali-kali Pras mengusap titik peluh yang mengucur di seluruh wajah sang istri. Berkali-kali pula nyawanya seolah melayang ketika melihat perjuangan Sinar yang benar-benar menguras tenaga. Setelah dinyatakan pembukaannya telah sempurna. Sinar segera di bawa ke ruang bersalin dan bersiap untuk melahirkan sang bayi yang telah ditunggu-tunggu kelahirannya. “Dok …,” panggil Sinar dengan tersengal sembari menggeleng. “Gak kuat …” rengeknya masih terus mengatur napas. “Operasi, Dok!” sambar Pras dengan cepat, karena sudah benar-benar tidak tega dengan kondisi istrinya saat ini. Dokter Novi tersenyum penuh kelembutan. Dengan wajah sabarnya, wanita paruh baya itu berujar kepada Pras, “Kepalanya sudah kelihatan, loh, Pak. Tingg
Senyum yang ada di wajah Raja dan Aida tidak surut sedetik pun, ketika menjenguk cucu keduanya itu. Terutama Aida yang akhirnya bisa benar-benar bernapas lega. Anak tertuanya akhirnya menikah, dan sudah dikaruniai keturunan yang sangat tampan. Lepaslah sudah satu beban dari pundaknya. Kini, tinggal menunggu Bira, yang masih berkeliaran tidak tentu arah dalam memilih pasangan hidupnya. Namun, karena usia Bira belum menginjak kepala tiga, Aida masih bisa santai sejenak menikmati hidup. Membiarkan anak bontotnya itu bersenang-senang, dan Aida baru akan bertindak, kalau Bira sampai tidak berhubungan serius dengan wanita ketika menginjak kepala tiga. “Ini, sih, Pras junior,” ucap Raja ketika pertama kali melihat wajah cucunya itu. “Plek banget sama Pras waktu bayi, iya, gak, Mi?” tanya Raja meminta persetujuan sang istri. “Banget!” seru Aida menatap sekilas pada sang suami, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada sang cucu yang tertidur lelap di gendonganny
Setelah tiga hari berada di rumah sakit, Sinar akhirnya kembali ke rumah yang sangat ia rindukan. Itu pun, Pras sempat memaksa agar Sinar tidak perlu pulang dulu hingga benar-benar pulih. Namun, Sinar menolaknya dengan rengekan tanpa henti, hingga Pras mengalah dan menuruti sang istri untuk pulang ke rumah. Tidak hanya itu sebenarnya. Ketika sampai di rumah pun, Pras telah menyiapkan Sinar sebuah kursi roda, agar Sinar tidak terlalu banyak bergerak selama masa pemulihan. Pras benar-benar tidak tega, ketika melihat istrinya itu berjalan dengan sangat perlahan dan hati-hati ketika melangkah. “Kamu tuh, lebay, Mas,” decak Sinar yang menolak untuk memakai kursi rodanya. “Aku tuh masih bisa jalan. Lagian kata dokter, aku tuh harus gerak seperti biasa, meskipun harus hati-hati dulu sementara.” “Justru itu, sementara ini, kamu bisa pake kursi roda dulu,” saran Pras. “Kan enak, kamu tinggal gerakin tuasnya terus bisa jalan dengan cepat.” “Ih, yaa enggaklaaaah
Pagi itu, adalah pagi pertama Qaishar berada di rumah. Ada seorang suster yang akan datang untuk memandikan bayi tampan itu setiap pagi dan sore harinya. Pras pun menyaksikan Qaishar yang dimandikan oleh suster tersebut dengan seksama. Sedangkan Sinar, wanita itu tengah mengisi amunisi agar ASI yang diberikan pada putranya semakin lancar dan tidak sampai kurang. Sementara itu, Aida sibuk dengan kamera mirrorless keluaran terbaru, yang digunakan untuk mengabadikan moment tersebut, dengan sebuah video. “Qai, rewel gak semalam?” tanya Aida pada Pras, ketika sang suster sudah mengangkat Qaishar dari bak mandi. “Gak rewel, cuma bangun-bangun minta ASI sampai …” Pras menghitung sejenak, berapa kali dirinya terbangun karena putranya itu menangis karena lapar. “Lima kali,” ungkapnya dengan yakin. “Kamu ikut bantuin Sinar, atau lanjut tidur?” selidik Aida dengan memicingkan mata. “Cuma bisa bantu ngangkat sama mindahin Qai,” jawab Pras tanpa melepaskan
Sinar menerima suapan demi suapan yang diberikan Pras dengan hati kesal. Menahan sakit hati karena masih terngiang dengan bentakan suaminya tersebut. Selama itu, Sinar hanya mendiamkan Pras dan tidak memberikan seulas senyum pun pada pria itu.“Bukannya aku sudah bilang, aku gak ngebentak kamu,” Pras dengan alibinya, meyakinkan diri karena memang tidak merasa membentak Sinar sama sekali.“Terserah! Tapi aku sakit hati dengar omongan kamu tadi,” balas Sinar mengalihkan tatapannya dari wajah Pras.“Tapi, aku benar, Nar.” Pras tetap bertahan dengan argumennya. “Gimana kalau ada Ato lewat? Atau yang lain, pak Juna misalnya? Dan mereka lihat kamu lagi begini?” satu telapak tangan Pras terbuka, untuk menunjuk Qaishar yang masih saja sibuk menyesap ASInya dengan sangat lahap.“Ya, kamu bisa ngomong baik-baik, Mas,” sangkal Sinar. “Gak pake bentak-bentak.”Meskipun sedari tadi mereka b
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama