"Kau tak apa, Sayang?" Dean membimbing Sherly menuju sofa untuk membiarkannya menenangkan diri setelah bertemu dengan Vivian tadi.
"Aku tak apa," jawab Sherly singkat.
"Jangan khawatirkan apapun tetang apa yang Vivian katakan tadi ya, Sayang." Dean mengusap pipi Sherly dengan lembut. "Aku tak akan mungkin menelantarkan anakku sendiri jika memang bayi yang pernah dikandungnya adalah darah dagingku. Dan aku juga tak akan mungkin melepaskan tanggung jawabku jika memang itu benar, Sayang."
Sherly mengangguk perlahan. "Aku mengerti, jangan khawatir tadi aku hanya sedikit terkejut. Aku hanya tak mengerti mengapa Vivian sampai bersikap seperti itu padaku."
"Terima kasih, Sayang. Sudah, kau tak perlu memikirkannya lagi, kau tampak lelah dan sedikit pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanya Dean sedikit khawatir.
"Memang aku merasa sedikit pusing, tapi tak apa. Aku mungkin hanya perlu menenangkan diriku saja. Lalu, bagaimana dengan Marie? Apa kalian sudah
Gairah panas telah mengambil alih hasrat keduanya. Baik Dean maupun Sherly tak ragu lagi untuk saling melepas kerinduan dan frustasi yang sempat tertahan seminggu ini. Dengan sedikit jeda, Dean membuka kausnya dan segera membebaskan dada bidangnya dari kain penghalang itu. Dean mencumbui Sherly inchi demi inchi, seolah tak ingin melewatkan sedikit pun bagian dari kulit halus kekasihnya itu. Ia mengerang menahan kenikmatan setiap kali dirinya merasa hampir meledak. Perpaduan aroma Sherly dan gesekan lembut kulitnya membuatnya sangat bergairah. Sherly yang patuh dan panas, dengan erotis menyodorkan setiap lekuk miliknya untuk dijelajahi. Bagaimana cara Sherly merespon dan bereaksi dengan setiap sentuhan Dean, seketika itu juga membangkitkan ketegangan Dean yang semakin mengeras dan tinggi. "Mmh ... kau sungguh nikmat, Sayang ..., aku bahkan tak tahu lagi bagaimana diriku akan hidup jika tanpamu. Semuanya tentangmu begitu memabukkan, membuatku menggila," racauny
"Selamat bekerja, Sayang, jika ada sesuatu segera hubungi aku," ucap Dean sambil melepas sabuk pengaman Sherly setelah mereka sampai di depan kantor Nick. "Memangnya apa yang bisa terjadi? Aku di kantor Dean, bukan di tempat asing yang tak pernah kudatangi." Sherly memutar kedua bola matanya. "Apa saja bisa terjadi, walau kau berada di tempat yang aman sekali pun. Tak ada salahnya untuk selalu waspada. Aku hanya tak ingin kejadian kemarin berulang lagi. Andai bisa, aku ingin mengecilkanmu dna membawamu ke dalam kantung bajuku setiap saat." Sherly tergelak mendengar penuturan Dean. "Kau dan imajinasimu itu ...," gumamnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian. Pagi ini, dengan mimik ragu Dean terpaksa mengantar Sherly untuk kembali bekerja pada Nick. Walau ia sebenarnya tak ingin Sherly bekerja lagi di sana, tapi ia menghormati keputusan Sherly selama itu membuatnya tenang. "Bisakah kau berhenti dari pekerjaanmu saja, Sayang? Kita akan men
"Selamat pagi Nick," Sherly dengan senyum cerahnya menyapa Nick saat ia memasuki ruangan pria itu."Hai, selamat pagi." Balas Nick dengan tersenyum hangat. "Senang melihatmu kembali bekerja lagi Sher." Wajah Nick tampak begitu ceria melihat Sherly."Ya, terima kasih atas pengertianmu Nick.""Bagaimana keadaanmu? Aku belum melihatmu lagi setelah terakhir kali kau berada di apartemenku sekitar seminggu yang lalu?""Aku baik, terima kasih sudah menjagaku." Sherly meletakkan tasnya pada meja kerjanya."Aku rasa aku yang tak baik-baik saja setelah itu." Nick memutar kedua bola matanya dan tersenyum geli. Ia beranjak dari kursinya dan menuju ke arah Sherly."Oh, maafkan aku. Aku juga baru mengetahui kebiasaan burukku itu belum lama ini. Kau pasti terkejut.""Sedikit, karena mungkin aku belum pernah melihat sisi dirimu yang lain, tapi selebihnya aku baik-baik saja. Bahkan, aku rasa tak ada yang berubah dari perasaan sukaku padamu setelah aku
