Beberapa pakaian yang ku masukkan seolah masih terasa kosong dalam ransel. Sedari tadi pikiran ku masih hampa tanpa ada isi. Fahri baru saja siuman setelah pingsan selama kurang lebih satu jam lebih. Jika saja Fahri tidak bisa kuat apakah mungkin ku tinggalkan Andini?Anisa juga tidak bisa menahan tangisnya di depan Andini. Apa yang harus ku pilih saat ini? Baru kali ini kepergian ku terasa berat. Kejadian diluar dugaan cukup mengguncang rumah ini. Kedamaian di dalam rumah sangat sulit ditemukan. "Kak, makan lah. Setelah itu kakak bisa tidur,"ucap Andini membawakan sepiring nasi dengan kursi rodanya."Hah, aku akan memakan nanti,"ucapku menatapnya."Sudahi kebohonganmu itu, Kak. Apa Kakak juga berniat meninggalkan ku juga saat ini? Semalaman tidak berhenti wira-wiri mengurus semua hal tentang ku. Tanpa peduli diri sendiri. Makan dan istirahat lah. Kakak harus berangkat ke Surabaya,"ucap Andini membuatku menghela nafas panjang."Tapi ini cerita lain, Andini,"ucapku."Semua cerita kehi
Peluh menetes selama tur yang diberikan tidak membuatku sedikit merasa lengket. Belum lagi beberapa proses produksi yang menimbulkan aroma tidak sedap seperti amonia. Bukan lagi hal baru jika menemukan aroma kimia menyengat. Tapi akhirnya seluruh pakaian yang ku pakai berpengaruh."Apa dari kebijakan rutin maintenance membuat pengaruh berarti bagi produksi urea yang dihasilkan secara signifikan, Pak? Karena jika proses perbaikan dilakukan dalam jangka waktu relatif dekat akan berpengaruh pada biaya yang cukup membengkak. Lagipula jika efisiensinya masih berada di bawah ambang batas bukankah lebih baik menunda?"tanyaku mendengarkan penjelasan Wicitra."Tentu saja berpengaruh, Nona Gita. Proses produksi yang terjaga akan menjaga siklus keuangan. Sementara dengan adanya perbaikan dalam jangka waktu tersebut, tidak akan membuat biaya lebih membengkak dibandingkan mengganti peralatan. Dengan efisiensi peralatan yang selalu maksimal, maka proses produksi juga akan terjaga, Nona,"ucap Wicitr
Kepulan asap panas secangkir kopi masih bertahan menghantarkan sekitar. Hanya tersisa diriku sendiri di ruang makan menyusun agenda rencana yang akan ku lakukan disini. "Sendirian mulu, Git,"ucap Altezza menaruh secangkir kopi panasnya di depan ku."Ya, aku harus seperti apa,"ucapku tanpa menatapnya.Pria itu terdengar menghela nafas panjang sebelum akhirnya menambahkan satu sendok teh gula pada kopi milikku. Sontak membuatku mendongak."Nah, gitu dong. Masa orang ngomong dicuekin mulu,"ucap Altezza."Apa ada hal yang penting?"tanyaku membuatnya mengangguk pelan."Tidak ada. Kenapa dengan wajahmu yang begitu banyak masalah seperti itu?"tanya Altezza membuatku menghela nafas panjang."Aku tengah merenung sambil mengerjakan pekerjaan. Beberapa hari lalu, baru saja tangan ku gemetar menggendong Fatimah yang terbujur kaku. Tadi sore Rania menghubungi ku karena perlengkapannya habis. Entah mengapa aku jadi kehilangan kendali untuk membiarkannya? Aku selalu teringat Fatimah jika berkaitan
"Apa aku melupakan sesuatu?".Pertanyaan itu entah berapa kali sudah ku dengar dari gadis yang tengah memakai kacamata kuning. Bahkan dengan koper sebesar itu disertai beberapa ransel, apa dia berusaha kabur dari rumah? Bahkan aku hanya membawa sebuah ransel saja."Apa kamu mau pindah ke Jakarta, Nona Citra?"tanya Dhito.Tidak biasanya aku mendengar pria itu berkomentar. Apa melihat tingkah Citra adalah hal yang terlalu aneh sampai di komentari? Hah, ide Pak Wicitra berangkat lebih cepat tidak mengandung sisi positif sejauh ini. Selain memangkas jadwal delegasi, hal ini juga akan menyebabkan keributan.Celine dan Diana sudah berdiri begitu mendengar Dhito berkomentar. Mereka berdua cukup paham, apa yang akan meledak sebentar lagi. Aku hanya akan menghitung dalam hati saja detik-detiknya."Kamu sedang meledek? Beraninya kamu meledek perempuan. Pria macam apa kamu ini!".Benar, kan. "Kenapa kalian berdua harus berkelahi di tempat umum,"ucap Altezza lelah mendengarkan keduanya.Itu hany
