Mereka hanya mengangguk lemah. Gadis itulah yang meminta penyakit dirahasiakan pada Gara.
'ini semua juga atas permintaan Naira. Dia tidak mau dicintai hanya karena rasa kasihan dan iba." Kini Maura mengatakan semuanya pada Gara.
Mendengar ucapan Maura. Gara hanya terdiam, dia mendudukan dirinya di kursi panjang ruang tunggu rumah sakit, dia membuka perlahan lembar demi lembar buku harian milik Naira.
"Kak Gara. Sebaiknya Kakak makan dulu. aku tahu Kakak belum makan apa-apa sejak tadi." Kirana kini duduk di samping Gara dan mengelus tangannya.
"Ayo, Kak. biar aku temani," ajak Kirana. Namun Gara tidak bergeming dari tempat.
"Enggak, Ki. Aku mau di sini aja, aku mau nungguin Naira," Tolak Gara. pandangannya menunduk menatap tangan Kirana yang masih menyentuhnya.
"Tapi Kak."
Gara tidak menyahut, ia malah melepaskan tangannya dari genggaman Kirana. Gadis itu
Gara terus tersenyum saat melihat Naira yang tidak henti-hentinya melengkungkan bibirnya. Gadis itu terus saja tersenyum.Naira benar-benar menikmati saat-saat seperti ini, gadis itu merasa takjub demgan keindahan kota saat di malam hari.Sekarang ini mereka sedang berada di taman hiburan dan saat ini mereka sedang menaiki biang Lala. Dan itu semua karena permintaan Naira. Setelah gadis itu puas mengerjai Gara, Naira kini ingin jalan-jalan. Tentu saja Gara mengiyakannya, karena mungkin dengan itu Naira bisa sedikit melupakan tentang rasa sakit yang dia rasakan tubuhnya.Tangan Gara merapikan rambut Naira yang berterbangan karena tertiup angin, membuat gadis itu menatapnya."Kenapa Kak Gara senyum-senyum kayak gitu?" Tanya Naira. Karena saat ini duduk berhadap-hadapan dengan Gara.Mendengar pertanyaan Naira. Gara pun tersenyum kecil, senyum Naira ternyata memang sungguh manis melebihi gula.
Gara kini menggandeng tangan Naira dengan erat, seakan tak menginginkan gadis itu pergi dari sisinya. Padahal, mereka sudah sampai di halaman rumah. "Kak, lepas ih," bisik Naira pelan. Matanya masih terfokus melihat sang mama yang kini berdiri di depan pintu rumah dan terlihat begitu khawatir pada putrinya itu. "Gak ah, takut kamu kabur." Gara tetap menggenggam tangan gadis itu. Malah kini dia semakin mengeratkan gandengannya genggamannya pada Naira. Kalau sudah seperti itu, Naira hanya bisa pasrah membiarkan Gara berbuat apa yang dia inginkan. "Nai, kamu dari mana aja? Mama khawatir lho nyariin kamu. Mana ponsel kamu nggak aktif lagi, bikin Mama makin khawatir tau gak?!" "Maaf, Ma. Tadi Naira cuma jalan-jalan bentar kok. Lagian jalan-jalannya sama kak Gara." Naira menjawab sambil tersenyum manis pada sang mama. Dan senyuman itu mampu membuat mama Naira yang tadinya kesal menjadi luluh dengan waktu yang sangat singkat. "Maaf, Ma. Tadi Gara yan
Naira duduk di tepi kasur di dalam kamarnya. Dia memandang keluar jendela yang menampakkan rintik hujan di luar sana. Ini masih pagi tapi hujan sudah mencumbu bumi. Kadang Naira merasa iri dengan bumi, hujan terlalu mencintai bumi. Hingga rela jatuh berkali-kali demi menyentuh sang bumi.Seperti Naira, yang rela jatuh berkali-kali demi Gara. Pria yang bahkan Naira tidak tahu sebenarnya hatinya untuk siapa. Dari awal, seharusnya Naira sadar. Dia salah mengambil langkah, seandainya saja ia menerima Gara dari awal mungkin pria itu tidak akan pernah jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri.Ah, Naira tak ingin mengingat itu.Naira tak bisa berhenti mencintai Gara. Seperti Juna yang tak bisa berhenti mencintai Naira.Laksh Jahat. Tapi Naira menyukai nya. Begitu pula Baura, dia bodoh dan Juna tetap mencintainya. Naira terlalu bahagia mencintai Gara sampai ia sendiri lupa membahagiakan orang yang mencintainya.
Semilir angin berhembus ringan, tampak dua insan yang sedang terduduk disebuah bangku taman.Gara tak sengaja bertemu dengan Kirana saat ia baru saja pulang dari rumah Naira. Dan ya jadilah keduanya duduk bersama di taman itu. Namun, mereka hanya terdiam, dengan lamunannya masing-masing."Kak Gara."Mendengar panggilan Kirana. Pria itu pun menoleh ke arah Kirana."Ya.""Hubungan Kakak sama Naira gimana?" Tanya Kirana. Dengan suara pelan.Ia mulai sadar diri. Sadar akan posisinya di hati pria itu. Naira adalah prioritas utama untuk Gara. Pria itu selalu menatap penuh cinta saat memandang Naira. Pria itu juga rela melakukan apapun demi kebahagiaan Naira. Apa keistimewaan seorang Naira jika dibandingkan dengannya? Entahlah Kirana pun tidak mengetahuinya."Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?" Tanya Gara. Merasa heran karena tidak biasanya Kirana membahas semacam ini.
"Mama, kangen." Naira langsung berhambur ke pelukan Jihan sesaat setelah wanita paruh baya itu membuka pintu rumahnya. Jihan sudah menganggap Naira seperti anak kandungnya, dan wanita itu berharap kelak Naira bisa menjadi menantunya."Udah pulang, Nak? Kesini sama siapa?" Tanya Jihan. Tangannya membuka pintu agak lebar dan mengajak Naira untuk masuk."Sendirian, Ma.""Memang udah beneran sehat, Sayang? Kok udah berani keluyuran sendirian?" Tanya Jihan. Sembari mengelus puncuk kepala Naira."Udah, Ma. Oh ya Kak Gara mana, Ma? Kok gak kelihatan batang hidungnya sih, atau masih tidur ya?" Tanya Naira beruntun. Membuat Jihan gelagapan karena pertanyaan Naira."Ada kok sayang. masih di atas, mungkin masih tidur." Jihan menjawab yang membuat Naira mengangguk paham."Ya udah, Ma. Naira bangunin si kebo dulu ya. Kebiasaan nih kak Gara suka banget bangun siang." Naira pun la
"Kamu suka ya sama, Juna?" Bukannya menjawab pertanyaan Naira. Gara malah balik bertanya dengan muka datarnya. Dia berusaha menahan emosinya yang siap meletus bak gunung Merapi."Ya enggak lah. Emangnya kenapa, Kak?""Kamu bohong sama aku?"Naira menggeleng. "Beneran kamu. gak suka sama Juna. Sumpah!" Lanjut Gara. masih dengan ekspresi datarnya."Iya beneran, Kak Gara.""Nai. Siniin deh telapak tangan kamu."Naira menatap Gara dengan bingung. Untuk apa pria itu meminta telapak tangannya?"Buat apaan, Kak?" Tanya Naira."Udah siniin aja. Nggak akan aku gigit kok."Naira pun menyodorkan telapak tangannya pada Gara seperti menulis sesuatu di atas telapak tangannya. Entahlah apa yang sedang Gara tuliskan. Naira juga tak tahu pasti."Kenapa kamu? Kok malah senyum-senyum kayak gitu. Ada yang lucu ya?" Tanya Gara
Setelah berbagai bujukan dilakukan agar Naira mau menerima lamaran Gara, dan menikah dengan Gara secepatnya. Akhirnya Naira pun setuju karena dia sedikit merasa takut kalau Gara akan berpindah haluan dan Naira mau menikah. Berekat Nindya yang terus mengompori gadis itu tentang Gara yang mungkin saja akan berpindah kelainan hati kalau sampai Naira menolak menikah dengan Gara.Dan hari ini adalah hari pernikahan Naira bersama Gara. Karena mereka mempercepat pernikahan kedua remaja itu. Dengan alasan takut mereka berdua berubah pikiran."Aduh Neng yang rileks dong. Yang tenang ya sayang. Kalau gak tenang kapan selesai ngeriasnya soalnya keringetan terus ini. Capek eike dendongin you luntur mulu." Ucap seorang rias perias yang melambai itu."Hehe maaf Om. Aku kan deg degan Om nggak ngerasaain sih gimana rasanya. Rasanya jantung aku tuh mau copot Om." Naira berkata dengan wajah yang memang terlihat tegang."What! You panggil eike Om?!""Terus aku
"Nai.""Iya sayang, kenapa?" Tanya Naira dengan bingung."Aku baru sadar.""Sadar?""Ternyata gunung kembar kamu gede." Lalu Gara pun tertawa dan langsung berlari ke kamar mandi."Kak Gara...!" Teriak Naira.Beruntungnya kamar itu kedap suara jadi meski berteriak pun tidak akan terdengar sampai keluar. Naira sangat kesal karena masih mendengar gelak tawa Gara dari kamar mandi."Ketawa aja terus, Kak!" Naira merasa sangat geram pada Gara. Pria yang menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Naira yang merasa lelah pun segera mengganti pakaiannya dengan baju tidurnya dan dia segera berbaring di kasurnya. Dia berusaha agar Gara tak tidur disebelahnya.Keesokan paginya."Sayang, kamu dimana?" Gara yang kini telah tersadar sepenuhnya, namun tidak menemukan Naira disampingnya.Hening tak ada sahutan dari Naira. Gara pun segera turun dari ranjang dan segera berjalan keluar mencari Istrinya. Gara sudah mencari k
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men