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Sherly menatap Adriana yang sedang duduk di hadapannya dengan serius. "Ini tentang Vivian." Adriana menyeruput kopinya dengan tenang setelah menjawab Sherly. "Aku dengar ia menemuimu kemarin." "Ya, ia memang menemuiku. Apa kau ingin meminta maaf atas nama dirinya, atau semacamnya?" tanya Sherly. "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan. Dia mendatangiku dengan wajah kacau dan mata sembab. Aku hanya ingin mendengar sisi ceritamu. Walau dia sepupuku, aku tak sepenuhnya bisa percaya padanya." Sherly menghembuskan napasnya perlahan, tanpa berbasa-basi lagi ia berkata, "Vivian mendatangiku tiba-tiba, ia mengungkit tentang Dean dan anak yang pernah dikandungnya. Ia kemarin begitu histeris dan berteriak padaku. Menurutnya aku adalah pengganggu antara dirinya dan Dean. Dan ia sangat berharap dapat kembali bersama Dean karena menurutnya dirinyalah yang pantas mendampingi Dean." "Kau ten
"Berbaring dan bersantai denganmu seperti ini adalah hal yang paling aku tunggu-tunggu setiap harinya. Aku sungguh menantikan hal seperti ini bersamamu, Sayang," Dean memeluk Sherly dan mengecup kepalanya dengan mesra. Ia dan Sherly sedang berduaan di atas ranjang mereka dan berpelukan untuk melepas lelah. "Aku juga, memelukmu memberikan rasa nyaman bagiku. Aku merasa mengantuk saat memelukmu seperti ini." Sherly menguap dan tersenyum damai. "Kau sudah mengantuk? Aku lihat beberapa hari ini kau tampak begitu pucat, aku harap kau baik-baik saja." Dean kembali mengecup Sherly. "Jadi, bagaimana ceritamu hari ini?" tanyanya penuh keingintahuan. "Kenapa? Kau hanya ingin tahu reaksi teman-temanku dan Nick mengenai pertunangan kita bukan?" tebak Sherly. Dean tergelak, "Aku tidak akan mengatakan itu, aku hanya bertanya. Yah, walau ada sedikit rasa ingin tahuku. Jadi, bagaimana reaksi mereka?" tanya Dean tanpa malu-malu lagi. "Oh, ya ampun! Kau
Sudah sejak beberapa hari ini Nick sering keluar dari kantor. Ia hanya menghabiskan sedikit waktunya untuk bekerja dalam ruangannya dan selebihnya ia memilih untuk bekerja dari luar. Sherly mengerti situasi Nick, tapi ia sendiri juga merasa bersalah jika Nick berusaha untuk menghindarinya. "Oke, beberapa hari seharusnya sudah cukup baginya untuk bersedih bukan? Dan jika ia semakin menghindariku, suasana akan sangat canggung bagi kita berdua nantinya." Batin Sherly kesal. Sudah beberapa kali ia menelepon Nick, tetapi Nick tak juga menjawab panggilannya. "Lucy! Kau lihat Nick?!" tanya Sherly melongok dari pintu ruang kerja. "Aku rasa ia ke kafe bawah, sepertinya tadi ia mengatakan akan bertemu dengan klien di sekitar sana." "Oke, thanks!" Sherly buru-buru menuju lift untuk turun ke kafe sebelah lobi. Keluar dari lift ia tak langsung menemukan sosok Nick, butuh beberapa saat baginya untuk mengedarkan pandangannya dan menelus
Suasana rumah sewaan Sherly tampak ramai malam itu. Dengan lampu hiasan yang temaram dan indah, halaman belakangnya Dean sulap menjadi area makan malam romantis dan santai. Dean dengan bantuan beberapa teman chef-nya telah menyiapkan segala keperluan untuk acara makan malamnya agar berjalan lancar dan siap sesuai rencana. "Wow ... sangat indah, Dean," komentar Sherly dengan tatapan takjub. Ia kembali dari kantornya lebih cepat dari jam kerja biasanya. "Kau suka?" tanya Dean. "Tentu!" balas Sherly lagi. Ia membawa sebuah ikatan bunga segar yang begitu besar untuk mempercantik meja dan beberapa sudut ruangan agar semakin menawan saat acara makan malam mereka nanti telah siap. "Kau perlu bantuanku?" ucap Dean sambil meraih bunga-bunga segar yang Sherly bawa. "Apakah masih ada waktu? Aku harus membersihkan diriku dan berganti baju. Ah, apa kau membutuhkan bantuanku?" ucap Sherly setengah panik. "Tenanglah, Sayang. Gunakanlah waktum
Nick dapat merasakan kepalanya begitu berat dan pusing. Ia menelan ludahnya berkali-kali karena tenggorokannya terasa sangat kering dan tak nyaman. Matanya yang sebelumnya terpejam, perlahan mulai terbuka. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan sinar matahari yang begitu menyilaukan. Nick mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia menghembuskan napasnya saat menyadari ruangan yang tampak familier itu adalah kamar tidurnya. "Syukurlah ...," gumamnya sambil menguap. Ia menggeliat, meluruskan punggungnya sejenak. Dan saat lengannya menyentuh permukaan kulit yang begitu halus, Nick berhenti bergerak. Ia membeku. Baru disadarinya bahwa ada seseorang mungkin tengah tidur di sampingnya. Nick dapat menebak itu karena ia mendengar suara halus dari napas yang beraturan dari balik punggungnya. Siapa? Nick membelalak. Ia merasa ngeri seketika. Ia memejamkan matanya dan mulai menguatkan diri untuk berbalik menghad