Musik yang sedang mengalun sama sekali tidak memperbaiki mood ku. Rasa lelah ku kini menjadi kekesalan. Kenapa perempuan itu harus menyebut nama pria brengsek dengan lengkap? Awak media juga akan menulis bahwa seorang Dyah Anggita Anindyaswari adalah kekasih pria brengsek yang tidak ku ketahui asal usulnya.Pertemuan sebentar lagi. Tapi aku sendiri enggan bertemu satu pun awak media yang sedang ditahan Celine di luar. Hanya karena satu masalah menjadi runyam. Ada untungnya ponsel ku bermasalah bagian suaranya. Jadi aku tidak perlu repot mengangkat panggilan dari saudari ku. Mereka begitu heboh begitu mendengar kabar yang tersiar. Apa aku tidak bisa langsung ke konser saja? Melupakan pertemuan yang hanya dihadiri para direktur itu. Andai Dhito tidak menghubungi langsung untuk datang, aku tidak akan repot begini, kan. Melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8 malam membuatku acuh segera berdiri.Urusan pekerjaan jauh lebih penting dibandingkan pribadi. Begitu membuka pintu kamar
Dirga POVSeorang pria sedang menikmati malam usai berbelanja. Biasanya di sisinya akan ada tambahan belanja dari putrinya. Sayangnya keputusan untuk membuatnya belajar mandiri sudah dia putuskan. Andai saja dia meluangkan waktu untuk mendidik anak itu. Tidak mungkin anak itu akan menjadi begitu diluar kendali.Matanya melirik jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Saatnya untuk mengistirahatkan pikiran dan menyambut hari esok. Belum juga beranjak dari tempat, matanya menangkap sosok perempuan melintas di depan mata.Tidak mungkin matanya salah melihat. Tapi untuk apa perempuan itu berjalan di trotoar seperti orang gila begitu? Biasanya dia berdiri dengan dikelilingi pengawal pria bertubuh kekar. Mengabaikan komentar perempuan itu, pria itu mengambil langkah mendekatinya. "Kamu darimana?"tanyaku sontak membuat perempuan yang ditanyai menatap sempoyongan.Aku tidak sedang mengigau melihat dan mencium dari perempuan ini tercium bau alkohol? Apa dia habis mabuk untuk
Gita POVDengan setelan pakaian formal yang dibawakan Celine, saat ini aku sudah rapi untuk menghadapi babak baru selanjutnya dalam hidup. Sementara aku juga sudah mengganti pakaian milik Nabila. Gadis itu terus saja menolak untuk ku berikan pakaian pengganti. Namun bukan Gita jika tidak keras kepala.Altezza entah mengalami hal baik apa hingga bangun sepagi ini. Pria itu tengah asyik menyaksikan televisi bersama Aditya. Sementara bunyi peralatan masak dari dapur sudah membuatku tahu, siapa yang sedang ada di dapur. Pria itu sudah siap dengan seragamnya menikmati aroma masakan."Selamat pagi, Nona".Sapa pria itu ringan membuatku menarik senyum kecil sebelum beranjak mendekati beberapa masakan yang belum tersaji di piring. Aroma citrus segar segera menyapa indra penciuman ku begitu berdekatan."Kamu penggemar Tom Ford Neroli Portofino?"tanyaku membuatnya tergelak pelan."Apa aku akan membeli parfum semahal itu, Nona?"tanya Dirga membuatku mengingat sesuatu."Atau Issey Miyake L’eau D’
Cangkir yang sedari tadi hanya ku tatap tanpa berniat menyentuhnya. Ruangan yang telah di booking pria di depan ku menjadikannya sebuah pertemuan yang serius. Pertanyaan beruntun mengenai perusahaan dan semua jenisnya menyeret ke dalam pertanyaan yang rumit."Hanya itu saja yang ingin ku tanyakan. Apa kamu tidak ingin meminumnya?"tanya Dhito membuatku menggeleng pelan."Maaf, Pak. Tapi saya masih trauma dengan semua jenis minuman dalam pertemuan,"ucapku.Bayangan aku mabuk dan mengira Dirga membawa ku ke KUA masih sangat terekam jelas di kepala. Tapi hal itu tidak lebih buruk dari yang Citra lakukan pada pria di depan ku."Tentang yang terjadi padamu dan Nona Citra, semua hal itu diluar kendali ku. Maafkan aku,"ucap Dhito."Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah Anda lakukan, Pak. Karena bisa jadi sifat itu menjadi bumerang dan sasaran empuk mangsa,"ucapku mengingatkan."Jika bisa memilih kelahiran, aku lebih memilih menjadi sosok biasa daripada posisi ku saat ini, Nona
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah