"Jadi, mau sampai kapan kau berdiam diri dan tak mengatakan apa-apa?" desak Nick pada gadis mungil yang sedang duduk di sofa ruang tamu miliknya.
Sherly duduk di atas sofa di dalam apartemen Nick dengan dikelilingi wajah-wajah tegang yang menatapnya dalam-dalam. Ia begitu bimbang dan terpojok dengan tatapan teman-temannya itu.
"Oh, kalian please ... jangan begini padaku." Sherly memasang wajah memelas.
"Jangan harap kami akan melepaskanmu walau kau memohon sekali pun. Kami sangat khawatir denganmu, jadi katakan sekarang juga tentang Dean. Semuanya." ulang Nick.
Sherly sedikit tergagap. Ia merasa sangat kepanasan dan berkeringat. "A ... aku rasa aku butuh minum," gumamnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke depan wajahnya.
"Ah ... kau sengaja mengulur waktu bukan? Lucy, ambilkan Sherly minum." perintah Nick.
Lucy mengangguk mengerti. Ia menuju kulkas Nick, mengambil sebuah botol minuman dingin dan menyerahkannya untuk Sherly.
Tak memerlukan waktu lama bagi Dean untuk menemukan unit apartemen milik Nick. Pasalnya setengah jam yang lalu dirinya sudah dalam perjalanan untuk menuju lokasi tempat Sherly berada. Dean membanting kemudinya untuk berbalik arah saat ia membaca pesan dari Sherly. Ia begitu terkejut dengan pesan yang gadis itu kirim dan mengatakan ingin mengunjungi Nick pada malam hari seperti ini. Dean seketika merasa tak tenang jika ia membiarkan Sherly. Ia menyerahkan tanggung jawab tugasnya malam ini pada Max sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Sherly. Perasaan tak tenangnya semakin menguat. Dan dugaannya menjadi kenyataan saat ia mendengar suara pria itu mengangkat panggilannya tadi. Berani-beraninya Nick membuat wanitanya datang ke apartemennya pada malam hari dan sekarang membuatnya mabuk!? Berkali-kali Dean mengumpat dalam hati. Ia semakin tak tenang mengingat lagi bagaimana kelakuan Sherly saat mabuk. Sungguh ia merasa seolah akan menggila s
Dean merebahkan Sherly pada tempat tidurnya, melepaskan sepatu bootsnya, dan menyelimutinya segera setelah mereka sampai di kediamannya. "Kau memang benar-benar sesuatu, Sayang ..." gumamnya sambil menyibakkan rambut Sherly. Dean tersenyum mengingat lagi kelakuan Sherly tadi. Dia merasa kasihan pada Nick yang pasti sekarang masih shock dengan tingkah Sherly saat mabuk. Dean tidak berencana meninggalkan Sherly malam ini. Siapa tahu Sherly bisa saja mengacau jika ia tinggalkan sendirian. Dan gadis itu sudah bisa dipastikan akan terbangun berkali-kali dari mabuknya, sebelum akhirnya ia bisa tertidur nyenyak hingga pagi. Dean memutuskan untuk kembali membasuh badannya. Setelah kegilaan singkat yang menguras energinya tadi, Dean merasa begitu lengket karena berkeringat. Ia mengenakan kaus dan celana longgarnya untuk menemaninya tidur. Baru beberapa saat ia merebahkan diri di samping Sherly, gadis itu sudah mulai bereaksi. Ia tiba-tiba saja terduduk
Sherly mengerjap dan terbangun dari tidurnya saat ia merasa terusik dengan suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Ia mengusap kedua matanya dan menguap. Tak beberapa lama kemudian, Dean keluar dari dalam kamar mandi dan muncul dengan handuk yang melilit di atas pinggangnya. "Kau sudah bangun? Apa kau baik-baik saja?" Dean menghampiri Sherly dan duduk di pinggir ranjang. "Ya, aku tak apa-apa, hanya sedikit pusing." "Aku tak heran, kau tahu yang kau minum semalam bukan? Jika kau masih butuh istirahat, tak apa. Tapi sepertinya kau harus ikut denganku, Sayang, ada sesuatu yang harus kau ketahui." Sherly menatap Dean dalam. "Ada apa Dean? Apa telah terjadi sesuatu?" tanyanya was-was. "Ya, tapi jangan khawatir, itu bukan sesuatu yang buruk." Dean mencium punggung tangan Sherly. "Begini, semalam pamanmu telah diselamatkan oleh kepolisian setempat." "Diselamatkan? Apa mungkin ... oh, jadi benar paman disekap? Apa ia baik-baik saja
"Terima kasih Nick, kau sungguh pengertian." Sherly menutup panggilan telepon yang tersambung dengan Nick sebelumnya. Ia menjelaskan secara singkat keadaan dirinya pada pria itu sekaligus meminta izin untuk cuti sementara selama waktu yang dibutuhkan. "Bagaimana ia? Tak akan ada masalah dengan pekerjaanmu bukan?" Dean mengaduk jus dingin di depannya. Ia dan Sherly sedang makan siang yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit. "Tak apa, Nick mengerti. Aku rasa satu-satunya hal yang mungkin belum dapat ia terima adalah saat mengetahui tingkah anehku ketika aku mabuk kemarin." Sherly tersenyum geli. "Yeah, bisa aku pastikan itu. Jika saja aku tak datang tepat waktu, entah apa yang mungkin sudah kau lakukan padanya Sayang. Kau mungkin saja akan menyerangnya seperti kau dulu menyerangku," gumam Dean. "Oh, please! Aku tak akan mungkin melakukan hal-hal seperti itu pada Nick!" protes Sherly. "Dan pada pria lainnya! Ingat juga itu." Dean sedikit melotot
