Jam makan siang telah datang. Malik mengajak Arvan untuk ke kantin kantor. Namun, pria dengan rambut hitam berjambul ini menolaknya dan mengatakan jika makan siang mereka akan di antar oleh Diana.
"Oh, begitu. Baguslah. Gak perlu capek-capek ke gedung belakang," kata Malik.
Benar saja. Diana datang membawa 3 porsi makan sesuai dengan permintaan Arvan. Gadis itu meletakkan dua tiga nampan berisi nasi putih, lauk, sayur, serta potongan buah-buahan di meja tamu yang ada di ruangan CEO itu.
"Sudah, Pak. Permisi," kata Diana.
"Duduklah!" perintah Arvan.
"Iya. Aku udah duduk, Van," jawab Malik.
"Bukan kamu," ucap CEO angkuh itu.
"Diana?" Malik menunjuk Diana yang berdiri.
"Iya."
"Saya, Pak?" Diana bertanya untuk meyakinkannya lagi.
"Iya kamu. Duduk dan makanlah bersama kami."
Malik segera meluncur menuju ruangan Arvan. Pintu yang terbuka ditutupnya rapat-rapat agar tak ada karyawan lain yang melihatnya.Pria berkumis tipis ini berlari dan melerai Heksa sebelum baku hantam terjadi. "Sa, slow ... ada apa ini?" Malik pura-pura tidak tahu."Jelasin, Van! Apa yang kamu beri ke Diana!" bentak Heksa setelah Malik berhasil menarik tubuh Heksa menjauh dari Arvan.Arvan dengan santai membetulkan dasinya. Sambil berpikir apa yang harus ia katakan kepada Heksa. "Sa, dengerin penjelasan aku dulu," kata Arvan sambil mendekati Heksa yang masih emosi."Apa? Mau jelasin apa?""Aku nganggap Diana seperti teman kecilku. Aku pernah cerita ke kamu tentang Diana temanku kan? Sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengannya. Aku ingin ketemu dia, Sa.""Apa hubungannya kamu kasih sepatu sama Diana milikku?""Maaf. Entah kenapa aku
Heksa mengabarkan berita ini melalui pesan kepada Diana. Namun, dua centang abu tak juga berubah biru. Akhirnya pria yang masih dalam suasana berduka ini memutuskan untuk berpamitan dari ruangan CEO. Ia mengatakan akan pulang. Padahal, tujuannya adalah mencari Diana di ruangannya.Heksa bergegas sebelum Arvan tahu. Ia mencari Diana di ruang cleaning service akan tetapi hanya ada OB yang tengah beristirahat. Dua puluh menit sudah Heksa menunggu Diana sampai akhirnya ia melihat gadis itu tengah berjalan menuju ruangannya.Heksa melambaikan tangan, memberikan kode kepada Diana agar gadis itu mempercepat langkahnya."Ada apa, Sa? Kamu belum pulang?""Di, Arvan sama orang tuanya mau makan malam di rumah kamu.""Serius kamu?""Iya. Tadi ibunya Arvan sendiri yang bilang.""Ya udah, deh. Nanti aku bakal ngumpet.""Maaf,
Diana tak ingin dirinya kelaparan. Ia tak mungkin keluar dan makam malam dengan keluarga Arvan. Ia mengambil makanan serta sebotol air minum lantas dibawanya ke kamar."Mih, jangan bilang kalo aku di rumah!" teriak Diana dari depan pintu kamarnya.Ia segera mengunci kamar itu dan menikmati makan malam di atas kasur. Ia sengaja menghibur diri dengan menikmati suapan demi suapan nasi beserta lauknya sambil menonton drama korea favoritnya. Drama yang sudah ditonton Diana berulang kali akan tetapi belum bosan juga karena salah satu aktor favorit Diana menjadi pemeran utamanya.Mata Diana berkedip cepat. Ia melihat sosok pemain dalam drama yang sedang ia tonton berubah menjadi sosok Arvan. "Kok jadi Arvan, sih!" Diana meletakkan piringnya di atas bantal dan mengambil ponselnya. Ia melihat layar dari dekat dan baru menyadari jika pemain dalam drama bukanlah si beruang kutub."Payah! Kenapa aku jadi gini? P
Arvan mengendarai mobil dengan terus tertawa. Seolah tak menganggap kedua orang tuanya duduk dibelakang."Van, kita ke rumah sakit dulu sebentar ya!" ucap Hutama."Jam segini? Emang ayah ada janji sama dokter Tio?" tanya Wulandari."Gak, Bu. Ayah pengin periksain Arvan ke psikiater.""Ayah jangan gitu dong! Kayak Malik aja. Waktu itu juga suruh Arvan periksa kejiwaan," sahut Arvan."Bener si Malik. Kamu itu belakangan ini aneh, Van," sambung Hutama."Menurut ibu gak aneh, Yah. Tapi kayak lagi kasmaran.""Ih, ibu apaan!""Terus kenapa nyetir sambil ketawa sendiri? Emang ada yang lucu?""Arvan lagi ngebayangin Diana buka kadonya, Bu. Pasti dia seneng.""Kamu kasih kado apa, sih?" tanya Wulandari."Rahasia."***"Mamih, Papih, Mbok
"Apa sih, Bu?" Hutama bangun dengan terkejut."Arvan sepertinya emang perlu ke rumah sakit, Yah. Kata bibik tadi dia aneh."."Aneh gimana?""Bik, sini jelasin!" Wulandari meminta pembantunya untuk menjelaskan.Dengan jelas dan lancar, pembantu itu menjelaskan sejak awal. Dari pertama meminta plastik, tersenyum, tertawa, membawa laba-laba hingga pergi ke kantor membawa bekal."Biar nanti ayah ke kantor dan liat Arvan di sana!""Ikut, Yah!" rengek Wulandari."Iya, Bu."***Arvan sampai di kantor pukul 06.00. Hanya ada dua security yang tengah berjaga di pintu masuk. Ia dengan santai berjalan membawa laba-laba itu ke ruangannya.Dibukanya ikatan kantong plastik bening berisi sebelas laba-laba beserta sarangnya. Arvan mengambil sarang yang telah menggumpal dan lengket di tangan. Ia menaruh sara
"Jadi itu si OB yang menggoda Pak Arvan?""Iya. Padahal denger-denger dia itu pacaran sama sepupu Pak Arvan.""Paling cuma mau morotin mereka aja.""Liat, tuh! Dia juga deket sama Pak Malik."Bisik-bisik para karyawan yang melihat Diana. Terutama karyawan di lantai lima belas.***Arvan menjatuhkan Diana hingga ia jatuh terjerembab ke lantai. Lelaki dengan rambut berjambul ini sejenak tak bisa bernapas ketika melihat Malik di depan pintu serta karyawan di lantai lima belas yang berkerumun di luar pintu. Memandang dengan tatapan aneh ke arahnya dan Diana."Tu ... tu ... tutup pintunya!" titah Arvan dengan gagap kepada Malik sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu.Malik menutup pintu dan menguncinya. Tangannya lengket terkena sarang laba-laba yang dipasang bosnya tadi pagi. Ia juga menutup tirai sekaligus mengelap tangann
Diana meneguk segelas air yang ia ambil dari dispenser. Kemudian melanjutkan tugasnya menuju kantin untuk mengecek menu makan siang untuk atasannya.Ia berjalan mengamati sekeliling. Setiap kali berpapasan dengan karyawan, mereka bertingkah aneh. Menatap dengan tatapan benci serta tak jarang yang berbisik entah apa yang mereka bicarakan."Mereka pada kenapa sih?" batin Diana.Gadis berponi ini sudah sampai di kantin Tak berbeda dengan yang lain, seluruh karyawan kantin pun menatap aneh pada dirinya. Membuat ia tertunduk dan memilih kembali sebelum melakukan pekerjaannya mengecek makanan untuk sang CEO.Ia berhenti di sebuah toilet umum di belakang gedung. Mengurung diri dan menangis sendirian."Apa aku ngaku sekarang aja kalo sebenarnya aku Diana temen kecilnya Arvan. Biar semua clear. Tapi bagaimana dengan Heksa? Aku sudah janji memberinya waktu seratus hari. Sebulan
Chintya melangkah maju mendekati Diana. Dengan tegas ia meminta gadis berponi itu segera keluar dari ruangan Arvan."Hey, kamu! Tolong keluar!" kata Chintya sambil mendorong bahu Diana.Hal itu membuat Arvan kesal. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Diana yang hampir saja pergi."Gak ada yang boleh keluar tanpa seijinku!" Arvan menggenggam tangan Diana. Membuat gadis berwajah oriental yang hampir mengaku identitas aslinya terdiam membeku."Aku aja yang keluar," Malik berlari keluar dan menutup pintu rapat-rapat."Van, siapa dia?" tanya Chintya sambil menunjuk ke arah Diana."Bukan urusanmu tau tentang dia!""Van, apa kamu udah gak cinta lagi sama aku?""Cinta? Kamu masih berani bicara soal cinta?""Van, aku jelasin semuanya. Tolong ngertiin aku! Aku khilaf, Van." Chintya menarik tangan Arva
Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa
"Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.