Cangkir yang sedari tadi hanya ku tatap tanpa berniat menyentuhnya. Ruangan yang telah di booking pria di depan ku menjadikannya sebuah pertemuan yang serius. Pertanyaan beruntun mengenai perusahaan dan semua jenisnya menyeret ke dalam pertanyaan yang rumit."Hanya itu saja yang ingin ku tanyakan. Apa kamu tidak ingin meminumnya?"tanya Dhito membuatku menggeleng pelan."Maaf, Pak. Tapi saya masih trauma dengan semua jenis minuman dalam pertemuan,"ucapku.Bayangan aku mabuk dan mengira Dirga membawa ku ke KUA masih sangat terekam jelas di kepala. Tapi hal itu tidak lebih buruk dari yang Citra lakukan pada pria di depan ku."Tentang yang terjadi padamu dan Nona Citra, semua hal itu diluar kendali ku. Maafkan aku,"ucap Dhito."Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah Anda lakukan, Pak. Karena bisa jadi sifat itu menjadi bumerang dan sasaran empuk mangsa,"ucapku mengingatkan."Jika bisa memilih kelahiran, aku lebih memilih menjadi sosok biasa daripada posisi ku saat ini, Nona
Mataku memicing menatap perempuan yang asyik menaikkan sebelah alisnya misterius. Biasanya berita bahagia belum tentu bahagia seperti yang ku pikirkan. Aku harus menerka sesuatu yang buruk dahulu."Kamu mengerjai seniormu?"."Aku tidak lagi seorang pramugari rendahan". "Pilot penerbangan terakhirmu tampan?"."Heuh, dia hanyalah mantan yang masih memuja ku"."Akh, aku tidak mau berpikir keras. Katakan, apa hal yang begitu bahagia sampai membuatmu seperti kuntilanak disini,"ucapku menyerah tidak mau terlalu berekspektasi."Kau tau perempuan gila yang menyirammu jus tomat. Istrinya Letnan dua Raihan, pria rendahan yang tidak bisa memperjuangkan restunya untuk memilikimu,"ucap Azhara penuh dengan penekanan saat mengucap rendahan.Entah mengapa mendengar nama itu membuatku ingin tertawa sejenak. Ingatan ku saat wanita paruh baya menjambak ku keluar rumahnya karena dinilai tidak punya harga diri dan asal usul yang jelas. Rasa sakit di akar kepala ku mungkin bisa hilang dalam dua hari. Tapi
Jas yang sama dengan yang dipakaikan Dirga pagi ini melekat dengan apik di tubuh ku. Aku menatap tampilan ku di cermin merapikan jilbab yang terlihat kusut di bagian atasnya. Sentuhan make up tipis Azhara membuat wajahku terlihat lebih memukau. Akh ya, andai gadis itu ada malam ini.Dia harus terbang ke Pekanbaru dan kembali besok pagi ke Jakarta. Sedangkan esok hari aku sudah kembali. Aku tidak tau akan kemana berdasarkan keputusan terbaru. Entah perjanjian kerja sama itu dilanjutkan atau tidak. Tidak ada sangkut pautnya diriku dengan itu. "Malam ini kamu terlihat berbeda, Git,"ucap Altezza sengaja singgah ke kamar ku terlebih dahulu."Apa kamu sedang menguji coba gombalan mu untuk perempuan diluar sana?"tanyaku membuatnya tergelak."Aku hanya mengatakan saja. Perjanjian kerja sana itu tampaknya berlanjut. Melihat Pak Wicitra bahkan meminta tolong memberi tahu keberangkatan pesawat besok jam 9 pagi. Aku merasa lebih damai di Petrokimia,"ucap Altezza membuatku berbalik menatapnya."E
Dirga POV Aditya hanya melenguh sabar mendengar ocehan ku seperti kereta api. Andai dia tidak melupakan makan karena mengurus kegiatan pagi ini, tidak mungkin dirinya akan masuk rumah sakit. GERD memang sebuah penyakit yang menyebalkan bagi semua orang. Yah, ku akui penyakit ini sedikit membuatku teringat pada gadis itu. Perempuan muda terpelajar itu meninggalkan kesan sejak dia memucat karena GERD. Bukan lagi waktunya bagi ku untuk jatuh cinta. Aku sudah cukup memiliki Riana dalam hidup.Drrt Nah, dia tengah merindukan ku. Deretan nama sebuah instansi pendidikan agama membuatku begitu tentram. "Assalamu'alaikum, Ayah". Ucapannya sudah tidak lagi seperti toak yang begitu mengganggu. Dia sepertinya sudah tumbuh besar disana."Wa'alaikumussalam, sayang. Ada yang mengganggumu malam ini? Sudah sebulan ini kamu tidak menghubungi Ayah,"ucapku."Hei, Ayah. Aku bukan pacarmu, jadi jangan panggil aku sayang begitu. Salah Ayah, bukan sebulan tapi 3 bulan. Untung saja pacar Ayah yang marah-
Gita POV Mataku mengerjap sesaat merasakan hangatnya selimut yang membungkus tubuh. Rasa nyeri bekas jahitan operasi itu masih terasa begitu menyayat. Luka yang mengenai punggung membuat tubuh ku pegal karena berbaring miring seperti ini. Telinga ku yang secara sadar menangkap bunyi musik keroncong. Heuh, apa ini efek bius yang belum kunjung menghilang? Kenapa aku mendengar musik keroncong seolah Dirga sedang ada disini? Apa otak ku menjadi bermasalah? Eh, tapi kan bukan kepala yang terkena tembakan. Mataku melirik seorang pria yang sedang membaca koran di sofa. "Kamu ngapain disini?"tanyaku menyentuh dada ku terasa nyeri merambat ke punggung.Bahkan sedikit tenaga saja, seluruh tubuh ku langsung sakit. Mengenaskan sekali diriku saat ini hanya bisa berbicara dengan pelan. "Setelah sakitnya hilang baru bertanya yang aneh-aneh. Sekarang beristirahat saja dulu. Apa kamu mau makan? Dokter mengatakan harus makan yang lembut dulu,"ucap Dirga menaruh korannya."Aku tidak mau makan,"ucapk
Usapan lembut di kepala membuatku membuka mata perlahan. Menampilkan Dirga sudah berada di depan mata. Pria itu masih mengenakan seragam yang sama membawa sepiring bubur dan air. Hanya saja, sekarang ada beberapa butir obat sebagai tambahan."Ayo makan siang dulu,"ucap Dirga membuatku menghela nafas panjang."Aku tidak pernah makan siang,"ucapku jujur kembali menutup mata. "Git, jangan membuatku memaksa makan seperti tadi pagi,"ucap Dirga. "Kamu tidak perlu melakukannya, Dirga. Bukankah kita hanya dua orang asing,"ucapku.Sontak pria itu menurunkan pembatas ranjang memaksa diriku untuk duduk. Meskipun dia memaksa, pria itu masih melakukannya dengan hati-hati. Dia hanya diam tanpa bersuara membuatku mengikuti diamnya."Kamu sudah makan siang?"tanyaku sebelum dirinya menyuapkan bubur. "Aku akan makan nanti,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih sendok menyuapkan padanya."Kalau kamu makan, aku juga makan. Aku tidak pernah makan siang dan aku tidak mau membuat orang lain terkena
Author POV Gita hanya menikmati makanan hambar tanpa kata. Dirga pun mengurusnya seperti biasa tanpa mengatakan apapun. Mereka saling diam satu sama lain setelah kejadian 3 hari lalu. Lagian, siapa yang nggak kesal kalau dipermainkan? Apa rasa kecewanya benar? Atau itu hanya kesalahannya karena terlalu berharap. Pikiran itu masih berputar di kepala Gita. Sementara Dirga sedang berperang batin ingin memulai kata. Selalu datang berkunjung dengan dinginnya gadis itu terasa sangat berbeda. Karena dirinya pun belum siap mendengar penolakan lamarannya. Katakan dia pengecut, tapi sesuatu terkadang lebih baik tidak tahu."Nona,"ucap Dirga membuka suara menguatkan tekad.Pria itu cukup menyadari, Gita sama keras kepala sama sepertinya. Jika mereka berdua terus diam, Dirga khawatir perempuan itu akan kembali menyembunyikan sesuatu jika jauh dari pandangan. "Luka ku sudah mulai mengering. Minta perawat melepas kateter. Aku bisa berjalan ke kamar mandi sendiri meskipun belum disarankan berbari
Gita POV Ruangan rawat inap ku seolah meja persidangan. Ibu benar-benar marah dan kecewa padaku. Tapi memang semuanya hanya salah paham. Aku sering berbincang hanya berdua bersama rekan kerja ku. Bahkan Altezza sendiri sering ku bawa pulang. Mereka tidak memberikan protes."Apa Altezza yang mengatakan semua ini pada Ibu?"tanyaku menerka."Apa pentingnya itu, Nak? Kami kesini untuk membuat kejutan. Tapi malah melihat pemandangan seperti itu. Dengar, ada sebuah lamaran baik yang datang pada Ibu. Awalnya Ibu berpikir untuk menolak, tapi tidak ada salahnya bertanya padamu. Terlebih setelah apa yang Ibu lihat hari ini,"ucap Ibu.Cih, siapa yang melamar ku lewat orang tua tanpa mengabarkan dulu? Entah apa yang membuat keduanya melepas permintaan untuk menolak semua pria. Bukannya sombong, aku tidak mau ada pernikahan paksaan. Hidup ku sudah keras sejak keluar dari masa SMA. "Aku tidak akan menerimanya, Bu,"ucapku final."Dan terus berduaan seperti tadi bersama Ayahnya Ina?"tanya Ibu membu
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah