Acara pertemuan dengan Joanna dan makan siang yang ringan berjalan sangat lancar. Baik Alfred maupun Sherly begitu menikmati jamuan dari Joanna. Dean dan Joanna sendiri pun tampak begitu bahagia dengan pertemuan mereka setelah sekian lama.
Obrolan yang ringan dan santai berlanjut di ruang tengah yang memiliki nuansa hangat dan nyaman. Sofa-sofa besar yang tampak empuk dan lembut berjejer rapi mengisi ruangan luas berlantai kayu dan beralaskan karpet halus itu, tampak begitu serasi dengan hiasan dinding dan bingkai-bingkai foto yang mengisi setiap sudut ruangan.
Seluruh ruangan hampir terisi oleh foto-foto kenangan dan foto kebersamaan Dean dengan kedua orangtuanya. Sherly seolah dapat membayangkan masa kecil hingga remaja Dean hanya dengan mengamati foto-foto tersebut.
"Ada yang mungkin menarik perhatianmu?" tanya Dean sembari menghampiri Sherly yang masih sibuk mengamati satu demi satu foto-foto yang terpajang rapi diseluruh ruangan.
"Aku hanya ingin
Dean meninggalkan Sherly sendiri di rumah sewaan miliknya sementara ia dan Alfred bergegas menuju kantor polisi untuk bertemu dengan Marie dan mendapat keterangan darinya. Sherly merasa sedikit tak tenang saat Dean dan pamannya meninggalkannya sendiri. Walau ia tahu mereka akan segera kembali setelah mendapat keterangan dari Marie sehingga pamannya dapat terlepas dari segala tuduhan yang ditujukan padanya selama ini. Bel pintu rumah berbunyi beberapa jam setelah Dean dan pamannya meninggalkannya sendiri. Sherly yang tak memiliki prasangka apa pun segera menghampiri pintu depan rumahnya untuk menyambut tamu yang berkunjung. Betapa terkejutnya dirinya saat ia mendapati Vivian tengah berdiri di depan pintu rumahnya dengan tenang. "Boleh aku masuk?" Vivian yang segera melepas kacamata hitamnya langsung menerobos masuk dengan santai dan melewati Sherly begitu saja. Sherly sedikit mengerutkan alisnya. Tak ingin terlalu lama terpaku dengan keterkejut
"Kau tak apa, Sayang?" Dean membimbing Sherly menuju sofa untuk membiarkannya menenangkan diri setelah bertemu dengan Vivian tadi. "Aku tak apa," jawab Sherly singkat. "Jangan khawatirkan apapun tetang apa yang Vivian katakan tadi ya, Sayang." Dean mengusap pipi Sherly dengan lembut. "Aku tak akan mungkin menelantarkan anakku sendiri jika memang bayi yang pernah dikandungnya adalah darah dagingku. Dan aku juga tak akan mungkin melepaskan tanggung jawabku jika memang itu benar, Sayang." Sherly mengangguk perlahan. "Aku mengerti, jangan khawatir tadi aku hanya sedikit terkejut. Aku hanya tak mengerti mengapa Vivian sampai bersikap seperti itu padaku." "Terima kasih, Sayang. Sudah, kau tak perlu memikirkannya lagi, kau tampak lelah dan sedikit pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanya Dean sedikit khawatir. "Memang aku merasa sedikit pusing, tapi tak apa. Aku mungkin hanya perlu menenangkan diriku saja. Lalu, bagaimana dengan Marie? Apa kalian sudah
Gairah panas telah mengambil alih hasrat keduanya. Baik Dean maupun Sherly tak ragu lagi untuk saling melepas kerinduan dan frustasi yang sempat tertahan seminggu ini. Dengan sedikit jeda, Dean membuka kausnya dan segera membebaskan dada bidangnya dari kain penghalang itu. Dean mencumbui Sherly inchi demi inchi, seolah tak ingin melewatkan sedikit pun bagian dari kulit halus kekasihnya itu. Ia mengerang menahan kenikmatan setiap kali dirinya merasa hampir meledak. Perpaduan aroma Sherly dan gesekan lembut kulitnya membuatnya sangat bergairah. Sherly yang patuh dan panas, dengan erotis menyodorkan setiap lekuk miliknya untuk dijelajahi. Bagaimana cara Sherly merespon dan bereaksi dengan setiap sentuhan Dean, seketika itu juga membangkitkan ketegangan Dean yang semakin mengeras dan tinggi. "Mmh ... kau sungguh nikmat, Sayang ..., aku bahkan tak tahu lagi bagaimana diriku akan hidup jika tanpamu. Semuanya tentangmu begitu memabukkan, membuatku menggila," racauny
"Selamat bekerja, Sayang, jika ada sesuatu segera hubungi aku," ucap Dean sambil melepas sabuk pengaman Sherly setelah mereka sampai di depan kantor Nick. "Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku di kantor Dean, bukan di tempat asing yang tak pernah kudatangi." Sherly memutar kedua bola matanya. "Apa saja bisa terjadi, walau kau berada di tempat yang aman sekali pun. Tak ada salahnya untuk selalu waspada. Aku hanya tak ingin kejadian kemarin berulang lagi. Andai bisa, aku ingin mengecilkanmu dna membawamu ke dalam kantung bajuku setiap saat." Sherly tergelak mendengar penuturan Dean. "Kau dan imajinasimu itu ...," gumamnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian. Pagi ini, dengan mimik ragu Dean terpaksa mengantar Sherly untuk kembali bekerja pada Nick. Walau ia sebenarnya tak ingin Sherly bekerja lagi di sana, tapi ia menghormati keputusan Sherly selama itu membuatnya tenang. "Bisakah kau berhenti dari pekerjaanmu saja, Sayang? Kita akan men
"Selamat pagi Nick," Sherly dengan senyum cerahnya menyapa Nick saat ia memasuki ruangan pria itu."Hai, selamat pagi." Balas Nick dengan tersenyum hangat. "Senang melihatmu kembali bekerja lagi Sher." Wajah Nick tampak begitu ceria melihat Sherly."Ya, terima kasih atas pengertianmu Nick.""Bagaimana keadaanmu? Aku belum melihatmu lagi setelah terakhir kali kau berada di apartemenku sekitar seminggu yang lalu?""Aku baik, terima kasih sudah menjagaku." Sherly meletakkan tasnya pada meja kerjanya."Aku rasa aku yang tak baik-baik saja setelah itu." Nick memutar kedua bola matanya dan tersenyum geli. Ia beranjak dari kursinya dan menuju ke arah Sherly."Oh, maafkan aku. Aku juga baru mengetahui kebiasaan burukku itu belum lama ini. Kau pasti terkejut.""Sedikit, karena mungkin aku belum pernah melihat sisi dirimu yang lain, tapi selebihnya aku baik-baik saja. Bahkan, aku rasa tak ada yang berubah dari perasaan sukaku padamu setelah aku
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Sherly menatap Adriana yang sedang duduk di hadapannya dengan serius. "Ini tentang Vivian." Adriana menyeruput kopinya dengan tenang setelah menjawab Sherly. "Aku dengar ia menemuimu kemarin." "Ya, ia memang menemuiku. Apa kau ingin meminta maaf atas nama dirinya, atau semacamnya?" tanya Sherly. "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan. Dia mendatangiku dengan wajah kacau dan mata sembab. Aku hanya ingin mendengar sisi ceritamu. Walau dia sepupuku, aku tak sepenuhnya bisa percaya padanya." Sherly menghembuskan napasnya perlahan, tanpa berbasa-basi lagi ia berkata, "Vivian mendatangiku tiba-tiba, ia mengungkit tentang Dean dan anak yang pernah dikandungnya. Ia kemarin begitu histeris dan berteriak padaku. Menurutnya aku adalah pengganggu antara dirinya dan Dean. Dan ia sangat berharap dapat kembali bersama Dean karena menurutnya dirinyalah yang pantas mendampingi Dean." "Kau ten
"Berbaring dan bersantai denganmu seperti ini adalah hal yang paling aku tunggu-tunggu setiap harinya. Aku sungguh menantikan hal seperti ini bersamamu, Sayang," Dean memeluk Sherly dan mengecup kepalanya dengan mesra. Ia dan Sherly sedang berduaan di atas ranjang mereka dan berpelukan untuk melepas lelah. "Aku juga, memelukmu memberikan rasa nyaman bagiku. Aku merasa mengantuk saat memelukmu seperti ini." Sherly menguap dan tersenyum damai. "Kau sudah mengantuk? Aku lihat beberapa hari ini kau tampak begitu pucat, aku harap kau baik-baik saja." Dean kembali mengecup Sherly. "Jadi, bagaimana ceritamu hari ini?" tanyanya penuh keingintahuan. "Kenapa? Kau hanya ingin tahu reaksi teman-temanku dan Nick mengenai pertunangan kita bukan?" tebak Sherly. Dean tergelak, "Aku tidak akan mengatakan itu, aku hanya bertanya. Yah, walau ada sedikit rasa ingin tahuku. Jadi, bagaimana reaksi mereka?" tanya Dean tanpa malu-malu lagi. "Oh, ya ampun! Kau
Sudah sejak beberapa hari ini Nick sering keluar dari kantor. Ia hanya menghabiskan sedikit waktunya untuk bekerja dalam ruangannya dan selebihnya ia memilih untuk bekerja dari luar. Sherly mengerti situasi Nick, tapi ia sendiri juga merasa bersalah jika Nick berusaha untuk menghindarinya. "Oke, beberapa hari seharusnya sudah cukup baginya untuk bersedih bukan? Dan jika ia semakin menghindariku, suasana akan sangat canggung bagi kita berdua nantinya." Batin Sherly kesal. Sudah beberapa kali ia menelepon Nick, tetapi Nick tak juga menjawab panggilannya. "Lucy! Kau lihat Nick?!" tanya Sherly melongok dari pintu ruang kerja. "Aku rasa ia ke kafe bawah, sepertinya tadi ia mengatakan akan bertemu dengan klien di sekitar sana." "Oke, thanks!" Sherly buru-buru menuju lift untuk turun ke kafe sebelah lobi. Keluar dari lift ia tak langsung menemukan sosok Nick, butuh beberapa saat baginya untuk mengedarkan pandangannya dan menelus
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters