Home / Fantasi / Mr. Airlangga / 5. Rahasia jaman ini

Share

5. Rahasia jaman ini

last update Last Updated: 2021-07-07 21:49:13

Pelan-pelan aku turun dari tempat tidur, dan dengan gerakan sehalus ninja aku berjingkat-jingkat ke arah pintu. Persis seperti maling, bedanya aku berada di rumahku sendiri.

Ceklek!

Duh kenapa ini kunci suaranya berisik banget, aku merutuki kunci pintu yang hanya bisa diam tak berdaya. Dengan gerakan sangat pelan aku membuka daun pintu. Treeeettt … terdengar suara pintu yang berdecit memilukan, arrrggghhh … nih pintu kenapa jadi tidak bersahabat begini! Aku mengintip dari celah pintu yang berhasil aku buka. Dia ada di sana! Aku kejapkan mata dan kukucek berulang-ulang, berharap dengan kucekan mata akan merubah keadaan.

Aku intip lagi. Dia masih ada di sana, duduk di lantai dengan kaki bersilang dan tangan di atas lutut masing-masing seperti sedang melakukan yoga. Eh yoga?

Kali ini aku berdiri di ambang pintu melupakan acara intip-mengintip. Dia duduk dengan sangat tenang, kedua mata tertutup dengan nafas naik turun yang teratur. Mungkin dia sedang meditasi, orang-orang jaman dulu sering meditasi atau bertapa gitu kan? Pikirku seolah-olah aku tahu saja kebiasaan orang jaman dulu.

“Kamu bisa ke sini kalau kamu mau.”

Aku terlonjak hampir kejedot pintu, aku pikir dia tidak melihat. Matanya masih tertutup tapi dia tahu aku ada di sini.

“Kamu masih berdiri di sana?” kali ini dia menoleh ke arahku. Mukanya terlihat segar, pasti dia mendapat beauty sleep semalam. Tapi tunggu, bantal dan selimut masih terlipat rapi di sofa. Dia tidur di mana? Di lantai?

“Kamu tidur di mana?” tanyaku sembari menunjuk bantal dan selimut yang teronggok rapi dan manis.

“Aku bermeditasi, lebih memberikan aku ketenangan,” katanya dengan suara setenang samudra tanpak ombak.

“Jadi ini bukan mimpi” gumamku lirih, memandang ke arah Mr. Airlangga yang sekarang membuka matanya. Dengan semburat sinar matahari pagi wajahnya terlihat lebih jelas, ada aura agung yang terpancar darinya. Mungkin benar dia adalah seorang Pangeran. “Ok, jadi kamu beneran Pangeran dari kerajaan Singosari yang nyasar ke tahun corona ini … ”

“Corona … apa itu?” dia memotong kalimatku.

“Corona itu virus yang bikin sejagad raja jadi nyesek. Anyway itu nggak penting sekarang, yang lebih penting adalah apakah kamu tahu bagaimana bisa kembali?” dengan asumsi dia ingin kembali ke dunianya. Dia memandangku lurus yang membuat aku agak lega, sepertinya pandangan ini berarti “I know what to do”.

“Aku sendiri belum tahu bagaimana aku bisa kembali ke jamanku.”

Arrrrgggghhhh ….

“Tapi kamu punya rencanakan, untuk bisa mendapatkan cara untuk kembali?” tanyaku memburu. Dia harus kembali ke jamannya, kalau tidak bagaimana dia bisa survive di sini? Dia

itu penduduk gelap, tidak punya KTP, tidak punya pekerjaan walaupun dari segi fisik dia cocok banget jadi bodyguard.

“Aku akan terus bermeditasi ke Shangyang Widi meminta petunjuk supaya aku bisa kembali.”

Aku mengerutkan kening, maksudnya apa bermeditasi, duduk bersila seperti tadi? Mana cukup? Hari gini mana bisa hanya duduk bersila terus kamu bisa keluar dari masalah.

“Memang tidak ada cara yang lebih konkrit?”

“Saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan.”

Aku kurang puas dengan jawabannya, tetapi memang apa yang bisa aku lakukan juga? Aku bukan Tony stark yang super jenius dan bisa menciptakan robot dari rongsokan, masak telur ceplok aja nggak bisa.

“Ok, kita tenang dulu. Kalau kita tenang masalah pasti bisa dipecahkan,” padahal hatiku jauh dari tenang. Aku mau apakan orang ini, aku selundupkan terus-terusan di apartemenku? Gimana kalau Mas Rio tiba-tiba sidak ke sini? Baiklah, semua aku kesampingkan terlebih dahulu, sekarang ada hal lain yang lebih mendesak. Meeting dengan Mbak Dila!

