Aleeya sedang berdiri di depan cermin yang memperlihatkan pantulan dirinya secara menyeluruh. Ia tampak cantik menggunakan kemeja berwarna merah muda dan rok sepan pendek berwarna putih. Rambut panjangnya ia biarkan terurai. Tidak lupa riasan tipis pada wajah agar terkesan natural.
"Aku sudah tidak sabar bertemu dengan Dave," gumam Aleeya, tersenyum.
Ia sangat merindukan kekasihnya. Sudah seminggu lebih mereka tidak bertemu. Dave juga tidak pernah menghubungi atau membalas pesan-pesan Aleeya.
Tok! Tok! Tok!
Aleeya membuang nafas pelan sambil melirik ke pintu yang di ketuk. Ia berjalan santai menuju pintu sambil menenteng hand bag sewarna dengan baju.
Krek! Pintu terbuka setelah Aleeya menurunkan handel.
"Aku sudah membuat sarapan. Kamu makan dulu, baru kita berangkat," pinta Adrian yang sudah rapi dengan setelan berwarna dongker.
Aleeya tertegun melihat Adrian dengan penampilan berbeda. Kalau boleh jujur, Adrian jauh lebih segalanya ketimbang Dave, tetapi yang namanya perasaan tidak dapat diatur. Hari ini ia masih mencintai Dave, mungkin nanti ia bisa saja mencintai Adrian.
'Aleeya, Aleeya. Kamu pikirin apa, sih,’ batin Aleeya sambil menepuk jidat.
"Ale … kamu enggak mau sarapan?!" seru Adrian dari meja makan.
"Ya, Paman, bentar! Ale lupa sesuatu!" balas Aleeya berbohong.
Aleeya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Tidak tahu kenapa ia jadi canggung jika berdekatan dengan Adrian.
"Paman, Ale sudah telat! Ale makan di kantin saja." Aleeya berjalan sambil melihat ke arloji untuk menghindari tatapan Adrian.
"Habiskan susunya saja, masih hangat." Adrian memberikan segelas susu putih. Hanya beberapa detik gelas dalam genggaman Aleeya sudah kosong.
"Jika sudah pulang hubungi aku! Aku akan menjemputmu." Adrian berjalan mendahului Aleeya.
"Tidak usah, Paman. Ale bisa pulang sendiri," balas Aleeya, mengikuti langkah Adrian dari belakang. Jarak rumah sakit ke apartemen hanya memakan waktu sepuluh menit jika menggunakan kendaraan, dan lima belas menit jika berjalan kaki.
"Aku memberi perintah, bukan pertanyaan!" tegas Adrian sambil menghentikan langkahnya.
Bukh! Aleeya meringis, memegangi jidat yang terasa perih akibat menabrak sesuatu. Ia mendongak menatap Adrian yang sudah berbalik badan menghadapnya.
"Makanya jangan jalan di belakang! Sudah tahu pendek. Memang kamu bodyguard saya!" Adrian memberi penekanan di setiap ucapannya.
Aleeya memelototkan kedua matanya. Bisa-bisanya Adrian memarahi dirinya. Jelas-jelas dia yang berhenti mendadak. Memang dia pikir lagi di lampu merah jalan raya! Terus apa tadi dia bilang, pendek? Hai, Mas! Situnya aja yang ketinggian! Aleeya memasang wajah marah, tetapi malah membuatnya terlihat menggemaskan.
"Kalau tidak ingin telat, lebih baik jalan sekarang!" Adrian berbalik badan dan berjalan meninggalkan Aleeya yang semakin meradang. Adrian juga tersenyum lebar tanpa sepengetahuan Aleeya.
**
"Dave akan mengakhiri hubungan dengannya."
"Jangan! Papah masih membutuhkan dia."
"Untuk apa, Pah?" Dave mengernyitkan kening.
"Menghancurkan hidupnya."
"Pah, untuk apa lagi kita menyakitinya?! Apa kepergian ayahnya belum cukup untuk Papah?!" Dave berdiri dengan tangan bertumpu pada meja. Pandangannya tertuju pada ayahnya yang berdiri menghadap jendela.
"Dia harus menebus semua yang sudah terjadi lima tahun lalu, Dave," ucap Bagas sambil menatap ke luar. Ingatannya menerawang pada kejadian yang menewaskan istri dan putri semata wayangnya.
"Tapi Pah, dia juga korban," sanggah Dave.
"Korban yang selamat dan hidup tanpa rasa bersalah!" timpal Bagas dengan penekanan.
"Gadis itu kehilangan ingatannya setelah kecelakaan," balas Dave.
"Davendra! Jangan membantah! Kalau kamu masih ingin hidup tenang bersama istrimu, lakukan perintah Papah!" bentak Bagas.
Dave sangat membenci situasi seperti ini. Ia sadar dirinya bukan siapa-siapa tanpa sang Ayah. Hal itu membuat dirinya selalu tunduk pada perintah ayahnya, apalagi jika sudah menyangkut sang istri. Ayahnya bisa berbuat apa saja dengan kekuasaan yang dimilikinya.
"Ingat! Hancurkan hidupnya!" perintah Bagas sebelum meninggalkan Dave dalam ruangan.
Brak! Pintu kaca itu tertutup dengan sangat keras hingga menimbulkan getaran.
"Akhh … berengsek!!" jerit Dave.
Dave tidak lagi mengenali sosok ayahnya yang sekarang. Ayahnya benar-benar berubah setelah kepergian mama dan adik perempuannya dalam kecelakaan tragis.
Krek!
"Kak, Dave …."
Dave menoleh ke sumber suara yang terdengar sangat lirih. Di ambang pintu Aleeya berdiri, matanya sembab dengan berderai air mata.
"Aleeya, kamu kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Dave yang terkejut dengan kehadiran Aleeya. Ia bergegas mendekati Aleeya.
"Stop! Jangan mendekat!" jerit Aleeya sambil mengulurkan tangan.
"Ada apa Aleeya?" Dave tetap mendekati Aleeya yang menentangnya.
"Gue bilang jangan mendekat!!" bentak Aleeya.
"Kenapa?!" Dave merasa panik hingga nada bicaranya meninggi.
"Elo jahat, Dave! Kalian Penjahat! Gue denger semua obrolan lo dengan Tuan Bagas!" tutur Aleeya, "Kenapa kalian jahat sama gue? Kenapa, Dave? Hiks … hiks," lanjut Aleeya dengan terisak.
"Aleeya, aku bisa jelasin. Kita bisa bicarain ini baik-baik, oke?" ajak Dave.
"Enggak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas, aku mendengarnya," balas Aleeya sembari menggelengkan kepalanya.
"Aku minta maaf, aku sa—"
"Cukup!!" pekik Aleeya dengan mata terpejam, "Apa yang terjadi lima tahun lalu, Dave? Kenapa kalian ingin membalas semua padaku?" tanya Aleeya dengan suara bergetar. Ia mencoba mengingat lima tahun ke belakang, tetapi tidak ada peristiwa yang janggal.
"Tidak ada Aleeya, kamu hanya salah paham," jawab Dave dengan lembut. Perlahan ia mendekati Aleeya.
HubunganDave dengan Aleeya memang hanya sebagian dari rencana. Namun, perasaan itu begitu nyata, dan Dave akui bahwa hati Dave telah jatuh pada Aleeya.
"Apa benar, kau sudah menikah?" tanya Aleeya yang sebenarnya lebih mengusik pikirannya saat ini.
Hening beberapa saat sebelum Dave menjawab, "Maafkan aku Aleeya." Dave merengkuh tubuh Aleeya. "Maafkan aku," ucap Dave yang semakin mempererat pelukannya.