Sherly mencium pipi Dean sesaat sebelum ia meraih tasnya di atas meja makan. Ia pagi ini akan menemui pamannya yang telah keluar dari rumah sakit dan sedang menuju perjalanan untuk pindah sementara bersamanya. Sherly akan melihat lokasi dan keadaan rumah yang sementara akan disewa pamannya itu. Ia hanya ingin memastikan semua kondisi rumah sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama pemeriksaan dan proses penyelidikan berlangsung, pamannya memang ingin berada dekat dengan Sherly untuk menghindari kemungkinan Marie akan muncul dan mencoba untuk mencelakai mereka lagi. Sebelum Sherly melihat rumah sewa yang dimaksud, ia akan mampir sebentar untuk sekadar merapikan dan mengemasi beberapa barang yang dibutuhkannya dari apartemennya. Apartemen yang masih berantakan karena penyerangan itu belum sempat ia urus. Banyak perabotnya yang telah rusak dan tak dapat digunakan lagi. Rencananya Sherly memang akan memilih dan membereskan semuanya sebelum saatnya ia pindah dari apa
"Kau sudah tahu tentang ini?" Dean menuntut penjelasan pada Adriana saat gadis itu menghampirinya di depan sebuah kamar pasien. Dean sebelumnya memang menelepon Adriana sebelum ia membawa Vivian ke rumah sakit terdekat. Ia meminta gadis itu datang untuk mengurus sepupunya. "Bagaimana keadaannya?" tanya Adriana "Ia pingsan, tapi tak apa, dokter mengatakan ia hanya kelelahan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia di sini?" Adriana menghela napas sejenak, "Ia kemarin datang menemuiku. Ia bertanya tentangmu, dan aku sudah melarangnya untuk menemuimu. Aku berencana akan memberitahumu saat kau ke kantor nanti, tapi ternyata ... aku tak tahu jika ia sudah lebih dulu menemuimu." Dean mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku tak ingin terlibat dengannya kau tahu? Kau bisa mengambil alih dari sini. Ada sesuatu yang harus aku lakukan." "Kau mau ke mana? Ke kantor?" "Tidak. Aku harus melakukan sesuatu yang penting terlebih dulu." De
Sherly tahu pamannya sengaja meninggalkannya berdua dengan Dean setelah makan siang mereka selesai. Ia yakin pamannya memberikan kesempatan pada Dean untuk berbicara dengannya. Pamannya jelas menyukai Dean, terlihat dari penerimaannya pada pria itu. Jika Dean bukan orang yang tepat di matanya, pamannya itu tak akan mungkin mau repot-repot untuk duduk dan berbincang dengannya. "Sayang ... " Dean meraih jemari Sherly dengan lembut ketika mereka duduk berdampingan di atas sofa yang nyaman. "Aku tak tahan dengan diammu. Tolong jangan menyiksaku lagi." Dean menatap Sherly dengan tatapan memohon. "Aku benar-benar tak tahu mengapa ia tiba-tiba muncul di hadapanku, sungguh." "Tolong, maafkan aku." Dean kali ini mengecup jemari Sherly perlahan. Sherly menghembuskan napasnya kemudian. "Aku tahu itu bukan salahmu Dean." Ia akhirnya luluh dan menatap mata Dean yang penuh pengharapan. "Aku kesal mengetahui fakta bahwa rumah yang selama ini kau tinggali ada
"Bagaimana penampilan paman, Sayang?" tanya Alfred. Sudah kesekian kalinya Alfred mempertanyakan penampilannya pada Sherly yang sedang mengamatinya bercermin. Alfred begitu bersemangat saat beberapa hari yang lalu Sherly menceritakan tentang orangtua, serta rencana Dean yang ingin membawanya untuk mengunjungi ibunya pada akhir pekan. Sudah dapat ditebak, pamannya begitu senang dan tentunya sangat terkejut saat tahu siapa sebenarnya ibu dari Dean. Pamannya yang begitu bersemangat kemudian sedikit 'memaksa' untuk ikut menemui Joanna. "Paman, please jangan terlalu berlebihan. Bisakah kau membiarkan kami berdua saja yang menemui ibunya Dean untuk pertama kalinya? Setelah itu, untuk pertemuan berikutnya, aku akan mengizinkanmu ikut." "Hei, kau tahu seorang aktris jarang memiliki waktu luang atau libur. Semakin terkenal dirinya, semakin padat juga jadwalnya. Apa kau tak tahu, serial dramanya sedang memasuki sekuel terbaru, jadi sangat jarang baginya dapat meluangka
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters