Tak memerlukan waktu lama bagi Dean untuk menemukan unit apartemen milik Nick. Pasalnya setengah jam yang lalu dirinya sudah dalam perjalanan untuk menuju lokasi tempat Sherly berada.
Dean membanting kemudinya untuk berbalik arah saat ia membaca pesan dari Sherly. Ia begitu terkejut dengan pesan yang gadis itu kirim dan mengatakan ingin mengunjungi Nick pada malam hari seperti ini.
Dean seketika merasa tak tenang jika ia membiarkan Sherly. Ia menyerahkan tanggung jawab tugasnya malam ini pada Max sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Sherly.
Perasaan tak tenangnya semakin menguat. Dan dugaannya menjadi kenyataan saat ia mendengar suara pria itu mengangkat panggilannya tadi.
Berani-beraninya Nick membuat wanitanya datang ke apartemennya pada malam hari dan sekarang membuatnya mabuk!?
Berkali-kali Dean mengumpat dalam hati. Ia semakin tak tenang mengingat lagi bagaimana kelakuan Sherly saat mabuk. Sungguh ia merasa seolah akan menggila s
Dean merebahkan Sherly pada tempat tidurnya, melepaskan sepatu bootsnya, dan menyelimutinya segera setelah mereka sampai di kediamannya. "Kau memang benar-benar sesuatu, Sayang ..." gumamnya sambil menyibakkan rambut Sherly. Dean tersenyum mengingat lagi kelakuan Sherly tadi. Dia merasa kasihan pada Nick yang pasti sekarang masih shock dengan tingkah Sherly saat mabuk. Dean tidak berencana meninggalkan Sherly malam ini. Siapa tahu Sherly bisa saja mengacau jika ia tinggalkan sendirian. Dan gadis itu sudah bisa dipastikan akan terbangun berkali-kali dari mabuknya, sebelum akhirnya ia bisa tertidur nyenyak hingga pagi. Dean memutuskan untuk kembali membasuh badannya. Setelah kegilaan singkat yang menguras energinya tadi, Dean merasa begitu lengket karena berkeringat. Ia mengenakan kaus dan celana longgarnya untuk menemaninya tidur. Baru beberapa saat ia merebahkan diri di samping Sherly, gadis itu sudah mulai bereaksi. Ia tiba-tiba saja terduduk
Sherly mengerjap dan terbangun dari tidurnya saat ia merasa terusik dengan suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Ia mengusap kedua matanya dan menguap. Tak beberapa lama kemudian, Dean keluar dari dalam kamar mandi dan muncul dengan handuk yang melilit di atas pinggangnya. "Kau sudah bangun? Apa kau baik-baik saja?" Dean menghampiri Sherly dan duduk di pinggir ranjang. "Ya, aku tak apa-apa, hanya sedikit pusing." "Aku tak heran, kau tahu yang kau minum semalam bukan? Jika kau masih butuh istirahat, tak apa. Tapi sepertinya kau harus ikut denganku, Sayang, ada sesuatu yang harus kau ketahui." Sherly menatap Dean dalam. "Ada apa Dean? Apa telah terjadi sesuatu?" tanyanya was-was. "Ya, tapi jangan khawatir, itu bukan sesuatu yang buruk." Dean mencium punggung tangan Sherly. "Begini, semalam pamanmu telah diselamatkan oleh kepolisian setempat." "Diselamatkan? Apa mungkin ... oh, jadi benar paman disekap? Apa ia baik-baik saja
"Terima kasih Nick, kau sungguh pengertian." Sherly menutup panggilan telepon yang tersambung dengan Nick sebelumnya. Ia menjelaskan secara singkat keadaan dirinya pada pria itu sekaligus meminta izin untuk cuti sementara selama waktu yang dibutuhkan. "Bagaimana ia? Tak akan ada masalah dengan pekerjaanmu bukan?" Dean mengaduk jus dingin di depannya. Ia dan Sherly sedang makan siang yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit. "Tak apa, Nick mengerti. Aku rasa satu-satunya hal yang mungkin belum dapat ia terima adalah saat mengetahui tingkah anehku ketika aku mabuk kemarin." Sherly tersenyum geli. "Yeah, bisa aku pastikan itu. Jika saja aku tak datang tepat waktu, entah apa yang mungkin sudah kau lakukan padanya Sayang. Kau mungkin saja akan menyerangnya seperti kau dulu menyerangku," gumam Dean. "Oh, please! Aku tak akan mungkin melakukan hal-hal seperti itu pada Nick!" protes Sherly. "Dan pada pria lainnya! Ingat juga itu." Dean sedikit melotot
Sherly mencium pipi Dean sesaat sebelum ia meraih tasnya di atas meja makan. Ia pagi ini akan menemui pamannya yang telah keluar dari rumah sakit dan sedang menuju perjalanan untuk pindah sementara bersamanya. Sherly akan melihat lokasi dan keadaan rumah yang sementara akan disewa pamannya itu. Ia hanya ingin memastikan semua kondisi rumah sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama pemeriksaan dan proses penyelidikan berlangsung, pamannya memang ingin berada dekat dengan Sherly untuk menghindari kemungkinan Marie akan muncul dan mencoba untuk mencelakai mereka lagi. Sebelum Sherly melihat rumah sewa yang dimaksud, ia akan mampir sebentar untuk sekadar merapikan dan mengemasi beberapa barang yang dibutuhkannya dari apartemennya. Apartemen yang masih berantakan karena penyerangan itu belum sempat ia urus. Banyak perabotnya yang telah rusak dan tak dapat digunakan lagi. Rencananya Sherly memang akan memilih dan membereskan semuanya sebelum saatnya ia pindah dari apa
"Kau sudah tahu tentang ini?" Dean menuntut penjelasan pada Adriana saat gadis itu menghampirinya di depan sebuah kamar pasien. Dean sebelumnya memang menelepon Adriana sebelum ia membawa Vivian ke rumah sakit terdekat. Ia meminta gadis itu datang untuk mengurus sepupunya. "Bagaimana keadaannya?" tanya Adriana "Ia pingsan, tapi tak apa, dokter mengatakan ia hanya kelelahan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia di sini?" Adriana menghela napas sejenak, "Ia kemarin datang menemuiku. Ia bertanya tentangmu, dan aku sudah melarangnya untuk menemuimu. Aku berencana akan memberitahumu saat kau ke kantor nanti, tapi ternyata ... aku tak tahu jika ia sudah lebih dulu menemuimu." Dean mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku tak ingin terlibat dengannya kau tahu? Kau bisa mengambil alih dari sini. Ada sesuatu yang harus aku lakukan." "Kau mau ke mana? Ke kantor?" "Tidak. Aku harus melakukan sesuatu yang penting terlebih dulu." De
Sherly tahu pamannya sengaja meninggalkannya berdua dengan Dean setelah makan siang mereka selesai. Ia yakin pamannya memberikan kesempatan pada Dean untuk berbicara dengannya. Pamannya jelas menyukai Dean, terlihat dari penerimaannya pada pria itu. Jika Dean bukan orang yang tepat di matanya, pamannya itu tak akan mungkin mau repot-repot untuk duduk dan berbincang dengannya. "Sayang ... " Dean meraih jemari Sherly dengan lembut ketika mereka duduk berdampingan di atas sofa yang nyaman. "Aku tak tahan dengan diammu. Tolong jangan menyiksaku lagi." Dean menatap Sherly dengan tatapan memohon. "Aku benar-benar tak tahu mengapa ia tiba-tiba muncul di hadapanku, sungguh." "Tolong, maafkan aku." Dean kali ini mengecup jemari Sherly perlahan. Sherly menghembuskan napasnya kemudian. "Aku tahu itu bukan salahmu Dean." Ia akhirnya luluh dan menatap mata Dean yang penuh pengharapan. "Aku kesal mengetahui fakta bahwa rumah yang selama ini kau tinggali ada
"Bagaimana penampilan paman, Sayang?" tanya Alfred. Sudah kesekian kalinya Alfred mempertanyakan penampilannya pada Sherly yang sedang mengamatinya bercermin. Alfred begitu bersemangat saat beberapa hari yang lalu Sherly menceritakan tentang orangtua, serta rencana Dean yang ingin membawanya untuk mengunjungi ibunya pada akhir pekan. Sudah dapat ditebak, pamannya begitu senang dan tentunya sangat terkejut saat tahu siapa sebenarnya ibu dari Dean. Pamannya yang begitu bersemangat kemudian sedikit 'memaksa' untuk ikut menemui Joanna. "Paman, please jangan terlalu berlebihan. Bisakah kau membiarkan kami berdua saja yang menemui ibunya Dean untuk pertama kalinya? Setelah itu, untuk pertemuan berikutnya, aku akan mengizinkanmu ikut." "Hei, kau tahu seorang aktris jarang memiliki waktu luang atau libur. Semakin terkenal dirinya, semakin padat juga jadwalnya. Apa kau tak tahu, serial dramanya sedang memasuki sekuel terbaru, jadi sangat jarang baginya dapat meluangka
Wanita paruh baya yang belasan tahun tampak lebih muda dan cantik itu berhambur memeluk Dean dengan haru. Tampak binar kebahagiaan didalam kedua matanya yang berlinang air mata. "Kau akhirnya kembali," ucapnya dengan isak haru. Sherly mengapit lengan pamannya untuk menekan rasa harunya saat ia melihat sepasang ibu dan anak di hadapannya itu saling melepas rindu. Joanna melepaskan pelukannya dan kembali mengamati Dean yang menjulang di hadapannya. Ia mengusap wajah Dean dan mengamatinya dengan penuh syukur. "Maafkan aku, Nak, aku telah menjadi orangtua yang buruk buatmu," isaknya "Tidak, jangan berkata seperti itu. Aku yang sudah memperlakukanmu dengan tak adil. Maafkan aku, Mom, aku menyesal. Aku seharusnya tidak menghalangi kebahagiaanmu dengan bertindak egois." "Tidak, Sayang, kau tak bersalah. Aku senang akhirnya kau mau menemuiku. Apa kau tahu betapa leganya aku dapat melihatmu lagi?" Dean mengusap air mata dikedua pipi Joa