Sherly tahu pamannya sengaja meninggalkannya berdua dengan Dean setelah makan siang mereka selesai. Ia yakin pamannya memberikan kesempatan pada Dean untuk berbicara dengannya.
Pamannya jelas menyukai Dean, terlihat dari penerimaannya pada pria itu. Jika Dean bukan orang yang tepat di matanya, pamannya itu tak akan mungkin mau repot-repot untuk duduk dan berbincang dengannya.
"Sayang ... " Dean meraih jemari Sherly dengan lembut ketika mereka duduk berdampingan di atas sofa yang nyaman.
"Aku tak tahan dengan diammu. Tolong jangan menyiksaku lagi." Dean menatap Sherly dengan tatapan memohon. "Aku benar-benar tak tahu mengapa ia tiba-tiba muncul di hadapanku, sungguh."
"Tolong, maafkan aku." Dean kali ini mengecup jemari Sherly perlahan.
Sherly menghembuskan napasnya kemudian. "Aku tahu itu bukan salahmu Dean." Ia akhirnya luluh dan menatap mata Dean yang penuh pengharapan. "Aku kesal mengetahui fakta bahwa rumah yang selama ini kau tinggali ada
"Bagaimana penampilan paman, Sayang?" tanya Alfred. Sudah kesekian kalinya Alfred mempertanyakan penampilannya pada Sherly yang sedang mengamatinya bercermin. Alfred begitu bersemangat saat beberapa hari yang lalu Sherly menceritakan tentang orangtua, serta rencana Dean yang ingin membawanya untuk mengunjungi ibunya pada akhir pekan. Sudah dapat ditebak, pamannya begitu senang dan tentunya sangat terkejut saat tahu siapa sebenarnya ibu dari Dean. Pamannya yang begitu bersemangat kemudian sedikit 'memaksa' untuk ikut menemui Joanna. "Paman, please jangan terlalu berlebihan. Bisakah kau membiarkan kami berdua saja yang menemui ibunya Dean untuk pertama kalinya? Setelah itu, untuk pertemuan berikutnya, aku akan mengizinkanmu ikut." "Hei, kau tahu seorang aktris jarang memiliki waktu luang atau libur. Semakin terkenal dirinya, semakin padat juga jadwalnya. Apa kau tak tahu, serial dramanya sedang memasuki sekuel terbaru, jadi sangat jarang baginya dapat meluangka
Wanita paruh baya yang belasan tahun tampak lebih muda dan cantik itu berhambur memeluk Dean dengan haru. Tampak binar kebahagiaan didalam kedua matanya yang berlinang air mata. "Kau akhirnya kembali," ucapnya dengan isak haru. Sherly mengapit lengan pamannya untuk menekan rasa harunya saat ia melihat sepasang ibu dan anak di hadapannya itu saling melepas rindu. Joanna melepaskan pelukannya dan kembali mengamati Dean yang menjulang di hadapannya. Ia mengusap wajah Dean dan mengamatinya dengan penuh syukur. "Maafkan aku, Nak, aku telah menjadi orangtua yang buruk buatmu," isaknya "Tidak, jangan berkata seperti itu. Aku yang sudah memperlakukanmu dengan tak adil. Maafkan aku, Mom, aku menyesal. Aku seharusnya tidak menghalangi kebahagiaanmu dengan bertindak egois." "Tidak, Sayang, kau tak bersalah. Aku senang akhirnya kau mau menemuiku. Apa kau tahu betapa leganya aku dapat melihatmu lagi?" Dean mengusap air mata dikedua pipi Joa
Acara pertemuan dengan Joanna dan makan siang yang ringan berjalan sangat lancar. Baik Alfred maupun Sherly begitu menikmati jamuan dari Joanna. Dean dan Joanna sendiri pun tampak begitu bahagia dengan pertemuan mereka setelah sekian lama. Obrolan yang ringan dan santai berlanjut di ruang tengah yang memiliki nuansa hangat dan nyaman. Sofa-sofa besar yang tampak empuk dan lembut berjejer rapi mengisi ruangan luas berlantai kayu dan beralaskan karpet halus itu, tampak begitu serasi dengan hiasan dinding dan bingkai-bingkai foto yang mengisi setiap sudut ruangan. Seluruh ruangan hampir terisi oleh foto-foto kenangan dan foto kebersamaan Dean dengan kedua orangtuanya. Sherly seolah dapat membayangkan masa kecil hingga remaja Dean hanya dengan mengamati foto-foto tersebut. "Ada yang mungkin menarik perhatianmu?" tanya Dean sembari menghampiri Sherly yang masih sibuk mengamati satu demi satu foto-foto yang terpajang rapi diseluruh ruangan. "Aku hanya ingin
Dean meninggalkan Sherly sendiri di rumah sewaan miliknya sementara ia dan Alfred bergegas menuju kantor polisi untuk bertemu dengan Marie dan mendapat keterangan darinya. Sherly merasa sedikit tak tenang saat Dean dan pamannya meninggalkannya sendiri. Walau ia tahu mereka akan segera kembali setelah mendapat keterangan dari Marie sehingga pamannya dapat terlepas dari segala tuduhan yang ditujukan padanya selama ini. Bel pintu rumah berbunyi beberapa jam setelah Dean dan pamannya meninggalkannya sendiri. Sherly yang tak memiliki prasangka apa pun segera menghampiri pintu depan rumahnya untuk menyambut tamu yang berkunjung. Betapa terkejutnya dirinya saat ia mendapati Vivian tengah berdiri di depan pintu rumahnya dengan tenang. "Boleh aku masuk?" Vivian yang segera melepas kacamata hitamnya langsung menerobos masuk dengan santai dan melewati Sherly begitu saja. Sherly sedikit mengerutkan alisnya. Tak ingin terlalu lama terpaku dengan keterkejut
"Kau tak apa, Sayang?" Dean membimbing Sherly menuju sofa untuk membiarkannya menenangkan diri setelah bertemu dengan Vivian tadi. "Aku tak apa," jawab Sherly singkat. "Jangan khawatirkan apapun tetang apa yang Vivian katakan tadi ya, Sayang." Dean mengusap pipi Sherly dengan lembut. "Aku tak akan mungkin menelantarkan anakku sendiri jika memang bayi yang pernah dikandungnya adalah darah dagingku. Dan aku juga tak akan mungkin melepaskan tanggung jawabku jika memang itu benar, Sayang." Sherly mengangguk perlahan. "Aku mengerti, jangan khawatir tadi aku hanya sedikit terkejut. Aku hanya tak mengerti mengapa Vivian sampai bersikap seperti itu padaku." "Terima kasih, Sayang. Sudah, kau tak perlu memikirkannya lagi, kau tampak lelah dan sedikit pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanya Dean sedikit khawatir. "Memang aku merasa sedikit pusing, tapi tak apa. Aku mungkin hanya perlu menenangkan diriku saja. Lalu, bagaimana dengan Marie? Apa kalian sudah
Gairah panas telah mengambil alih hasrat keduanya. Baik Dean maupun Sherly tak ragu lagi untuk saling melepas kerinduan dan frustasi yang sempat tertahan seminggu ini. Dengan sedikit jeda, Dean membuka kausnya dan segera membebaskan dada bidangnya dari kain penghalang itu. Dean mencumbui Sherly inchi demi inchi, seolah tak ingin melewatkan sedikit pun bagian dari kulit halus kekasihnya itu. Ia mengerang menahan kenikmatan setiap kali dirinya merasa hampir meledak. Perpaduan aroma Sherly dan gesekan lembut kulitnya membuatnya sangat bergairah. Sherly yang patuh dan panas, dengan erotis menyodorkan setiap lekuk miliknya untuk dijelajahi. Bagaimana cara Sherly merespon dan bereaksi dengan setiap sentuhan Dean, seketika itu juga membangkitkan ketegangan Dean yang semakin mengeras dan tinggi. "Mmh ... kau sungguh nikmat, Sayang ..., aku bahkan tak tahu lagi bagaimana diriku akan hidup jika tanpamu. Semuanya tentangmu begitu memabukkan, membuatku menggila," racauny
"Selamat bekerja, Sayang, jika ada sesuatu segera hubungi aku," ucap Dean sambil melepas sabuk pengaman Sherly setelah mereka sampai di depan kantor Nick. "Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku di kantor Dean, bukan di tempat asing yang tak pernah kudatangi." Sherly memutar kedua bola matanya. "Apa saja bisa terjadi, walau kau berada di tempat yang aman sekali pun. Tak ada salahnya untuk selalu waspada. Aku hanya tak ingin kejadian kemarin berulang lagi. Andai bisa, aku ingin mengecilkanmu dna membawamu ke dalam kantung bajuku setiap saat." Sherly tergelak mendengar penuturan Dean. "Kau dan imajinasimu itu ...," gumamnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian. Pagi ini, dengan mimik ragu Dean terpaksa mengantar Sherly untuk kembali bekerja pada Nick. Walau ia sebenarnya tak ingin Sherly bekerja lagi di sana, tapi ia menghormati keputusan Sherly selama itu membuatnya tenang. "Bisakah kau berhenti dari pekerjaanmu saja, Sayang? Kita akan men
"Selamat pagi Nick," Sherly dengan senyum cerahnya menyapa Nick saat ia memasuki ruangan pria itu."Hai, selamat pagi." Balas Nick dengan tersenyum hangat. "Senang melihatmu kembali bekerja lagi Sher." Wajah Nick tampak begitu ceria melihat Sherly."Ya, terima kasih atas pengertianmu Nick.""Bagaimana keadaanmu? Aku belum melihatmu lagi setelah terakhir kali kau berada di apartemenku sekitar seminggu yang lalu?""Aku baik, terima kasih sudah menjagaku." Sherly meletakkan tasnya pada meja kerjanya."Aku rasa aku yang tak baik-baik saja setelah itu." Nick memutar kedua bola matanya dan tersenyum geli. Ia beranjak dari kursinya dan menuju ke arah Sherly."Oh, maafkan aku. Aku juga baru mengetahui kebiasaan burukku itu belum lama ini. Kau pasti terkejut.""Sedikit, karena mungkin aku belum pernah melihat sisi dirimu yang lain, tapi selebihnya aku baik-baik saja. Bahkan, aku rasa tak ada yang berubah dari perasaan sukaku padamu setelah aku