Mai berhenti sejenak di bibir pintu pengadilan. Menggeser langkahnya agar tidak menghalangi orang yang berlalu-lalang. Membaca sebuah chat yang dikirimkan oleh Qai, kemudian menghela sedikit kesal. Tanpa ingin berlama-lama, Mai langsung menelepon Qai saat itu juga.
“Aku ngikut ajalah, terserah mau pake model gimana. Tante juga sudah tahu ukuranku.” decak Mai kembali menghela panjang karena suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Setelah kasus terakhir yang ia tangani ini selesai, sepertinya Mai tidak ingin lagi menangani kasus perceraian. Sore nanti, ia akan bertemu Lex untuk membicarakan semuanya.
Sepertinya, menjadi corporate lawyer tidak akan memakan banyak emosi seperti sekarang.
“Lagian, kenapa ngomongnya mendadak gini, aku bukan pengangguran yang bisa ke sana ke mari s
Setelah hampir satu bulan berpisah, dan hanya bisa berhubungan melalui telepon pintar. Akhirnya, Sinar dan Pras kembali ke Jakarta untuk ikut andil dalam persiapan pernikahan putranya. Tentu saja, Sinarlah yang lebih banyak modar mandir ke sana kemari daripada Pras. Pria itu lebih banyak bersantai di rumah. Memantau saham dan perkembangan perusahan dengan seksama. Meskipun sudah pensiun, Pras tidak lantas melepas semuanya begitu saja. Status Pras lebih kepada pengawas dan penasehat yang bisa dimintai pendapat kapan saja oleh berbagai pihak Casteel High. “Mau ke mana, Nda?” Mai yang tengah berbaring di sofa dan menonton salah satu stasiun tv swasta yang menyiarkan berita, melirik Sinar yang duduk di sofa ratu. Wanita paruh baya itu terlihat sudah rapi dan cantik seperti biasa meskipun usianya sudah tidak lagi muda.
Mai mengikat tinggi surai legamnya menjadi satu. Tidak menyisakan satu helai pun, pada wajah cantik, yang hari ini hanya dipoles dengan lipstik berwarna peach, dan eyeliner, untuk mempertajam bingkai matanya.Saat Mai meraih tas selempangnya, maniknya terhenti pada sebuah kotak kecil pemberian Raj pada malam itu. Mai hanya meletakkan benda persegi tersebut, di atas meja rias sepulang dirinya dari Palace high. Sejak saat itu pun, Mai tidak pernah menyentuh atau membuka benda itu sama sekali. Hanya menatap sekilas, lalu menghela. Meyakinkan diri kalau penolakannya pada Raj, adalah keputusan terbaik.“Mai …”Bunyi ketukan pintu diiringi panggilan dari sang bunda, membuat Mai mengalihkan perhatiannya dengan cepat. Beranjak menuju pintu dan membukanya.
Mai kira, setelah semuanya selesai, keluarganya akan langsung pulang ke rumah. Namun, semua berubah ketika Raj berceletuk dan mengajak untuk makan siang bersama. Tentu saja, sang bunda langsung menjawab dengan setuju, tanpa bertanya pada Pras atau Mai terlebih dahulu. Sedangkan Qai, sudah tidak perlu ditanya, karena jawaban pria itu pastilah iya. Lantas, apa ini? Kenapa semua orang seolah menempatkan Mai, agar duduk di samping Raj. Lalu ada Pras yang duduk di sisi lainnya. Hendak bertukar tempat pun tidak bisa, karena SInar sudah mendelikkan maniknya begitu lebar, ketika Mai hendak menyerobot kursi sang bunda yang berada di sebelah Diana. Yang bisa Mai lakukan saat ini hanyalah, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan perlahan.
Tanpa mengganti sepatu pantofelnya dengan sandal rumah, Mai terus berjalan tergesa memasuki rumah untuk mencari Pras. Tidak melihat sang ayah berada di ruang kerjanya maupun perpustakaan seperti biasa, Mai langsung tergesa pergi ke rumah belakang. “Enda, ayah di mana?” tanya Mai berhenti sebentar ketika melihat Sinar berada di ruang keluarga bersama Sila. Kedua wanita itu terlihat sibuk melihat beberapa brosur yang kini terhambur di sofa. “Ayah di atas,” jawab Sinar melambaikan tangan untuk meminta Mai menghampirinya. “Sini deh, Mai. Ini ada paket bulan madu--” “Sorry, Nda,” potong Mai yang sungguh tergesa ingin menemui Pras, sepulang ia kerja malam ini. Lagi pula, untuk apa Mai melihat brosur paket bulan madu, memangnya siapa yang mau menikah, hingga ia harus ikut melihat tumpukan kertas tersebut. “Urgent,
Pada akhirnya, tidak ada yang dapat Mai lakukan kecuali menuruti ucapan sang ayah. Daripada harus menemani sang bunda di rumah, atau menjadi salah satu staf yang bekerja di bawah Qai maupun Nando. Mai lebih memilih menjadi in house lawyer bagi Casteel High. Setidaknya pendidikan dan passion yang sudah mendarah daging pada dirinya tidak terbuang sia-sia. Setelah kasus terakhirnya selesai, Mai langsung membereskan semua barang-barangnya yang ada di firma. Kemudian, melakukan perpisahan sederhana dengan rekan-rekan sejawatnya. Meskipun berat, tapi Mai tidak bisa melakukan hal apapun untuk membantah sang ayah. Lantas, hari ini, adalah hari baru bagi Mai. Hari pertama Mai akan bekerja sebagai in house lawyer yang nantinya akan menerima gaji dari Casteel High. Lumayan, daripada ia tidak bekerja sama sekali dan harus me
Langkah yang tadinya berirama cepat, kini melambat ketika Mai melihat pria yang berdiri dan bersandar pada sedan hitam yang biasa dipakai Mai untuk bekerja. Mai terus saja berjalan dan berhenti dengan memberi jarak satu meter dari pria tersebut.Pria yang berpakaian semi kasual itu lalu berdiri tegak. Menyematkan senyum lebarnya lalu segera membukakan pintu penumpang bagian belakang untuk Mai.“Silakan,” ujarnya mempersilakan Mai untuk masuk dengan sopan.Mai menarik tas tangannya hingga ke lipatan siku. Bersedekap heran dan menelisik pria itu dari atas ke bawah. “Ngapain pagi-pagi sudah di sini? Gak kerjaan, apa?”Pria itu mengangguk. “Ya ini kerjaan saya sekarang, jadi supir pribadi kamu. Eh, Mbak Mai, maksud saya.”
Napas Mai terbuang kasar berkali-kali setelah memasuki mobil. Pandangannya tajam dan terus menatap lurus pada kaca spion mobil bagian tengah. Melihat kesal pada manik Raj, yang tetap berkonsentrasi dengan jalan yang ada di depan sana.Sesekali pria itu menatap Mai yang duduk di belakang, lewat pantulan kaca, dan hanya bisa menyimpulkan senyum kecilnya.“Raj!” panggil Mai dengan luapan kesal yang ada di dalam dada.Manik Raj menatap Mai sekilas. “Iya, Mbak?”Mai langsung menarik napas dan menahannya. “Mai! gak usah pake em-bak segala!”“Gak sopan, Mbak. Kan, saya supirnya Mbak Mai,” balas Raj berusaha menjaga raut wajahnya setenang mungkin. “Dan, Mbak Mai itu se
Satu sudut bibir Mai tersungging miring ketika melihat Byakta berada di ujung koridor tempat lift berada. Pria itu terlihat tengah menelepon seseorang sembari memijat kepala. Meskipun Mai hanya melihat dari belakang, tapi ia yakin kalau sang penelepon di seberang sana tengah membuat pria itu sakit kepala. Tanpa ingin memedulikan pria itu, Mai kemudian masuk ke dalam lift yang pintunya baru saja terbuka lebar. Menekan tombol ke lantai di mana ruangan Bira berada, dan langsung meluncur ke atas seorang diri. Sesuai dengan pesan sang ayah, kalau Mai harus menemui Bira terlebih dahulu sebelum memulai pekerjaannya pagi ini. Sesampainya di depan ruangan Bira, sang sekretaris mengatakan kalau pemimpin Casteel High tersebut masih dalam perjalanan. Untuk itu, Mai diminta menunggu langsung di dalam ruangan Bira, yakni ruang