Aji menatap dua prajurit yang masih menundukkan kepalanya. "Bagaimana dengan kalian berdua? Apa kalian mau ikut denganku atau mati di tanganku?"
Kedua prajurit itu menelan ludahnya. Sebenarnya mereka sudah sadar jika telah salah mendukung Pangeran Dananjaya. Dan mereka ingin memperbaiki kesalahannya dengan cara membantu Adipati Hanggareksa mempertahankan Kadipaten Tanjungrejo.
"kami berdua ikut dengan Tuan. Tolong berilah kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang telah kami lakukan," ucap seorang dari mereka.
"Baiklah. Aku memberi kalian kesempatan kedua. Buktikanlah bahwa kalian benar-benar ingin berubah menjadi lebih baik," kata Aji.
Lelaki tampan itu menghela napas berat, lalu berkata kepada Yoga. "Saat saat ini kita mengalami situasi yang rumit. Kita akan mengalami kesulitan untuk membedakan mana penduduk asli dan mana yang prajurit pendukung Pangeran Dananjaya. Dan satu-satunya cara ialah kita harus menekan kepala desa untuk member
Satrio mengangguk dan kemudian berjalan terlebih dahulu di depan. Aji dan Ratih serta Yoga, mengikuti di belakang mereka. Sedangkan dua anak buah Satria dan juga dua orang Teliksandi berjalan paling belakang. Dengan komposisi seperti itu, paling tidak jika ada pemeriksaan, maka depan dan belakang biasanya adalah yang didahulukan untuk diperiksa.Tidak butuh waktu lama, mereka akhirnya sampai di gapura masuk desa. Melihat datangnya 8 orang yang belum pernah mereka kenal, 6 orang laki-laki berperawakan kekar pun menghadang sambil memajukan tangannya."Berhenti! Apa tujuan kalian datang kemari?"Satria berjalan maju dan menunjukkan kan gambar mawar hitam yang ada di pergelangan tangannya kepada lelaki berperawakan kekar."Aku pengawal Pangeran Dananjaya. Kami baru saja sampai setelah menjemput kedua putra dan putri beliau. Pangeran berpesan agar membawa putra dan putrinya ke desa ini terlebih dahulu karena sebentar lagi penyerangan ak
"Apa sebelumnya Ki Ageng tahu jika ayahku adalah adik tiri Paman Wanajaya?" Aji bertanya balik.Ki Ageng menggeleng pelan. "Tuan Lodra yang memberitahuku, Pangeran.""Seperti itulah ayah merahasiakan aku dan adikku ini. Beliau tidak ingin keberadaan kami berdua diketahui khalayak ramai. Nanti kalau Paman Lodra datang kemari, Ki Ageng bisa bertanya kepadanya tentang aku dan adikku ini " Aji tersenyum hangat. Dalam hati dia tidak bisa menahan tawanya, karena sampai kapanpun Lodra tidak akan pernah muncul lagi ke dunia.Ratih tidak bisa menahan rasa kagumnya atas kecerdasan kekasihnya tersebut. Semua jawaban yang diberikan Aji begitu mengena dan tidak akan bisa diragukakan lagi oleh Ki Ageng. Selain itu ketenangan yang ditunjukan Aji juga semakin membuat jawabannya seolah-olah benar adanya."Oh iya, berapa jumlah pasukan ayah yang baru saja datang di desa ini, Ki? Kata Yoga, sekarang ini ada sekitar 700 sampai 800 orang prajurit di kadipaten," ta
Setelah berhasil mengejar pasukan Pangeran Dananjaya, Aji dan Ratih kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar."Ratih, kau tunggu di sini! Biar aku sendiri yang menghadang mereka," kata Aji sambil tetap mengawasi pergerakan lawan yang terus menjauh."Tidak! Aku ikut denganmu. Hidup mati kita tetap bersama-sama!" sahut Ratih."Bukan seperti itu. Saat ini situasinya berbeda. Kau tidak memakai penutup kepala dan juga kau sudah dikenali mereka. Jika ada yang berhasil selamat, maka rencana kita akan berantakan. Jadi tolong mengertilah!" Aji memandang wajah kekasihnya tersebut dengan lembut."Baiklah. Untuk kali ini aku tidak ikut, tapi besok aku akan memakai pakaian sama sepertimu, dan ikut bertarung bersamamu!"Aji menggangguk untuk menyenangkan hati kekasihnya tersebut. "Bawalah pedangku! Aku pinjam pedangmu sebentar." ucapnya sambil menyerahkan pedang kegelapan kepada Ratih.Gadis cantik tersebut memberikan pedangnya k
