Pasca kejadian penyerangan yang dilakukan 3 perguruan aliran hitam yang menewaskan ratusan nyawa, Aji bersumpah akan menumpas dimanapun ada perguruan aliran hitam.
Dan kini selama perjalanan menuju gunung Merapi, kesempatan untuknya terbentang begitu luas. Sebab menurut informasi yang dia dapatkan selama di istana, ada sekitar 5 sampai 7 perguruan aliran hitam.
Namun berdasar dari pengalamannya, tidak semua aliran hitam itu memiliki sifat yang buruk, jadi dia masih tetap harus memilah mana perguruan ataupun pendekar yang tetap dibiarkan hidup dan mana yang harus dihabisi.
Hingga menjelang sore hari, sepasang pendekar itu terus melaju menyusuri jalanan setapak. Tidak jauh di depan mereka kira-kira 200 meter jauhnya, sebuah hutan membentang luas seolah hendak menghadang perjalanan mereka berdua. Tanpa ada rasa curiga dan takut sedikitpun, Aji memacu kuda hitam besar yang dia beri nama Sembrani, hingga mendekati bibir hutan.
Berbekal pengal
Sudah terlatihnya pandangan mata Aji di kegelapan, membuatnya bisa melihat beberapa sosok yang sedang berjalan melintas, dan berjarak sekitar 12 meter dari tempatnya bersama Ratih beristirahat.Meskipun tidak begitu jelas, tapi dia bisa memastikan jika ada 3 orang dari mereka yang sedang memanggul sesuatu, dan dia belum yakin apa yang sedang mereka bawa. Sedang dua orang lain membawa peti yang cukup besar"Hahaha ...! Malam ini kita akan berpesta besar Teman-teman."Suasana yang hening membuat suara itu terdengar jelas di telinga Aji. Dan untuk memastikan lebih jelas, Aji mengalirkan energinya ke dalam kedua bola matanya.Dari yang dilihatnya, ketiga orang itu masing-masing memanggul seorang wanita.Darahnya berdesir kuat melihat apa yang sedang tertangkap oleh kedua bola matanya. Aji bisa menduga jika ketiga wanita itu adalah korban kebiadaban para lelaki tersebut."Ratih, bangunlah!" ucap Aji pelan sambi
Sesampainya di dalam, suasana terlihat remang-remang. Beberapa lentera kecil yang tergantung di tiang, sedikit banyak membantu Aji melihat sekeliling untuk mencari keberadaan 3 orang gadis yang tadi di bawa masuk.Sejauh ini, Aji belum bisa memastikan apakah orang-orang itu gerombolan perampok atau dari perguruan aliram hitam. Tapi dia berasumsi dari peti yang mereka bawa, bahwa orang-orang itu adalah gerombolan perampok, sama seperti dirinya dulu.Lelaki tampan itu terus berjalan dengan santainya untuk menghindari kecurigaan. Sempat ada beberapa anggota yang berpapasan dengannya, tapi mereka seperti tidak menghiraukannya.Sebelum mendekati sebuah bangunan kecil yang terdapat di dalam kompleks tersebut, 3 orang lelaki tampak keluar dengan tawa lepas keluar dari bibir mereka.Aku segera menyembunyikan tubuhnya di balik bangunan lainnya yang gelap untuk menghindari pertemuan dengan ketiga lelaki itu."Hahaha ... Setelah ketua
"Sebentar, aku akan melepaskan ikatanmu," ucap Aji. Setelah menoleh sebenara ke arah pintu, lelaki tampan itupun membuka tali yang melilit di tangan dan kaki gadis itu. "Te-terima kasih, Tuan," ucap gadis itu pelan. Suaranya terdengar begitu parau seperti kebanyakan nangis. Aji mengangguk. "Cepat buka ikatan mereka berdua! Kalau bisa coba buat mereka sadar!" Aji bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu untuk melihat situasi di luar. Belum sempat dia memegang gagangnya, terdengar suara dari luar yang berasal dari tiga orang lelaki. "Sebentar lagi kita akan bisa menikmati tubuh para gadis itu, hahaha!" ucap seorang dari mereka. "Kemana para penjaga itu pergi?" tanya seorang lelaki satunya dengan nada terkejut. "Entahlah. Bukannya ketika kita tinggal tadi mereka masih berada di sini?" sahut temannya. "Sialan! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan para gadis itu, aku pastikan mereka bertiga akan mendapat huku
Selepas menurunkan gadis tersebut dari gendongannya, Aji mengajaknya menemui Ratih yang sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besarRatih menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas dua sosok yang sedang mengarah ke tempatnya bersembunyi. "Kakang?" ucapnya pelan.Wanita cantik itu keluar dari tempat persembunyiannya setelah memastikan bahwa yang datang adalah suaminya bersama seorang gadis yang masih begitu muda."Kau tunggu di sini bersama istriku! Aku akan menjemput dua gadis yang lainnya," kata Aji, setelah sudah berada di dekat Ratih."Ada berapa gadis di dalam, Kakang?" tanya Ratih."Sesuai yang kita lihat tadi, 3 orang," jawab Aji. Pandangannya tertuju ke arah pintu gerbang yang masih tertutup rapat."Kakang jemput mereka dulu. Kami akan menunggu di sini," Ratih meraih tangan gadis itu dan mengajaknya bersembunyi di balik pohon.Dalam satu tarikan napas Aji kembali melesat menuju pergurua
Aji menarik napas panjang dan menahannya di dada. Selepas itu pandangannya membidik orang-orang yang akan menjadi sasaran serangannya. Dia menyesuaikan jumlah korban yang dibidiknya dengan jumlah pecahan genting di tangannya.Tanpa terlihat oleh siapapun, pecahan genting di tangan Aji melesat dengan kecepatan tinggi menembus leher dan kepala orang-orang yang dibidiknya.Teriakan kesakitan dan pekik kematian menyayat seketika terdengar. Satu persatu anggota perguruan aliran hitam itu bertumbangan dan tergeletak di tanah tak bernyawa.Dari 20 pecahan genting yang dilesatkan Aji, 18 serangan mengenai sasaran dan 2 lainnya lainnya meleset dari sasaran karena target bergerak tepat, sebelum dua pecahan genting itu mengenai kepala dan leher mereka.Ketua perguruan aliran hitam itu hanya bisa menatap tak percaya dengan apa yang terjadi kepada 18 anggotanya yang bertumbangan di dekatnya. Dia sadar lawan yang dihadapi perguruannya saat ini b
Suronoto mendengus kesal. Dia tidak percaya jika setiap serangannya bisa dimentahkan dengan mudah oleh lawannya. Bahkan dia merasa seperti bertarung dengan gurunya sendiri yang sudah mengajarinya ilmu kanuragan.Yang membuatnya tidak bisa habis pikir adalah, dengan umur yang masih begitu muda, lawannya itu seolah seperti pendekar yang sudah sangat lama malang melintang di dunia persilatan. Itu terbukti dengan berbagai variasi serangannya yang bisa tertebak arah alurnya.Raut wajah Suronoto semakin terlihat mengkerut ketakutan. Seumur-umur bertarung, baru kali ini dia menemui lawan yang bahkan bisa dibilang sedkit lebih unggul dari pada gurunya."Dilihat dari raut wajahmu, sepertinya kau tidak pernah begitu dekat dengan kematian," ucap Aji sambil terus menghindari serangan Suronoto. "Dan aku pernah mengalaminya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali!"Suronoto hanya diam sambil terus bergerak menyerang. Dia kini semakin yakin jika lawanny
Keringat dingin terus mengucur keluar dari setiap pori-porinya kulit lelaki setengah baya itu. Kemanapun dia menghindar, pedang tajam selalu mengejar dan bermaksud mencabut nyawanya."Mari kita lihat sampai sampai sejauh mana kau menghindar!" ucap Aji. Tatapan matanya tajam seolah hendak menguliti Suronoto hidup-hidup.Suami Ratih itu berpikir untuk menyudahi pertarungan yang sedang dilakukannya. Keselamatan Ratih dan ketiga gadis yang berada di luar tiba-tiba terlintas di pikirannya.Dengan senyum yang penuh intimidasi, Aji mengalirkan energinya terpusat di kakinya untuk mempercepat gerakannya. Dan langkah angin dikerahkannya untuk mempercepat serangannya.Dalam satu tarikan napas, tubuh lelaki tampan itu melesat dengan kecepatan yang jauh di atas kecepatan Suronoto. Meski sedikit terlambat, lelaki setengah baya itu masih sempat menghindari serangan Aji, tapi kembali dia harus merasakan daging tubuhnya terkoyak. Bukan hanya
"Ternyata aku salah menilai dirimu, Orang tua. Lumayan juga, menurutku," ucap Aji sambil memberikan serangan berulang kali."Hanya lumayan kau bilang? Aku belum mengeluarkan semua kemampuanku!" bentak Wiro Sentiko setelah berhasil menghindari beberapa serangan yang mengincar tubuhnya. Dia sebenarnya dibuat terkejut dengan ucapan lawannya tersebut, sebab jika lelaki tampan itu menganggapnya lumayan, maka kemampuannya bisa jadi di atasnya.Aji kembali bergerak melakukan serangan dengan bertubi-tubi dan semakin cepat. Wiro sentiko terlihat kesulitan menyambut serangan yang datang kepadanya. Pola serangan Aji hampir tidak bisa ditebak dan gerakan serangannya mengundang decak kagum bagi siapapun yang melihatnya."Masih ada kesempatan kalau kau ingin mundur, Orang Tua!" cibir Aji setelah melihat napas Wiro Sentiko mulai memburu kencang."Jangan bermimpi, bajingan tengik!"Wiro Sentiko mengangkat tangannya, seketika belasan telapak tanga