*****

Aku meninggalkan Mr. Airlangga di parkiran, dia setuju untuk duduk manis di dalam mobil. setelah berdebat panjang dengan diri sendiri, aku memutuskan lebih baik dia diam di mobil dulu daripada membikin ricuh semua orang dengan baju dan celana yang dua size kekecilan itu. Setelah meeting selesai tujuan utamaku adalah mencarikan baju yang layak untuk dia. Dia akan tinggal di jaman ini untuk beberapa saat dan mempunyai pakaian yang layak adalah basic human right.

Mood Mbak Dila sangat baik pagi ini, mungkin karena awal bulan jadi baru saja gajian. Walaupun dengan posisi yang dia duduki aku tidak yakin akan ada bedanya antara awal bulan atau akhir bulan, kantong dia pasti sama tebalnya. Dia mengajukan beberapa ilustrasi cover buku, lebih tepatnya hanya menunjukkan karena pada akhirnya dia yang akan mengambil keputusan. Lagi pula aku tidak dalam mood untuk adu argumen dengan dia, aku punya masalah sendiri, rahasia yang orang seluruh dunia tidak tahu. Ya Tuhan, ini rahasia besar, aku bisa saja masuk BBC atau CNN kalau mereka tahu, jadi terkenal dan buku-bukuku bakalan jadi international best seller. Eh ngarep tetep ada.

“Jadi kita akan proceed dengan cover ini ya Lus,” kata Mbak Dila.

“Iya mbak, pilihan bagus” kataku manggut-manggut ingin cepat-cepat menyudahi meeting ini. Pikiranku tertuju ke Mr. Airlangga yang aku tinggalkan di parkiran, dalam hati aku merasa bersalah sudah meninggalkan dia sendirian, di parkiran pula.

“Ok, saya akan lanjutkan untuk proses layout supaya buku kamu bisa cepat dinikmati oleh para fans kamu,” kata mbak Dila sambil tersenyum.

Iya, biarpun aku bukan artis atau apa aku cukup punya penggemar. Para pembaca setia buku-bukuku, walaupun mereka bukan model yang berteriak-teriak ketika ketemu. Aku memang mengijinkan photo kecilku terpampang di akhir buku, para fansku biasanya mengenali diriku dari photo kecil mungil itu.

Aku berlari-lari menuju ke arah parkiran dan langsung bernafas lega menemukan Mr. Airlangga di sana, masih dengan posisi yang sama duduk di dalam mobil dengan kaca mobil yang aku buka lebar-lebar.

“Kamu nggak ke mana-mana sedari tadi?” tanyaku heran.

“Kamu meminta aku untuk menunggu di dalam sini,” katanya.

“Iya, tapi kamu juga boleh kok menunggu di luar mobil.”

Untung mobil aku parkir di bawah pohon yang cukup rindang, jadi udara lebih adem dari tempat lain yang tidak terlindung pohon.

“Ok Mister, sekarang waktu kamu mendapatkan basic human right!” kataku sembari menstater mobil.

Bersambung ...

Related chapters

  • Mr. Airlangga   6. Mr. Dazzling

    Aku menunggu di ruang ganti pria di salah satu brand yang menyediakan koleksi pakaian pria. Aku pilihkan beberapa potong kemeja, polo shirt dan celana Panjang. Entah bagaimana nanti rupanya Mr. Airlangga dengan baju modern atau apa pendapatnya tentang baju modern.Aku mencari-cari informasi tentang seorang Pangeran bernama Ra Putra Airlangga dari jaman Singosari atau majapahit, tetapi tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Jangan-jangan dia berbohong, pikirku mulai curiga.Terdengar bunyi “ping” pertanda ada pesan masuk di smartphoneku, dari Inge.“Kita sudah sampai di Jakarta, setelah elo terlantarkan dengan semena-mena di bandung. Kapan mau traktir fancy dinner?”Inget aja sama yang namanya perampokan. Dengan semangat aku hendak mengetik di layar handphone menceritakan kejadian luar bisa tentang si Pangeran Airlangga, lalu aku hapus. Apa mereka siap mendengar cerita ini? Aku menghembuskan nafas, tapi sampai kapan aku akan s

    Last Updated : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   7. Pacar?

    “Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja ter

    Last Updated : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   8. Mencari wangsit

    Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita k

    Last Updated : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   9. Hampir saja

    “Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.“Iya ada, di musium berna

    Last Updated : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   10. Maka dimulailah

    Aku membuka pintu lemari dengan terburu-buru, bersiap mental menghadapi muka masam Mr. Airlangga. Namun yang aku ketemukan membikin aku terbelalak, dia sedang duduk bersila dengan mata tertutup, wajahnya tampak tenang seperti sedang beryoga di tengah pesawahan hijau, bukan di lemari yang tertutup. Aku berjingkat-jingkat mundur beberapa langkah, mencoba memberikan ketenangan ke Mr. Airlangga. Dia sedang bermeditasi, dia membutuhkan ketenangan.Klontangggggg ….Kakiku menabrak botol hair spray yang entah kenapa memilih gegoleran manja di lantai, bukan duduk manis di meja seperti seharusnya. Aku melirik ke arah Mr. Airlangga, memberikan senyum terpolosku. Ternyata matanya masih terpejam, kok bisa?“Aku belum pernah menemukan orang yang sangat pandai membikin kegaduhan sampai aku bertemu dengan kamu”“Whoops … sorry” aku meletakkan hair spray di meja rias, menatap Mr. Airlangga yang sekarang sudah membuka mata. “Jad

    Last Updated : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   11. Kami beraksi!

