Hari-hari kini dilewati Jihan dan Septian dengan penuh kebahagiaan. Meski Septian harus bersabar karena sikap manja Jihan, yang kadang berlebihan, membuat Septian kewalahan dibuatnya, namun itu menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Namis, dia jadi merasakan betapa sulitnya jadi seorang ayah, dan mungkin Jihan lebih dari itu, karena dia yang semakin sulit untuk bergerak karna perutnya sudah semakin membesar karena usia kandungan Jihan sudah menginjak 6 bulan, setelah selesai makan Septian dan Jihan pun kini sedang bersantai di kamar mereka.
"Sep, lihatlah sekarang perutku semakin besar, dan aku tidak bisa memakai baju seksi lagi, dan kamu. apakah kamu akan mencari wanita lain diluar sana nanti?" Ucap Jihan. Dengan mata yang berkaca-kaca, sambil memperhatikan bentuk tubuhnya dicermin, membuat Septian terkekeh dengan tingkah istrinya yang tengah merajuk.
"Astaga, sayang. Kumat lagi ya bapernya " Ucap batin Septian sambil menggele
Jihan dan Septian kini sedang duduk berhadapan dengan Dokter Naina, untuk memeriksa kandungan Jihan.Setelah Dokter Naina memeriksa kandungan Jihan, dia pun menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Jihan agar kandungannya selalu sehat dan mendapatkan posisi yang terbaik untuk bayinya, setelah selesai Dokter Naina pun meminta Jihan untuk berbaring di Brankar yang ada diruangan itu. Dokter Naina adalah Dokter kandungan pribadi Jihan yang dipilihkan oleh ibu mertuanya. Aleta. Karena kebetulan dia adalah teman baik sang ibu mertua."Baiklah Han, kamu berbaringlah dibrankar itu! hari ini aku akan memeriksa jenis kelamin calon bayi kalian. Baik kita mulai USG ya.""Baik, Dokter." Jihan pun kini sudah berbaring dibrankar didampingi oleh Septian yang menggenggam erat tangan Jihan."Baiklah, apa kalian sudah siap untuk mengetahui jenis kelamin bayi kalian? Ayo kita lihat bersama-sama," Ucap Dokter Naina. Mendengar
Septian baru saja keluar dari kamar mandi. Dia kini melihat Jihan sedang bersandar di kepala ranjang sambil mengelus-elus perutnya yang semakin buncit. Septian pun tersenyum saat melihat apa yang Jihan lakukan.Jihan yang melihat suaminya menatapnya dengan terus tersenyum pun menjadi bingung. Apakah suaminya salah makan hari ini?"Sep, aku perhatikan kamu senyum-senyum terus dari tadu? Kenapa, hm?" Tanya Jihan. Sambil menatap Septian yang kini kembali memggosok rambutnya yang masih basah."Tidak ada sayang. Aku cuma bahagia dan aku tidak menyangka, Sebentar lagi aku akan sah menyandang gelar baru yaitu menjadi seorang ayah. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, iya akan bertemu dengan putri kita. Dan setelah dia lahir, maka aku dan kamu benar-benar akan jadi orang tua seperti ayah dan bunda. Kamu tahu ini seperti mimpi bagiku, mimpi yang sangat indah," Ucap Septian. sambil kembali tersenyum pada Istrinya. Mendengar apa
"Gi-Gilang." Jihan sangat terkejut sekaligus terlihat bahagia, karena dia bisa bertemu kembali dengan teman baiknya selain Maura dan Alex. Tapi tidak dengn Septian, kini dia terlihat kesal karena kedatangan tamu yang mungkin saja bisa disebut saingannya, meski dia kini sudah memiliki Jihan seutuhnya tapi entah kenapa Septian sangat tidak suka. Saat melihat Gilang hadir kembali dalam kehidupan Jihan."Jadi kalian sudah saling kenal?" Tanya Oma Nadia. Yang kini menghampiri Gilang dan tersenyum pada cucu angkatnya itu."Iya Nek, kebetulan kami pernah satu kampus, dan jujur aku pernah menyukai cucu nenek." Gilang pun tersenyum kearah Jihan. Membuat ibu hamil itu tersipu malu, sedang sang suami tersenyum sinis kearah Gilang sambil memeluk pinggang Jihan dengan sebelah tangannya dan terlihat sangat posesif. Namun, Gilang tidak menanggapinya dia malah kembali fokus pada sang nenek."Oh ya Nek. Maaf ya ayah dan ibuku tidak bisa da
