Gita POVDengan setelan pakaian formal yang dibawakan Celine, saat ini aku sudah rapi untuk menghadapi babak baru selanjutnya dalam hidup. Sementara aku juga sudah mengganti pakaian milik Nabila. Gadis itu terus saja menolak untuk ku berikan pakaian pengganti. Namun bukan Gita jika tidak keras kepala.Altezza entah mengalami hal baik apa hingga bangun sepagi ini. Pria itu tengah asyik menyaksikan televisi bersama Aditya. Sementara bunyi peralatan masak dari dapur sudah membuatku tahu, siapa yang sedang ada di dapur. Pria itu sudah siap dengan seragamnya menikmati aroma masakan."Selamat pagi, Nona".Sapa pria itu ringan membuatku menarik senyum kecil sebelum beranjak mendekati beberapa masakan yang belum tersaji di piring. Aroma citrus segar segera menyapa indra penciuman ku begitu berdekatan."Kamu penggemar Tom Ford Neroli Portofino?"tanyaku membuatnya tergelak pelan."Apa aku akan membeli parfum semahal itu, Nona?"tanya Dirga membuatku mengingat sesuatu."Atau Issey Miyake L’eau D’
Cangkir yang sedari tadi hanya ku tatap tanpa berniat menyentuhnya. Ruangan yang telah di booking pria di depan ku menjadikannya sebuah pertemuan yang serius. Pertanyaan beruntun mengenai perusahaan dan semua jenisnya menyeret ke dalam pertanyaan yang rumit."Hanya itu saja yang ingin ku tanyakan. Apa kamu tidak ingin meminumnya?"tanya Dhito membuatku menggeleng pelan."Maaf, Pak. Tapi saya masih trauma dengan semua jenis minuman dalam pertemuan,"ucapku.Bayangan aku mabuk dan mengira Dirga membawa ku ke KUA masih sangat terekam jelas di kepala. Tapi hal itu tidak lebih buruk dari yang Citra lakukan pada pria di depan ku."Tentang yang terjadi padamu dan Nona Citra, semua hal itu diluar kendali ku. Maafkan aku,"ucap Dhito."Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah Anda lakukan, Pak. Karena bisa jadi sifat itu menjadi bumerang dan sasaran empuk mangsa,"ucapku mengingatkan."Jika bisa memilih kelahiran, aku lebih memilih menjadi sosok biasa daripada posisi ku saat ini, Nona
Mataku memicing menatap perempuan yang asyik menaikkan sebelah alisnya misterius. Biasanya berita bahagia belum tentu bahagia seperti yang ku pikirkan. Aku harus menerka sesuatu yang buruk dahulu."Kamu mengerjai seniormu?"."Aku tidak lagi seorang pramugari rendahan". "Pilot penerbangan terakhirmu tampan?"."Heuh, dia hanyalah mantan yang masih memuja ku"."Akh, aku tidak mau berpikir keras. Katakan, apa hal yang begitu bahagia sampai membuatmu seperti kuntilanak disini,"ucapku menyerah tidak mau terlalu berekspektasi."Kau tau perempuan gila yang menyirammu jus tomat. Istrinya Letnan dua Raihan, pria rendahan yang tidak bisa memperjuangkan restunya untuk memilikimu,"ucap Azhara penuh dengan penekanan saat mengucap rendahan.Entah mengapa mendengar nama itu membuatku ingin tertawa sejenak. Ingatan ku saat wanita paruh baya menjambak ku keluar rumahnya karena dinilai tidak punya harga diri dan asal usul yang jelas. Rasa sakit di akar kepala ku mungkin bisa hilang dalam dua hari. Tapi
Jas yang sama dengan yang dipakaikan Dirga pagi ini melekat dengan apik di tubuh ku. Aku menatap tampilan ku di cermin merapikan jilbab yang terlihat kusut di bagian atasnya. Sentuhan make up tipis Azhara membuat wajahku terlihat lebih memukau. Akh ya, andai gadis itu ada malam ini.Dia harus terbang ke Pekanbaru dan kembali besok pagi ke Jakarta. Sedangkan esok hari aku sudah kembali. Aku tidak tau akan kemana berdasarkan keputusan terbaru. Entah perjanjian kerja sama itu dilanjutkan atau tidak. Tidak ada sangkut pautnya diriku dengan itu. "Malam ini kamu terlihat berbeda, Git,"ucap Altezza sengaja singgah ke kamar ku terlebih dahulu."Apa kamu sedang menguji coba gombalan mu untuk perempuan diluar sana?"tanyaku membuatnya tergelak."Aku hanya mengatakan saja. Perjanjian kerja sana itu tampaknya berlanjut. Melihat Pak Wicitra bahkan meminta tolong memberi tahu keberangkatan pesawat besok jam 9 pagi. Aku merasa lebih damai di Petrokimia,"ucap Altezza membuatku berbalik menatapnya."E