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kalau kita melawan pun akan percuma saja," tanya seorang dari mereka pelan."Entahlah, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Kemampuannya sangat jauh di atas kita," jawab seorang temannya, lalu kembali menelan ludahnya."Kita harus kembali ke desa untuk melaporkan penyerangan ini kepada Ki Ageng," timpal prajurit lainnya."Apa kau yakin bisa selamat sampai di desa? Sedangkan kau lihat sendiri, tadi dia membunuh belasan teman kita tanpa terlihat sama sekali," sahut prajurit di sebelahnya.Dengan tatapan mata yang begitu mengerikan, Aji berjalan maju selangkah demi selangkah. Sengaja dia tidak berjalan cepat, karena ingin menebarkan teror ketakutan dalam pikiran para prajurit yang tersisa.Tanpa diduga Aji, sekitar 40 prajurit itu tiba-tiba berlarian kembali ke desa. Dan itu berarti mereka akan melewati tempat Ratih bersembunyi di balik pohon.Tidak ingin nyawa kekasihnya dalam ba
Ki Ageng mengurut keningnya. Pikirannya melayang, tertuju kepada cerita kejadian pembantaian 300 prajurit yang terjadi di markas kecil dalam hutan."Apa itu saling berkaitan?" ucapnya pelan bertanya-tanya. Tatapannya tajam tertuju kepada sosok lelaki yang memberinya imformasi. "Apa tidak ada yang bertahan hidup untuk dimintai keterangan?""Tidak ada, Ki. Semuanya mati mengenaskan."Ki Ageng menghela napas berat. Bayang-bayang kegagalan rencana Pangeran Dananjaya tiba-tiba merasuki pikirannya. Rencana yang sudah tersusun rapi sejak 2 tahun belakangan itu terancam gagal jika pelaku pembantaian itu gagal diungkap."Apa mungkin dia?" tanya Ki Ageng dalam hati. Kembali bayangannya melayang jauh, dan kini tertuju kepada Aji yang mengaku sebagai putra dari pangeran Dananjaya."Darto, cepat kau pergi ke Sendang Biru! Coba kau lihat, apakah Pangeran masih berada di sana atau tidak!" perintah Ki Ageng"Siap, Ki. Sekarang juga aku ber
"Kalau rencana serangan itu kita percepat, kapan kira-kira waktu yang tepat menurut Guru?" tanya Pangeran Dananjaya. Pandangannya tertuju pada sosok tua yang sudah menjadi gurunya."Lusa malam menjelang pagi!" jawab Suryorojo singkat, dingin dan datar."Kenapa harus malam, Guru? Bukanlah kita bisa mengalami kesulitan sendiri jika menyerang dalam keadaan gelap?" Dahi Pangeran Dananjaya terlihat menebal."Itu hanya berlaku buat yang kita serang, Pangeran. Mereka tidak akan menyangka kita menyerang dan tidak punya persiapan menghadapi serangan kita."Pangeran Dananjaya mengangguk memahami ucapan gurunya. Dan dia juga membenarkan jika serangan menjelang pagi akan lebih efektif, karena sudah pasti lawan tidak akan siap dan masih bercumbu dengan mimpinya.Sementara itu, Darto yang diperintah Ki Ageng untuk melihat keberadaan Aji dan Ratih, akhirnya sampai ditempat yang dituju.Lelaki berkepala plontos itu kemudian mendekati Satrio dan
"Sudah jangan bicara lagi. Ketika aku bicara denganny, lihat ekspresinya baik-baik," ucap Ki Ageng pelan.Darto dan Trisno menganggukkan kepala. Setelah itu trisno berjalan mendekati pintu dan membukanya."Silahkan masuk, Pangeran," Trisno membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Aji untuk masuk ke dalam.Lelaki tampan itu mengayunkan langkahnya tegap, masuk ke dalam ruangan pribadi Ki Ageng.Lelaki tua yang juga kepala desa Sekar bagus tersebut kemudian berdiri, dan sedikit membungkukkan badannya memberi hormat kepada Aji. "Silahkan duduk, Pangeran."Aji tersenyum tipis sebelum meletakkan pantatnya di bantalan kursi. "Ki Ageng katanya mau bertemu denganku. Apa ada yang perlu dibicarakan?""Kata mereka berdua Pangeran juga ingin bicara dengan hamba. Kira-kira apa yang ingin Pangeran bicarakan dengan hamba?" Ki Ageng bertanya balik.Oh, itu ... aku mau bertanya, apakah ada kabar lanjutan dari ayah tenta
"Tampaknya Pangeran kecewa dengan keputusan Ki Ageng," ucap Trisno, selepas Aji pergi meninggalkan ruangan tersebut."Aku bingung harus bagaimana, Trisno? Pangeran bilang sendiri jika ayahnya meminta dia tetap di desa ini sampai penyerangan dilakukan. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada Pangeran, aku bisa mendapat masalah besar," jawab Ki Ageng lalu menghela napas berat."Terus bagaimana kecurigaan Ki Ageng terhadap Pangeran? Dari ekspresi yang ditunjukkannya, aku lihat tadi tidak menemukan sedikitpun ada kebohongan di wajahnya," sela Darto."Sebenarnya aku juga tidak melihat tanda-tanda kebohongan di wajahnya, tapi entah kenapa ada sesuatu yang janggal dalam pikiranku. Apa mungkin karena aku yang terlalu takut atau bagaimana aku tidak tahu." Ki Ageng berdiri lalu berjalan menuju sebuah lemari.Darto dan Trisno hanya melihat saja apa yang hendak dilakukan Ki Ageng.Lelaki tua itu membuka pintu lemari lalu mengambil sesuatu yang pa