"Stop! Udah sampe sini aja antarnya," kata Diana ketika sudah sampai di depan gang menuju rumah Arvan.
Diana membuka pintu mobil, keluar dengan membawa makana laut yang sudah dibungkus. Gadis itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara mesin mobil yang dimatikan. Ia melihat Arvan keluar dan menutup pintu mobil.
"Kok gak pulang?" tanya Diana.
"Bukan urusanmu!"
"Dasar es batu!" gerutu Diana lirih.
"Aku denger apa yang kamu bilang!"
"Apa coba?"
"Kamu katain saya es batu kan?"
"Ih ... pede banget. Siapa ngatain es batu? Orang aku bilang kurang es batu."
"Apanya yang kurang es batu?"
"Itu ... anu ... em ... di rumah Pak Miko gak ada kulkas. Aku pengin minuman dingin." Diana segera berbalik sebelum gugupnya membuat Arvan curiga.
CEO dingin itu mengikuti Diana
"Van." Suara di balik telepon kembali terdengar. Kali ini Arvan menyadari jika penelepon itu bukanlah Diana si OB ceroboh."Siapa kamu?" tanya Arvan."Apa kamu pura-pura lupa? Bukankah kamu panik setelah mendengar suara tangisanku?"Arvan mematikan sambungan telepon itu. Memblokir nomor asing yang baru saja membuatnya panik. "Arrrrgggh!" teriak Arvan kesal sambil memukul setirnya."Kenapa kamu harus datang lagi?" tanya Arvan dengan intonasi yang melemah.CEO angkuh ini kembali melajukan kendaraan mewahnya dengan kecepatan tinggi. Emosinya yang meluap membuat ia mengendarai mobil tanpa kendali. Untung saja Arvan sudah seperti pembalap handal. Ia mampu menyalip kendaraan-kendaraan di depannya.Ia segera masuk ke halaman rumah mewah orang tuanya. Tuan Hutama dan sang istri, Wulandari, hendak pergi. Supir pribadi tengah membukakan pintu mobil untuk tuannya ketika
"Mih, kok kita jadi ikut-ikutan bohong kayak Diana?" bisik Wijaya pada istrinya."Mamih reflek, Pih. Mamih agak kaget tadi pas tuan Hutama sebut nama Heksa.""Heksa kan anak tuan Anton yang istrinya meninggal ini.""Bukan itu maksud mamih, Heksa kan pacarnya Diana.""Hah? Papih baru inget," kata Wijaya sedikit keras. Membuat Hutama yang berjalan di depan mereka menoleh."Inget apa?" tanya Hutama."Gak kok. Baru inget kalo sekarang hari minggu," kilah Wijaya.***Heksa melihat Arvan yang tengah memerhatikannya di balik pintu. Berbaur dengan pelayat lain. Dengan sengaja Heksa semakin erat memeluk Diana. Hingga gadis kurus itu kesulitan bernapas."Sa, engap. Aku susah napas," kata Diana yang membuat Heksa mengendurkan pelukannya."Jangan lepasin, Di. Aku butuh sandaran," kata Heksa.
"Ha-ha-ha," Malik tertawa lebar melihat Diana terjatuh ke dalam kolam. Begitu pun Arvan yang menatap gadis itu tanpa ekspresi.Tawa Malik berubah seketika saat melihat Diana yang meronta di dalam air. Sesekali tenggelam, muncul ke dasar sampai akhirnya benar-benar tenggelam.Arvan menyadari ada yang salah. Ia segera melepas jas hitamnya dan menceburkan diri ke dalam kolam. Arvan menuju Diana yang sudah tak sadarkan diri di dasar kolam dengan kedalaman dua meter itu. Ia menarik lengan Diana dan membawanya ke permukaan."Van, sini aku bantu!" kata Malik yang membantu mengangkat tubuh Diana ke pinggiran.Arvan kembali mendekati Diana yang pingsan. Ia menepuk-nepuk pipi tirus gadis itu. "Diana, bangun!" kata Arvan.Malik panik dan berlari mencari Heksa. Pria berkumis tipis ini menemukan Heksa tengah bersama ayahnya, kedua orang tua Arvan dan orang tua Diana.
"Aseeek. Ada yang lagi kasmaran," ledek Malik."Kamu pergi aja! Aku tarik ucapanku kembali." Arvan kesal."Tapi aku gak bisa narik pendengaranku kembali, Van. Mulutmu bisa saja bilang begitu. Tapi aku tau kalo kamu itu mulai suka sama Diana.""Tau apa kamu tentang cinta? Bukankah kamu belum pernah punya pacar?""Aku gak bilang cinta. Aku kan cuma bilang kalo kamu mulai suka sama Diana. Paham gak paham gak? Paham lah masa gak!""Udahlah! Sana pergi!""Tega banget suruh aku ke sini cuma buat diusir!"***Keesokan paginya Diana datang ke kantor dengan taksi. Heksa belum bisa menjemputnya sedangakan sepedanya masih terparkir di kantor. Ia masuk ke kawasan kantor dan masuk ke ruang cleaning service."Pagi semua," sapa Diana pada rekan-rekannya yang sudah datang."Pagi, Di. Cerah ba
Arvan mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Ia segera keluar ruangan dan meninggalkan Malik yang tengah duduk dan akan memberikan laporan harian.CEO dingin ini melangkah begitu terburu-buru. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya selalu menyapa atau sekedar memberi senyum. Meskipun mereka tahu bahwa Arvan tidak akan menghiraukannya.Di lantai bawah, Arvan berpapasan dengan Diana yang hendak menuju kantin untuk melihat menu makan siang. Tiba-tiba Arvan menarik lengan Diana dan membawanya keluar."Pak, ada apa?" tanya Diana bingung dan malu karena menjadi pusat perhatian para karyawan yang melihatnya.Arvan seolah tak sadar dengan tindakannya. Ia menghentikan langkah ketika dua security di depan menghampirinya karena mengira Diana tengah melakukan kejahatan."Ada apa, Pak?" tanya salah seorang security."Apa?" Justru Arvan bertanya balik. Ia melepas
Jam makan siang telah datang. Malik mengajak Arvan untuk ke kantin kantor. Namun, pria dengan rambut hitam berjambul ini menolaknya dan mengatakan jika makan siang mereka akan di antar oleh Diana."Oh, begitu. Baguslah. Gak perlu capek-capek ke gedung belakang," kata Malik.Benar saja. Diana datang membawa 3 porsi makan sesuai dengan permintaan Arvan. Gadis itu meletakkan dua tiga nampan berisi nasi putih, lauk, sayur, serta potongan buah-buahan di meja tamu yang ada di ruangan CEO itu."Sudah, Pak. Permisi," kata Diana."Duduklah!" perintah Arvan."Iya. Aku udah duduk, Van," jawab Malik."Bukan kamu," ucap CEO angkuh itu."Diana?" Malik menunjuk Diana yang berdiri."Iya.""Saya, Pak?" Diana bertanya untuk meyakinkannya lagi."Iya kamu. Duduk dan makanlah bersama kami."
Malik segera meluncur menuju ruangan Arvan. Pintu yang terbuka ditutupnya rapat-rapat agar tak ada karyawan lain yang melihatnya.Pria berkumis tipis ini berlari dan melerai Heksa sebelum baku hantam terjadi. "Sa, slow ... ada apa ini?" Malik pura-pura tidak tahu."Jelasin, Van! Apa yang kamu beri ke Diana!" bentak Heksa setelah Malik berhasil menarik tubuh Heksa menjauh dari Arvan.Arvan dengan santai membetulkan dasinya. Sambil berpikir apa yang harus ia katakan kepada Heksa. "Sa, dengerin penjelasan aku dulu," kata Arvan sambil mendekati Heksa yang masih emosi."Apa? Mau jelasin apa?""Aku nganggap Diana seperti teman kecilku. Aku pernah cerita ke kamu tentang Diana temanku kan? Sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengannya. Aku ingin ketemu dia, Sa.""Apa hubungannya kamu kasih sepatu sama Diana milikku?""Maaf. Entah kenapa aku
Heksa mengabarkan berita ini melalui pesan kepada Diana. Namun, dua centang abu tak juga berubah biru. Akhirnya pria yang masih dalam suasana berduka ini memutuskan untuk berpamitan dari ruangan CEO. Ia mengatakan akan pulang. Padahal, tujuannya adalah mencari Diana di ruangannya.Heksa bergegas sebelum Arvan tahu. Ia mencari Diana di ruang cleaning service akan tetapi hanya ada OB yang tengah beristirahat. Dua puluh menit sudah Heksa menunggu Diana sampai akhirnya ia melihat gadis itu tengah berjalan menuju ruangannya.Heksa melambaikan tangan, memberikan kode kepada Diana agar gadis itu mempercepat langkahnya."Ada apa, Sa? Kamu belum pulang?""Di, Arvan sama orang tuanya mau makan malam di rumah kamu.""Serius kamu?""Iya. Tadi ibunya Arvan sendiri yang bilang.""Ya udah, deh. Nanti aku bakal ngumpet.""Maaf,