Dirga POV Aditya hanya melenguh sabar mendengar ocehan ku seperti kereta api. Andai dia tidak melupakan makan karena mengurus kegiatan pagi ini, tidak mungkin dirinya akan masuk rumah sakit. GERD memang sebuah penyakit yang menyebalkan bagi semua orang. Yah, ku akui penyakit ini sedikit membuatku teringat pada gadis itu. Perempuan muda terpelajar itu meninggalkan kesan sejak dia memucat karena GERD. Bukan lagi waktunya bagi ku untuk jatuh cinta. Aku sudah cukup memiliki Riana dalam hidup.Drrt Nah, dia tengah merindukan ku. Deretan nama sebuah instansi pendidikan agama membuatku begitu tentram. "Assalamu'alaikum, Ayah". Ucapannya sudah tidak lagi seperti toak yang begitu mengganggu. Dia sepertinya sudah tumbuh besar disana."Wa'alaikumussalam, sayang. Ada yang mengganggumu malam ini? Sudah sebulan ini kamu tidak menghubungi Ayah,"ucapku."Hei, Ayah. Aku bukan pacarmu, jadi jangan panggil aku sayang begitu. Salah Ayah, bukan sebulan tapi 3 bulan. Untung saja pacar Ayah yang marah-
Gita POV Mataku mengerjap sesaat merasakan hangatnya selimut yang membungkus tubuh. Rasa nyeri bekas jahitan operasi itu masih terasa begitu menyayat. Luka yang mengenai punggung membuat tubuh ku pegal karena berbaring miring seperti ini. Telinga ku yang secara sadar menangkap bunyi musik keroncong. Heuh, apa ini efek bius yang belum kunjung menghilang? Kenapa aku mendengar musik keroncong seolah Dirga sedang ada disini? Apa otak ku menjadi bermasalah? Eh, tapi kan bukan kepala yang terkena tembakan. Mataku melirik seorang pria yang sedang membaca koran di sofa. "Kamu ngapain disini?"tanyaku menyentuh dada ku terasa nyeri merambat ke punggung.Bahkan sedikit tenaga saja, seluruh tubuh ku langsung sakit. Mengenaskan sekali diriku saat ini hanya bisa berbicara dengan pelan. "Setelah sakitnya hilang baru bertanya yang aneh-aneh. Sekarang beristirahat saja dulu. Apa kamu mau makan? Dokter mengatakan harus makan yang lembut dulu,"ucap Dirga menaruh korannya."Aku tidak mau makan,"ucapk
Usapan lembut di kepala membuatku membuka mata perlahan. Menampilkan Dirga sudah berada di depan mata. Pria itu masih mengenakan seragam yang sama membawa sepiring bubur dan air. Hanya saja, sekarang ada beberapa butir obat sebagai tambahan."Ayo makan siang dulu,"ucap Dirga membuatku menghela nafas panjang."Aku tidak pernah makan siang,"ucapku jujur kembali menutup mata. "Git, jangan membuatku memaksa makan seperti tadi pagi,"ucap Dirga. "Kamu tidak perlu melakukannya, Dirga. Bukankah kita hanya dua orang asing,"ucapku.Sontak pria itu menurunkan pembatas ranjang memaksa diriku untuk duduk. Meskipun dia memaksa, pria itu masih melakukannya dengan hati-hati. Dia hanya diam tanpa bersuara membuatku mengikuti diamnya."Kamu sudah makan siang?"tanyaku sebelum dirinya menyuapkan bubur. "Aku akan makan nanti,"ucap Dirga membuatku segera mengambil alih sendok menyuapkan padanya."Kalau kamu makan, aku juga makan. Aku tidak pernah makan siang dan aku tidak mau membuat orang lain terkena
Author POV Gita hanya menikmati makanan hambar tanpa kata. Dirga pun mengurusnya seperti biasa tanpa mengatakan apapun. Mereka saling diam satu sama lain setelah kejadian 3 hari lalu. Lagian, siapa yang nggak kesal kalau dipermainkan? Apa rasa kecewanya benar? Atau itu hanya kesalahannya karena terlalu berharap. Pikiran itu masih berputar di kepala Gita. Sementara Dirga sedang berperang batin ingin memulai kata. Selalu datang berkunjung dengan dinginnya gadis itu terasa sangat berbeda. Karena dirinya pun belum siap mendengar penolakan lamarannya. Katakan dia pengecut, tapi sesuatu terkadang lebih baik tidak tahu."Nona,"ucap Dirga membuka suara menguatkan tekad.Pria itu cukup menyadari, Gita sama keras kepala sama sepertinya. Jika mereka berdua terus diam, Dirga khawatir perempuan itu akan kembali menyembunyikan sesuatu jika jauh dari pandangan. "Luka ku sudah mulai mengering. Minta perawat melepas kateter. Aku bisa berjalan ke kamar mandi sendiri meskipun belum disarankan berbari