Jihan kini sudah dibawa pulang kerumah setelah 3 hari dirawat dirumah sakit pasca melahirkan putri pertamanya, keluarga pun kini tengah berkumpul dikediaman keluarga Wijaya, untuk melihat si mungil yang kadang menangis saat digendong oleh Aleta dan Sabrina.
"Aduh cucu nenek kok gak mau digendong sih, kan neneknya pengen gendong," Ucap Sabrina. Sambil menimang cucunya yang mungil dan menggemaskan itu.
"Mungkin dia blm kenal kita Bina jadi pas kita gendong dia nangis, oh ya diberi nama siapa putri kalian Sep, Han?" Tanya Aleta.
" Anindya Violetta. Nama panggilannya Nindya, iya kan sayang," Ucap Septian dengan Antusias, lalu dijawab anggukan oleh Jihan yang kini tengah duduk disofa bersama Septian.
"Wah Nama yang cantik seperti baby nya cantik dan imut," Ucap Aleta.
"Hey Nindya, Cucu nenek yang cantik," Lanjut Aleta. Sambil melihat menatap Cucunya itu.
"Wah kayaknya dia setuj
Septian, Jihan dan Nindya pun sudah rapih dengan pakaian serba putihnya. Septian dengan baju santainya, sedang Jihan dengan dress putihnya, begitu juga dengan Nindya, kini mereka pun tengah duduk diranjang dengan Namis yang menggendong putrinya."Wah Princess papah udah wangi banget ya," Puji Septian. Lalu kini mencium kening mungil Nindya."Kalau mamanya, wangi gak?" Tanya Jihan yang kini memeluk Septian dari belakang dengan manjanya."Gimana de wangi gak mamanya?" Tanya Septian pada putri kecilnya, untuk menggoda Jihan, membuat wanita itu cemberut."Iiihh..., kamu mah gitu, udah gak sayang lagi ya sama aku," Rajuk Jihan. Yang kini duduk disamping Septian."Cie yang cemburu, ingat yang kamu bilang sayang. gak boleh cemburu sama putri kita." Septian mengingatkan dan Kembali menggoda istrinya itu, tapi saat melihat sang istri semakin menekuk wajahnya. Septian pun berbisik sesuatu yang
Septian baru saja masuk ke kamarnya setelah menidurkan Nindya. Karena anak itu ingin di ceritakan dongeng oleh sang ayah. Saat memasuki kamar Septian tidak melihat keberadaan Jihan disana. Tapi saat dia menoleh ke arah balkon, Septian melihat istrinya itu tengah berdiri di pembatas balkon sambil menatap ke arah langit.Septian pun tersenyum, lalu dia menghampiri Jihan tanpa bersuara. Dan saat sudah di belakang Jihan. Septian pun langsung memeluk istrinya, lalu menopangkan dagu di bahu sang istri. Jihan hanya tersenyum saat mendapat pelukan hangat dari suaminya. Septian."Sayang, sedang apa kamu disini, hm?" Tanya Septian. Dengan sesekali mengecup pundak Jihan."Aku sedang menikmati indahnya malam lihat lah bintang disana yang tak pernah lelah bersinar. seperti kamu yg tidak pernah mengeluh melindungi dan memenuhi kebutuhanku dan Nindya tanpa mengeluh," Jawab Jihan. Dengan senyuman termanisnya."Itu sudah k
Jihan dan Septian baru saja pulang dari rumah sakit. Mereka baru saja memeriksakan kehamilan Jihan. Nindya dia titipkan bersama Bi Tantri, karena mereka hanya pergi sebentar."Mama, Papa pelgi kok nggak aja Nindy sih," protes Nindya sambil cemberut."Maafin Mama ya sayang, tadi Mama sama Papa pergi ke dokter sebentar, mau aja Nindy tapi princessnya bunda sama ayah ini masih bobo," Ucap Jihan. Memberikan pengertian pada putrinya agar tidak marah."Ke doktel?" Tanya Nindya. Dengan wajah polosnya."Iya sayang, Papa sama Mama tadi ke dokter sebentar. Jadi bukan pergi jalan-jalan, kalau pergi jalan-jalan mana mungkin Nindy ditinggal." Kali ini Septian lah yang menjawab."Memang siapa yang sakit, Pa, Ma?""Gak ada yang sakit sayang, tapi Mama Nindy lagi ngandung adik buat Nindy. Katanya Nindy pengen punya adik, dan akhirnya Tuhan ngambulin keinginan Nindy untuk punya adik." Lalu
Hari pun terus berganti, tanpa terasa kini kehamilan Jihan sudah menginjak usia 7 bulan. Keluarga kecil mereka terlihat begitu bahagia, terlebih kini mereka berdua tengah menanti kelahiran anak kedua mereka, dan beruntunglah kehamilan kali Septian tidak diberi kesulitan dengan mengidam yang aneh-aneh, hanya Jihan sering merindukan suaminya itu. Karena terkadang Septian harus bertugas keluar kota."Mas.""Hm.""Berapa hari Mas ke Jogja?" Tanya Jihan sambil memperhatikan suaminya yang tengah bersiap-siap untuk pergi meeting di luar kota."Paling cuma 2 hari sayang. Kenapa hm?" Tanya Septian. Lalu menghampiri istrinya yang kini tengah menatapnya. Lalu dia berlutut dihadapan Jihan yang duduk di tepi ranjang."Aku tuh pengen ikut, Mas. Andai saja aku gak hamil, dan andai dokter gak larang aku buat berpergian jauh." Jihan terlihat berkaca-kaca, entah mengapa kini dia sangat cengeng dan selalu sa
Setelah Septian pergi keluar kota. Jihan dan Nindya pun tidur di kamar yang sama. Baru saja satu hari ditinggalkan Septian sehari. Jihan sudah sangat merindukan Suaminya itu. Terlebih belum ada kabar dari sang suami, mungkin Septian belum sampai ke Jogjakarta."Ma, papa udah telepon belum?" Tanya Nindya."Belum sayang, mungkin papa belum Sampai Jogja," Jawab Jihan.Rupanya putrinya pun sangat merindukan papanya. Jihan hanya bisa berdoa semoga suaminya selamat sampai ke tujuannya.Malam harinya Jihan dan Septian tengah asyik Video call. Tentu saja sang putri merecoki dengan berbagai pertanyaan dan dia merengek minta sang ayah cepat pulang. Dengan segala bujukan akhirnya Nindya pun setuju menunggu sang ayah pulang dua hari lagi"Nanti jangan lupa bawain kakak boneka Balbie yang ada lumah-lumahan nya ya Pa. Kakak mau oleh-oleh itu dali Jogja," celoteh Nindya."Disini juga ada
Setelah diruang keluarga menerima telepon itu, dan dari seberang sana terdengar seorang pria yang mengabarkan sesuatu dan itu membuat Jihan syok hingga jatuh tak sadarkan diri membuat bi Isah terkejut dan segera memanggil Aleta dan Kiara. Entah apa yang terjadi yang pasti kabar yang Jihan terima mungkin saja kabar buruk."Ada apa Bi?" Tanya Aleta. Saat melihat asistennya kembali lagi. Namun, kali ini dengan raut wajah khawatir."Itu Nyonya. Nyonya Jihan pingsan setelah menerima telepon," Jawab bi Isah dengan nafas yang masih terengah-engah karena tadi sedikit berlari ke ruang keluarga."Apa! Pingsan? Kok bisa, emang ada apa Bi kok, Jihan sampai pingsan?" Tanya Aleta. Dengan penuh kekhawatiran, lalu dia pun beranjak dari duduknya dan menuju ruang tamu. Diikuti oleh Kiara sambil memangku Nindya. Gadis itu pun merasa khawatir dengan keadaan kakak iparnya."Ya Tuhan, Jihan...!" Teriak Aleta. Yang melihat
Tiba-tiba suara ponsel Aleta berbunyi, saat melihat siapa yang memanggilnya. Aleta pun langsung mengangkatnya dan dia terkejut saat mendengar Kiara memberi tahu kalau Jihan mengamuk histeris, saat dia kembali teringat dengan suaminya yang mengalami kecelakaan. Dia memaksa untuk menemui suaminya itu, karena kondisinya yang memang tidak memungkinkan. Karena Jihan dan kandungannya yang memang dalam keadaan lemah, dan belum boleh terlalu banyak bergerak.Kedua orang tua Jihan dan juga sang nenek terlihat begitu khawatir dengan keadaan Jihan, meski sudah kembali tenang karena melihat sang putri yang juga menangis histeris saat melihat ibunya histeris seperti tadi. Namun, saat Kiara membawa Nindya kehadapan Jihan. Akhirnya wanita itu pun berhenti menangis dan mulai menenangkan putrinya yang tengah menangis tak kalah histeris darinya saat melihat ibunya menangis, agar tidak lagi Menangis.Sesampainya di ruang rawat Jihan. Keadaan kini sudah memba
Jihan baru saja sampai dirumah orang tuanya, namun saat akan masuk, dia sudah mendengar suara tangisan dari putri kecilnya. Dia tengah menangis minta untuk dipanggilkan mamanya."Gak mau, Kakak maunya mama pulang."Tangis Nindya makin menjadi saat sang nenek malah menggendong dan menenangkannya, dan itu membuat Sabrina kewalahan karena cucunya itu sangat susah untuk di bohongi."Ya ampun Nindy. Kamu gak boleh nakal dong sayang kalau Mama tinggal sama Oma," Ucap Jihan. Lalu menghampiri putrinya yang masih menangis, namun tangisannya terhenti saat mendengar suara Jihan."Mama." Nindya pun meronta minta diturunkan oleh sang nenek, dia berlari dan langsung memeluk perut sang mama yang memang sudah membesar. Sabrina hanya menggelengkan kepalanya, dia jadi teringat saat Jihan masih seusia Nindya, seperti itu lah dia tidak mau jauh darinya. Dan akan marah jika dia ditinggalkan dalam keadaan tidur dan Sabrina perg
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men