    Jam 7 malam. Aku sudah siap dengan outfit pencuri ulung kelas dunia.Legging keceh warna hitam? Checked!Kaos turtleneck warna hitam? Checked, aku beli khusus tadi sampai muter-muter di mall, mereka rata-rata hanya menjual kaos berleher rendah atau berleher seksi. Siapa yang butuh coba? Aku akan memulai aksi menjadi pencuri kelas dunia, aku butuh turtleneck, bukan kaos seksi!Sneakers warna hitam? Super checked, walaupun tadi akhirnya aku beli juga sneakers yang sama berwarna orange. Keceh banget cintaaaa.Masker zoro warna hitam? Aku harus mengorbankan salah satu syall yang aku gunting untuk membikin masker dadakan ini, tapi super duper checked!Ta daaaa ….Aku melompat keluar dari kamar dengan kedua tangan terentang di udara, memamerkan kesiapan outfitku ke Mr. Airlangga. Dia memandangku dengan tatapan aneh.“Kenapa kamu berpakaian seperti itu?&rdq

    Last Updated : 2021-07-27
  • Mr. Airlangga   12. Petualangan Lusia

    Aku membayangkan diriku meringkuk di kamar sel penjara, memakai seragam napi. Sebentar, warna apa sih seragam napi itu? Yang biasanya aku lihat di tv warna orange untuk koruptor itu. Kalau aku boleh memilih warna aku akan memilih warna turqois, dengan ikat pinggang kecil berwarna dua tone lebih tua. Ketika aku sedang membayangkan padanan warna sepatu yang tepat untuk seragam penjaraku tiba-tiba tubuhku melayang, bukan karena kesurupan seperti di film exorcist itu tetapi karena Mr. Airlangga membopong tubuh mungilku. Belum sempat aku bereaksi, kami berdua sudah merunduk berlindung di samping lemari yang sangat besar. Proven, otakku memang lambat bekerja.Mr. Airlangga menaruh telunjuk di mulutnya sebagai tanda supaya aku tidak mengeluarkan suara. Aku mengagguk dengan patuh. Suara langkah-langkah kaki terdengar sangat dekat sekarang, sepertinya mereka hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami bersembunyi.“Nggak ada apa-apa kan?” suara seseorang

    Last Updated : 2021-07-28
  • Mr. Airlangga   13. Geng motor

    Salah satu dari mereka mengetuk kaca mobil pengemudi, mukanya cukup sangar dengan rambut potongan ala mohawk yang sudah jelas ketinggalan jaman banget. Dipikirnya masih trend potongan rambut model begitu. Dua orang berdiri di depan mobil salah satu memanggul pentungan kayu yang cukup besar dan satunya lagi menggenggam pisau lipat. Nyaliku langsung merosot, terjun bebas bak bungee jumping.Tok … tok … tok….Aku terlonjak, salah satu dari mereka juga mengetuk pintu tempat aku duduk, memberi kode supaya aku keluar. Dengan susah payah aku mencoba mengingat-ingat gerakan pertahanan diri yang pernah aku lihat di situs Youtube. Sia-sia tentu saja, dalam keadaan sekarang masih untung aku bisa mengingat namaku dengan baik.“Lusia, kamu diam saja di dalam sini” kata Mr. Airlangga, suaranya tenang. Seolah geng motor yang sedang mengerumuni kami bukanlah hal yang luar biasa.“Kamu mau ngapain?” tanyaku dengan suara yang ha

    Last Updated : 2021-07-30

Latest chapter

  • Mr. Airlangga   46. Pangeran kecil

    “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh

  • Mr. Airlangga   45. Rumah sakit

    Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M

  • Mr. Airlangga   44. Kram perut?

    “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i

  • Mr. Airlangga   43. Cinderella

    Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak

  • Mr. Airlangga   42. Tekat

    Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu

  • Mr. Airlangga   41. Saatnya tiba

    “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d

  • Mr. Airlangga   40. Mama sang Detektif

    “What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli

  • Mr. Airlangga   39. Pulang

    Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai

  • Mr. Airlangga   38. Kehamilan dan kebingungan

    Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den

DMCA.com Protection Status