Pembicaraan Jihan dan Septian via Handphone📱"Sep, hari ini aku ada cek kehamilan loh," Ucap Jihan. Melalui ponselnya."Iya sayang, tapi aku besok baru bisa pulang, kamu sama bunda aja ya ke Dokternya," Sahut Septian."Ya udah deh, padahal kan aku perginya pengen sama kamu. Sepeti di bulan-bulan biasanya, tapi ya udah deh aku minta diantar sama Bunda aja, tapi kamu hati-hati ya disana, jangan nakal loh," Ujar Jihan memperingatkan."Nggaklah sayang, mana mungkin aku berani macem-macem, cuma satu macem aja kok, itu pun sama istriku yang paling cantik dan manis. Gak akan sayang, aku pasti sudah tidak waras kalau sampai berbuat yang nggak-nggak.""Iya aku percaya sama kamu sayang, cepat pulang ya, aku sama dedek bayinya udah kangen banget sama kamu, sayang." Jihan pun tersenyum setelah mengatakan hal itu."Iya aku juga kangen sama kamu dan juga dedek bayinya,
Kini Jihan pun sudah berada diruang rawat. Jihan kini sudah berbaring dibrankar karena dia merasa sakit dibagian pinggulnya, namun sesekali dia terduduk, dan mengambil ponselnya. Tapi tak ada pesan satu pun dari suaminya."Bun, apa Tian ada telepon Bunda?" Tanya Jihan. Yang kini menatap Aleta yang sedang duduk bersama Kiara disofa."Cie, ada yang kangen nih kayaknya Bun. Kakak ini baru 4 hari ditinggal kak Tian, tapi kayaknya udah kangen banget yah," Goda Kiara."Iisshh..., kamu ini ngomong apa sih Kia, aku cuma nanya aja," Ucap Jihan. sambil tersipu malu, karena Kiara terus menggodanya."Sudah-sudah jangan ribut. Tian tadi bilang sedang diperjalanan pulang, jadi dia gak bisa telepon atau menerima telepon, dia bilang tidak ingin mengganggumu istirahat sayang. Tapi Bunda sudah bilang kalau dia langsung kerumah sakit aja, Bunda tahu pasti kamu udah kangen banget," Ucap Aleta. Jihan pun hanya tersenyum lalu d
Jihan kini sudah dibawa pulang kerumah setelah 3 hari dirawat dirumah sakit pasca melahirkan putri pertamanya, keluarga pun kini tengah berkumpul dikediaman keluarga Wijaya, untuk melihat si mungil yang kadang menangis saat digendong oleh Aleta dan Sabrina."Aduh cucu nenek kok gak mau digendong sih, kan neneknya pengen gendong," Ucap Sabrina. Sambil menimang cucunya yang mungil dan menggemaskan itu."Mungkin dia blm kenal kita Bina jadi pas kita gendong dia nangis, oh ya diberi nama siapa putri kalian Sep, Han?" Tanya Aleta." Anindya Violetta. Nama panggilannya Nindya, iya kan sayang," Ucap Septian dengan Antusias, lalu dijawab anggukan oleh Jihan yang kini tengah duduk disofa bersama Septian."Wah Nama yang cantik seperti baby nya cantik dan imut," Ucap Aleta."Hey Nindya, Cucu nenek yang cantik," Lanjut Aleta. Sambil melihat menatap Cucunya itu."Wah kayaknya dia setuj
Septian, Jihan dan Nindya pun sudah rapih dengan pakaian serba putihnya. Septian dengan baju santainya, sedang Jihan dengan dress putihnya, begitu juga dengan Nindya, kini mereka pun tengah duduk diranjang dengan Namis yang menggendong putrinya."Wah Princess papah udah wangi banget ya," Puji Septian. Lalu kini mencium kening mungil Nindya."Kalau mamanya, wangi gak?" Tanya Jihan yang kini memeluk Septian dari belakang dengan manjanya."Gimana de wangi gak mamanya?" Tanya Septian pada putri kecilnya, untuk menggoda Jihan, membuat wanita itu cemberut."Iiihh..., kamu mah gitu, udah gak sayang lagi ya sama aku," Rajuk Jihan. Yang kini duduk disamping Septian."Cie yang cemburu, ingat yang kamu bilang sayang. gak boleh cemburu sama putri kita." Septian mengingatkan dan Kembali menggoda istrinya itu, tapi saat melihat sang istri semakin menekuk wajahnya. Septian pun berbisik sesuatu yang
Septian baru saja masuk ke kamarnya setelah menidurkan Nindya. Karena anak itu ingin di ceritakan dongeng oleh sang ayah. Saat memasuki kamar Septian tidak melihat keberadaan Jihan disana. Tapi saat dia menoleh ke arah balkon, Septian melihat istrinya itu tengah berdiri di pembatas balkon sambil menatap ke arah langit.Septian pun tersenyum, lalu dia menghampiri Jihan tanpa bersuara. Dan saat sudah di belakang Jihan. Septian pun langsung memeluk istrinya, lalu menopangkan dagu di bahu sang istri. Jihan hanya tersenyum saat mendapat pelukan hangat dari suaminya. Septian."Sayang, sedang apa kamu disini, hm?" Tanya Septian. Dengan sesekali mengecup pundak Jihan."Aku sedang menikmati indahnya malam lihat lah bintang disana yang tak pernah lelah bersinar. seperti kamu yg tidak pernah mengeluh melindungi dan memenuhi kebutuhanku dan Nindya tanpa mengeluh," Jawab Jihan. Dengan senyuman termanisnya."Itu sudah k
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men