18 Tahun Kemudian
Sore ini. sepasang sahabat tengah pergi ke sebuah tanah lapangan.
Rencananya Gara akan bertanding sepak bola bersama clubnya."Kak Gara tunggu...!" panggil gadis yang sedari dari tadi asik memutar mutar tutup botol minuman yang kini berada di tangannya.
"Hm!" Gara tidak menoleh sedikitpun. dirinya masih sibuk dengan tali sepatunya.
"Ini gimana sih? Kayaknya ribet amat dari tadi nggak bisa-bisa juga." Gara kini terlihat mulai kesal. Pemuda itu mengacak rambutnya dengan sedikit prustasi.
Melihat itu gadis yang kini ada dihadapannya hanya diam, pura-pura tak melihat, dalam hati gadis itu tertawa. Karena sudah sebesar itu sahabatnya itu masih belum bisa mengikat tali sepatu, dan masih saja membutuhkan bantuan orang lain.
"Naira, sayang. cantiknya Kak Gara." Mendengar ucapan Gara. Gadis yang adalah Naira menatap Gara yang duduk disebe
Naira terlihat gelisah dalam tidurnya, dia masih mengingat senyuman Gara. Bayangan wajah tampan dan senyuman Gara, mendadak muncul bahkan terlihat nyata bukan seperti bayangannya saja.Gadis itu terbangun dari tidurnya. Lalu dia tiba-tiba tersenyum, saat mengingat senyuman manis sahabat kecilnya itu.Naira mengambil ponselnya dan dia langsung menekan tombol untuk menghubungi Gara. Tidak lama panggilan teleponnya pun diterima."Ada apa cantik?" Tanya Gara. Dari sebrang sana."Gak bisa tidur kak." Naira menjawab sambil terlentang diatas ranjang dengan menatap langit-langit kamarnya."Ya ampun kasihan, mau aku nyaiin gak?" Gara bertanya lagi."Mau, tapi nyanyiin sampai Naira tidur ya kak," Jawab Naira dengan semangat.Setelah mendengar jawaban Naira. Gara pun mulai bernyanyi. Sesekali Gadis itu ikut bernyanyi, namun tak butuh waktu lama. Suara Naira pun sudah
Naira memutar malas bola matanya. Selalu seperti ini jika Gara dan Bandnya Selesai manggung di cafe. Banyak gadis cabi-cabian berkerumun, untuk minta tanda tangan, minta foto bersama, dan lebih parahnya lagi. Ada sampai ada yang mendaratkan ciuman di pipi pemuda tanpan itu."Kak Gara. I love you, minta foto bareng ya kak!" Teriak salah satu fans fanaticnya.Jujur saja, Gara merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Ia tahu memang bukan kesalahannya jika ia terlahir dengan wajah tampan rupawan.Naira masih setia menunggu di parkiran, menunggu hingga Gara datang menghampirinya."Udah kan, Kak?" Tanya Naira. Sesaat setelah Gara menampakkan dirinya dihadapan Naira."Apanya yang udah, Nai? Lihat nih muka aku. Jadi penuh lipstick! Jijik tau nggak, geli banget ih." keluh pemuda itu, memang benar di sana tepatnya di wajah Gara begitu banyak noda-noda merah yang tercetak dengan jelas."Fans ya kakak emang pada nggak waras semua. Untung aku nggak ikut-i
"Selamat pagi Ma, Pa!" seruan itu terdengar dari pemuda yang berjalan menuruni tangga, kemudian di susul oleh perempuan di belakangnya yang berjalan terburu buru sambil memasukan buku-bukunya kedalam tas, hampir saja Gara terjatuh saat gadis itu menabraknya. "Woy, kecoa bunting! Jalan itu di dong matanya. Entar kalau gue nyungsep gimana. dasar kecoa bunting," Plak! Plak! Gara memegangi kepalanya yang terkena jitaka dari gadis jadi-jadian di sampingnya, kurang asem pikirnya. "Apa lo hah! ngatain kakak sendiri kecoa bunting, gak sopan tau gak?! Terus itu juga jalan di mana-mana juga pake kaki kali, bukan pakai mata. Oh lo bilang tadi jalan pakai mata kan? Coba lo praktek kin pengen lihat gue kaya apa sih kalau jalan pakai mata?" Skak Mat. Gara kini hanya terdiam, benar juga kata kakaknya. Masa iya jalan pake mata, gimana caranya
Naira berpikir sejenak, seperti mengingat-ngingat sesuatu. Tapi dia lupa apa yang dia lewatkan"Eitsss tunggu dulu! Ini kan...." Gadis itu lalu mendorong tubuh Gara hinggak jatuh ke ranjang miliknya.Berlari menuju jendela kamarnya. Dia memeriksa bunga Mawarnya yang sudah lama ia nanti untuk berbunga. dan Gara dengan mudahnya memetik bunga itu. Terus dia kapan ngambilnya?"Ini kan bunga mawar aku, Kak! kenapa malah kak Gara petik. Kakak ini Bener -bener ya!" Naira pun mengejar Gara yang siap kabur karena ulahnya sudah ketahuan."Eh. Jangan di gelitikin dong. Naira udah stop! Geli tau, hahahaha." Gara pun tertawa terbahak-bahak saat Naira bisa menangkap dan dia langsung menggelitiki pemuda itu."Masa bodo, rasain nih. siapa yang suruh lancang ngambil bunga kesayangan aku."Tiba-tiba saja...."Aaaaa...!"Brukk!
"Jadi pacar Kakak ya?"Jna menatap Naira, dan gadis itu membalas tatapan Juna. Dia dapat melihat kesungguhan dan ketulusan di mata pemuda itu.Namun Naira tak bisa bersama Juna, tak ada rasa cinta sedikitpun untuk pria itu. Naira akui Juna memang berbeda, dia begitu pengertian dan peka dengan semua tentang Naira. tidak seperti Gara. Andai saja Naira mencintai Juna. Pasti dia akan bahagia.Tapi sekali lagi perasaan tak bisa di paksa kan? Tetaplah seorang Naira hanya Gara bukan Juna."Gue cinta sama lo. Gue tahu lo suka sama Gara. Tapi gue yang lebih bisa ngertiin lo, Nai. di bandingkan dengan Gara, dia cuma cowok payah yang gak pernah peka sama perasaan lo."Jujur apa yang Juna ucapkan tulus dari dalam hati. Namun, Naira tidak suka dengan kata-kata terakhir pemuda itu. apa dia bilang Kak Gara nya payah.Plakkk!"Kak Juna nggak berhak bilang
Senyum kecil Naira terbit dari bibir merahnya saat melihat isi galeri foto Gara. Yang penuh akan foto-fotonya dengan berbagai pose. Entah mengapa, pemuda itu pandai membuat hati Naira berbunga-bunga hanya dengan hal sesederhana itu."Kak Gara kebiasaan suka diam-diam motoin aku," Ucapnya dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya.Namun, tiba-tiba senyuman itu luntur saat dia beberapa foto Kirana di ponsel Gara. Walaupun tak sebanyak foto-foto dirinya, namun tetap saja Naira merasa tak rela. Ibarat sudah melayang ke angkasa, lalu di jatuh kan ke dasar jurang yang dalam. Rasanya sangat sakit.Gara memasuki kamar dengan membawa satu gelas minuman untuknya saja, melihat itu membuat Naira protes."Kok cuma satu sih, Kak? kan aku juga mau minum." Protes Naira.Gara yang baru saja duduk di sofa dan meletakkan jus melonnya lalu Gara menatap Naira."Ya kan kamu tadi nggak minta, jadinya aku bikin satu doang," Sahut Gara sekenanya. kenapa sebegitu
Namun mendadak Naira menghentikan Juna, tanpa sengaja gadis itu melihat sebuah pemandangan yang menyesakkan hatinya. Gara kini tengah duduk berdua dengan Kirana. Mereka tampak sedang bercanda tawa di sebuah cafe. Ya Tuhan, sudah setengah mati Naira mencari pemuda itu. tapi apa yang terjadi, sungguh di luar perkiraannya. "Loh, itu bukannya...." ucap Juna terpotong, ia menoleh ke arah Naira yang kini tengah berdiri mematung disampingnya. Mata Naira berkaca-kaca saat melihat Gara dan Kirana. Katakan Naira cengeng, tapi dia benar-benar merasa di permainkan. Naira dari tadi terus memikirkan keadaan Gara, tapi apa yang laki-laki itu lakukan? "Kenapa Kak Gara nggak bilang yang sejujurnya sama aku," gumam Naira. Kata Gara. Naira adalah yang paling utama untuknya, tapi itu semua bohong. Nyatanya Gara hanya mengedepankan Kirana. Ucapan Gara hanyalah sebuah omong kosong belaka.
Mereka hanya mengangguk lemah. Gadis itulah yang meminta penyakit dirahasiakan pada Gara.'ini semua juga atas permintaan Naira. Dia tidak mau dicintai hanya karena rasa kasihan dan iba." Kini Maura mengatakan semuanya pada Gara.Mendengar ucapan Maura. Gara hanya terdiam, dia mendudukan dirinya di kursi panjang ruang tunggu rumah sakit, dia membuka perlahan lembar demi lembar buku harian milik Naira."Kak Gara. Sebaiknya Kakak makan dulu. aku tahu Kakak belum makan apa-apa sejak tadi." Kirana kini duduk di samping Gara dan mengelus tangannya."Ayo, Kak. biar aku temani," ajak Kirana. Namun Gara tidak bergeming dari tempat."Enggak, Ki. Aku mau di sini aja, aku mau nungguin Naira," Tolak Gara. pandangannya menunduk menatap tangan Kirana yang masih menyentuhnya."Tapi Kak."Gara tidak menyahut, ia malah melepaskan tangannya dari genggaman Kirana. Gadis itu
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men