Aleeya membekap mulut, tubuhnya bergetar hebat akibat isak tangis yang semakin menjadi. Pengakuan Dave membuat hati Aleeya tersayat, hingga detak jantung seakan ikut berhenti. Aleeya masih belum percaya, pria yang sangat ia cintai, ia kenal baik, dan ia percayai ternyata duri dalam hubungan mereka. Dave sang kekasih adalah pria brengsek yang pernah Aleeya kenal. Bagaimana semua bisa terjadi selama tiga tahun ini? Mengapa ia tidak pernah curiga sama sekali dengan kejahatan Dave? Yah, Aleeya merasa telah di butakan dengan cinta. Apa yang terjadi? Aleeya terus bertanya dalam benak.
Aleeya menghentakkan tubuh menjauh dari Dave. Namun, pelukan Dave sangat erat hingga tenaga kecil Aleeya tidak berguna.
"Lepasin gue!" jerit Aleeya.
Dave yang meletakan kepala di atas kepala Aleeya, menggeleng hingga Aleeya bisa merasakan gerakan itu.
"Aku mohon Aleeya, tolong kasih aku kesempatan untuk menjelaskan apa yang tidak kamu ketahui," isak Dave.
Dave yang berencana mengakhiri hubungan mereka. Ternyata tidak mampu melepaskan Aleeya begitu saja, ada rasa sakit yang teramat dalam saat melihat Aleeya menangis. Bayangan Aleeya yang akan meninggalkan Dave membuat ia takut kehilangan Aleeya.
"Lepas!!" hentak Aleeya, memberontak dalam dekapan Dave.
"Enggak, Aleeya, aku mohon."
"Please. Aku benar-benar mencintaimu, Aleeya," lirih Dave dengan suara parau.
Dalam pelukan Dave, Aleeya dapat merasakan tubuh pria itu sedikit bergetar akibat tangisan. Ia juga dapat mendengar detak jantung Dave tidak dalam kondisi normal.
"Aleeya."
Aleeya memejamkan mata dan cairan bening itu lolos begitu saja, ketika seseorang memanggil namanya.
Aleeya mendorong tubuh Dave. Kali ini Dave menuruti Aleeya, ia tidak lagi menahan Aleeya berada dalam dekapan. "Paman …." Aleeya memutar tubuh yang masih terkejut. "Pulang!" tegas Adrian. Adrian menjadi saksi perseteruan antara Aleeya dan Dave. Susah payah ia menahan emosi untuk tidak menghajar Dave saat ini juga. Padahal ia bisa saja melakukan tindakan di luar batas pada Dave, jika saja tidak ada Aleeya. Tidak sia-sia ia mencari keberadaan Aleeya untuk mengantarkan barang milik Aleeya yang tertinggal. "Kemari!" pinta Adrian yang masih berdiri tegap di ambang pintu dengan kedua tangan ia masukan dalam saku celana. Aleeya menunduk, perlahan ia berjalan menuju Adrian. Sadar tidak memiliki alasan untuk tetap berada di sini dan Adrian satu-satunya tempat ia kembali untuk melanjutkan hidup. "Aleeya …," lirih Dave. Panggilan itu m
Orang-orang berlari dengan histeris, saat menyadari diri mereka dalam bahaya. "Paman," bisik Aleeya sambil mendongak menatap Adrian yang sedang mendekapnya. Adrian memutar tubuh mereka, sehingga tubuh Aleeya berada tepat di pintu bagasi mobil yang memiliki desain cukup besar untuk berlindung. Adrian tahu, serangan itu berasal dari gedung rumah sakit yang berada tepat di belakang mereka, namun tidak tahu pasti di mana posisi penyerang itu. "Aleeya, apa kau takut?" tanya Adrian sambil membawa tubuh mereka untuk merunduk. Dor ! Dor ! Adrian menggerakan tangannya pada beberapa orang yang juga berada di balik mobil, berdekatan dengan dirinya. Adrian memberi isyarat agar mereka yang terjebak di halaman parkir untuk terus menunduk dan tetap tenang. "Aleeya," panggil Adria
Di kursi mobil dengan pintu terbuka, Aleeya duduk melamun. Pikirannya benar-benar kacau setelah kejadian barusan. Antara memikirkan Dave yang telah mengkhianatinya dan Adrian yang sedang mempertaruhkan nyawa di dalam gedung rumah sakit. "Aleeya …" Aleeya tersentak ketika Dave menghampirinya dengan wajah penuh luka. Bahkan di kemeja yang ia gunakan terdapat bercak darah akibat pertarungan tadi pagi. "Kak, Dave. Ngapain ke sini?" tanya Aleeya dengan suara bergetar. "Apa kamu baik-baik saja? Aku mengkhawatirkan mu," jawab Deve dengan menjaga jarak dari Aleeya. "Mendingan kakak pergi deh. Aleeya gak mau ngeliat Kak Dave lagi!" Emosi Aleeya mulai memuncak. "Aku cuma mau memastikan kondisi kamu, Aleeya," balas Dave. "Pergi!" bentak Aleeya menahan air mata. Dave yang sadar Aleeya akan menangis, memajukan diri mendekati Aleeya. "Maaf, Tuan, lebih baik anda pergi. Tidak aman berada disini. Hanya orang-o
"Uncle, aku hanya jalan-jalan ke Mall, kau tidak usah mencemaskan ku.""....""Aku sudah mengerjakan pekerjaan rumah.""….""Kan aku sudah bilang, aku tidak mau pakai jasa pembantu. Aku ingin mandiri."….""Aku senang melakukannya. Dengan begitu aku punya kegiatan saat di apartment.""….""Terserah uncle saja asal tidak menganggu pekerjaan uncle.""….""Oke … baiklah.""Byeee …." Aleeya memutuskan sambungan telepon. Ia sudah terbiasa dengan Adrian yang selalu menelepon di saat mereka tidak bersama. Padahal, Adrian hanya pergi bekerja di pagi hari dan pulang ketika sore. Setelah dua bulan berlalu, hubungan Adrian dan Aleeya semakin membaik. Gadis itu mulai belajar banyak hal, mulai dari membereskan apartment, memasak, dan berbelanja, meskipun masih banyak
Adrian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru resto untuk mencari keberadaan seseorang.”Uncle.” Suara familiar menarik perhatian Adrian.Adrian kebingungan, menatap seorang gadis yang melambaikan tangan ke arahnya. Gadis itu berambut hitam sebahu dengan poni tipis menutupi kening. Ia menggunakan dress tanpa lengan berwarna putih dengan corak bunga-bunga. Adrian sempat terpana dengan sosok itu sampai bayangan Aleeya menyadarkannya.Adrian dengan cepat mengalihkan tatapan ke ponsel. Ia tidak ingin tergoda dan terjerumus ke hal yang salah. Hubungan dirinya dengan Aleeya baru saja membaik. Dan mereka baru saja memulainya dari awal. Bahkan untuk kontak fisik pun mereka belum pernah melakukan. Ia menunggu sampai Aleeya siap.”Uncle!”Adrian di kejutkan oleh gadis yang melambai padanya tadi. Kin
Sudah larut malam, Adrian masih sibuk berkutat di depan laptop. Beberapa kali ia menguap dan mengabaikan rasa ngantuknya. Ia harus menyelesaikan beberapa tugas sebelum meninggalkan pekerjaannya untuk mengajak Aleeya bulan madu. Bukan tanpa alasan Adrian mengajak Aleeya bulan madu, ia melakukan itu agar Aleeya kembali ceria dan bisa segera melupakan masa lalu gadis itu. Ia juga tidak mengharapkan lebih dari Aleeya sebagai seorang istri.Tok !Tok !Tok !”Masuk,” ucap Adrian ketika pintu kamarnya di ketuk.Dari balik pintu Aleeya muncul dan menyeringai masuk ke dalam kamar Adrian. Kejadian langka karena ini pertama kalinya Aleeya memasuki kamar Adrian setelah berbulan-bulan tinggal bersama.”Ada apa Aleeya? Kok kamu belum tidur?” tanya Adrian menatap heran Aleeya.”Nggak bisa tidur,” jawab Aleeya sambil melihat-lihat isi kamar Adrian yang maskulin.”Mau saya bantu?” kali ini pertanyaan Adrian berhasil menarik per
”Hoam ….” Aleeya menguap sambil merenggangkan tubuh. Susah payah ia membuka kedua mata yang terasa berat. Ia menajamkan penglihatan menyusuri sekitar ruangan. Seketika ia langsung terlonjak dan duduk. Kini nyawanya terkumpul sempurna. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Aleeya tersenyum lebar sambil menepuk jidat. Ia baru ingat kegiatannya dengan Adrian semalam. Ngomong-ngomong soal Adrian, dimana pria itu sekarang? Aleeya celingak-celinguk mencari sosok Adrian. Ia melihat jam Beker yang berada di atas nakas menunjukan pukul 10.00 pagi. Tidak biasa ia bangun kesiangan jika bukan tanpa alasan. Ya, semalam ia dan Adrian menghabiskan waktu untuk mengobrol hingga pukul 03.00 pagi. Pantes saja ia kesiangan dan Adrian pasti sudah berangkat bekerja. Aleeya beranjak dari kasur untuk membersihkan tubuh. Ia memutuskan untuk mandi di kamar mandi yang berada di kamar lamanya. Ka
”Aleeya.”Aleeya mengentikan aktivitas pada ponsel dan menoleh ke sumber suara.”Sandra,” ucap Aleeya terbelalak.Sandra langsung menghampiri Aleeya yang duduk di sofa dan mereka berpelukan.”Akhirnya gw bisa ketemu lo lagi. Gw mau bilang terimakasih, sudah nyelamatin gw waktu itu. Berkat lo gw gak ngalamin cedera berat,” ujar Sandra. Ia sangat senang bertemu Aleeya kembali setelah beberapa bulan.”Sama-sama. Syukurlah kalau kamu gak terluka parah.” Aleeya mengusap lengan Sandra dengan lembut.”Gw senang bisa ketemu lo lagi, Aleeya. Gw sudah sering minta tolong Pak Adrian buat nemuin gw sama lo, tapi jawabannya selalu nanti,” ungkap Sandra dengan cemberut. ”Gak apa-apa, sekarang kan sudah ketemu. Lo tau gw di sini?” Aleeya penasaran dari mana Sandra tau ia ada di sini.Sandra mengangguk sebagai respon.”Gw liat di buku tamu. Ya udah, gw langsung cek aja ke sini, ternyata beneran lo. Beruntung banget gw
Aleeya turun dari ranjang dan memakai kimono. Ia langsung membereskan tempat tidur yang sangat berantakan. Mengganti sprei, sarung bantal dan guling, dan bed cover yang terdapat banyak noda."Huuhh …." Aleeya mengusap peluh di kening. Padahal suhu kamar sangat dingin oleh AC."Cape juga ganti ginian doang," keluh Aleeya, duduk di pinggir kasur.Ceklek!Adrian yang baru keluar kamar mandi, masih mengenakan kimono."Aleeya, kenapa kamu mengerjakannya sendiri. Harusnya biar aku saja," protes Adrian dengan nada lembut."Gak apa-apa Paman, Aleeya bisa, kok. Soalnya Ale risih kalau kotor," bela Aleeya sambil memperhatikan Adrian mengganti pakaian tanpa rasa risih lagi."Memangnya kamu gak kenapa-kenapa? Ngerasa sakit nggak?" Terlihat kekhawatiran di wajah Adrian."Nggak … terlalu, kok." Aleeya memejamkan mata mengerti maksud Adrian."Ya sudah. Kalau gitu kamu bersi
"Ahh … akhirnya bisa cuti juga," gumam Adrian. Aleeya terkekeh melihat Adrian yang langsung meletakkan pantat di atas sofa. Mereka baru saja sampai apartment ketika jam menunjukan angka 07.00 malam. Sebab, mereka singgah untuk makan terlebih dahulu. Kata Adrian, mumpung ada Aleeya bersamanya. Karena biasanya Adrian langsung pulang ke apartemen setelah dari kantor."Uncle, Aleeya mandi dulu, ya …" sela Aleeya. Ia terbiasa untuk mandi setelah beraktivitas di luar.Adrian mengangguk. "Jangan lupa pake air hangat, Aleeya. Supaya kamu gak kedinginan," balas Adrian sebelum Aleeya menghilang dari pandangan."Siap, Bos!" Aleeya memberi hormat pada Adrian. Dan langsung disambut tawa renyah Adrian.Adrian merebahkan kepala ke sofa, menatap langit-langit yang hanya terdapat lampu gantung. Ia memejamkan mata sejenak sambil memijat pangkal hidung. Saat ini, ia sudah mengantongi dua identitas target. Walaupun begitu, mereka harus mengumpulka
”Aleeya.”Aleeya mengentikan aktivitas pada ponsel dan menoleh ke sumber suara.”Sandra,” ucap Aleeya terbelalak.Sandra langsung menghampiri Aleeya yang duduk di sofa dan mereka berpelukan.”Akhirnya gw bisa ketemu lo lagi. Gw mau bilang terimakasih, sudah nyelamatin gw waktu itu. Berkat lo gw gak ngalamin cedera berat,” ujar Sandra. Ia sangat senang bertemu Aleeya kembali setelah beberapa bulan.”Sama-sama. Syukurlah kalau kamu gak terluka parah.” Aleeya mengusap lengan Sandra dengan lembut.”Gw senang bisa ketemu lo lagi, Aleeya. Gw sudah sering minta tolong Pak Adrian buat nemuin gw sama lo, tapi jawabannya selalu nanti,” ungkap Sandra dengan cemberut. ”Gak apa-apa, sekarang kan sudah ketemu. Lo tau gw di sini?” Aleeya penasaran dari mana Sandra tau ia ada di sini.Sandra mengangguk sebagai respon.”Gw liat di buku tamu. Ya udah, gw langsung cek aja ke sini, ternyata beneran lo. Beruntung banget gw
”Hoam ….” Aleeya menguap sambil merenggangkan tubuh. Susah payah ia membuka kedua mata yang terasa berat. Ia menajamkan penglihatan menyusuri sekitar ruangan. Seketika ia langsung terlonjak dan duduk. Kini nyawanya terkumpul sempurna. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Aleeya tersenyum lebar sambil menepuk jidat. Ia baru ingat kegiatannya dengan Adrian semalam. Ngomong-ngomong soal Adrian, dimana pria itu sekarang? Aleeya celingak-celinguk mencari sosok Adrian. Ia melihat jam Beker yang berada di atas nakas menunjukan pukul 10.00 pagi. Tidak biasa ia bangun kesiangan jika bukan tanpa alasan. Ya, semalam ia dan Adrian menghabiskan waktu untuk mengobrol hingga pukul 03.00 pagi. Pantes saja ia kesiangan dan Adrian pasti sudah berangkat bekerja. Aleeya beranjak dari kasur untuk membersihkan tubuh. Ia memutuskan untuk mandi di kamar mandi yang berada di kamar lamanya. Ka
Sudah larut malam, Adrian masih sibuk berkutat di depan laptop. Beberapa kali ia menguap dan mengabaikan rasa ngantuknya. Ia harus menyelesaikan beberapa tugas sebelum meninggalkan pekerjaannya untuk mengajak Aleeya bulan madu. Bukan tanpa alasan Adrian mengajak Aleeya bulan madu, ia melakukan itu agar Aleeya kembali ceria dan bisa segera melupakan masa lalu gadis itu. Ia juga tidak mengharapkan lebih dari Aleeya sebagai seorang istri.Tok !Tok !Tok !”Masuk,” ucap Adrian ketika pintu kamarnya di ketuk.Dari balik pintu Aleeya muncul dan menyeringai masuk ke dalam kamar Adrian. Kejadian langka karena ini pertama kalinya Aleeya memasuki kamar Adrian setelah berbulan-bulan tinggal bersama.”Ada apa Aleeya? Kok kamu belum tidur?” tanya Adrian menatap heran Aleeya.”Nggak bisa tidur,” jawab Aleeya sambil melihat-lihat isi kamar Adrian yang maskulin.”Mau saya bantu?” kali ini pertanyaan Adrian berhasil menarik per
Adrian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru resto untuk mencari keberadaan seseorang.”Uncle.” Suara familiar menarik perhatian Adrian.Adrian kebingungan, menatap seorang gadis yang melambaikan tangan ke arahnya. Gadis itu berambut hitam sebahu dengan poni tipis menutupi kening. Ia menggunakan dress tanpa lengan berwarna putih dengan corak bunga-bunga. Adrian sempat terpana dengan sosok itu sampai bayangan Aleeya menyadarkannya.Adrian dengan cepat mengalihkan tatapan ke ponsel. Ia tidak ingin tergoda dan terjerumus ke hal yang salah. Hubungan dirinya dengan Aleeya baru saja membaik. Dan mereka baru saja memulainya dari awal. Bahkan untuk kontak fisik pun mereka belum pernah melakukan. Ia menunggu sampai Aleeya siap.”Uncle!”Adrian di kejutkan oleh gadis yang melambai padanya tadi. Kin
"Uncle, aku hanya jalan-jalan ke Mall, kau tidak usah mencemaskan ku.""....""Aku sudah mengerjakan pekerjaan rumah.""….""Kan aku sudah bilang, aku tidak mau pakai jasa pembantu. Aku ingin mandiri."….""Aku senang melakukannya. Dengan begitu aku punya kegiatan saat di apartment.""….""Terserah uncle saja asal tidak menganggu pekerjaan uncle.""….""Oke … baiklah.""Byeee …." Aleeya memutuskan sambungan telepon. Ia sudah terbiasa dengan Adrian yang selalu menelepon di saat mereka tidak bersama. Padahal, Adrian hanya pergi bekerja di pagi hari dan pulang ketika sore. Setelah dua bulan berlalu, hubungan Adrian dan Aleeya semakin membaik. Gadis itu mulai belajar banyak hal, mulai dari membereskan apartment, memasak, dan berbelanja, meskipun masih banyak
Di kursi mobil dengan pintu terbuka, Aleeya duduk melamun. Pikirannya benar-benar kacau setelah kejadian barusan. Antara memikirkan Dave yang telah mengkhianatinya dan Adrian yang sedang mempertaruhkan nyawa di dalam gedung rumah sakit. "Aleeya …" Aleeya tersentak ketika Dave menghampirinya dengan wajah penuh luka. Bahkan di kemeja yang ia gunakan terdapat bercak darah akibat pertarungan tadi pagi. "Kak, Dave. Ngapain ke sini?" tanya Aleeya dengan suara bergetar. "Apa kamu baik-baik saja? Aku mengkhawatirkan mu," jawab Deve dengan menjaga jarak dari Aleeya. "Mendingan kakak pergi deh. Aleeya gak mau ngeliat Kak Dave lagi!" Emosi Aleeya mulai memuncak. "Aku cuma mau memastikan kondisi kamu, Aleeya," balas Dave. "Pergi!" bentak Aleeya menahan air mata. Dave yang sadar Aleeya akan menangis, memajukan diri mendekati Aleeya. "Maaf, Tuan, lebih baik anda pergi. Tidak aman berada disini. Hanya orang-o
Orang-orang berlari dengan histeris, saat menyadari diri mereka dalam bahaya. "Paman," bisik Aleeya sambil mendongak menatap Adrian yang sedang mendekapnya. Adrian memutar tubuh mereka, sehingga tubuh Aleeya berada tepat di pintu bagasi mobil yang memiliki desain cukup besar untuk berlindung. Adrian tahu, serangan itu berasal dari gedung rumah sakit yang berada tepat di belakang mereka, namun tidak tahu pasti di mana posisi penyerang itu. "Aleeya, apa kau takut?" tanya Adrian sambil membawa tubuh mereka untuk merunduk. Dor ! Dor ! Adrian menggerakan tangannya pada beberapa orang yang juga berada di balik mobil, berdekatan dengan dirinya. Adrian memberi isyarat agar mereka yang terjebak di halaman parkir untuk terus menunduk dan tetap tenang. "Aleeya," panggil Adria