Home / Fantasi / Mr. Airlangga / 9. Hampir saja

Share

9. Hampir saja

last update Last Updated: 2021-07-07 23:05:05

“Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.

“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.

Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.

“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.

“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.

“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.

“Iya ada, di musium bernama Louvre di kota bernama Paris dan negara bernama Perancis” terangku. Aku ingat pertanyaan awalku yang belum dijawab olehnya malah terpotong dengan obrolan tentang Da vinci code. “Jadi kamu sudah tahu gimana bisa pulang?” tanyaku dengan nada sungguh-sungguh.

Dia hanya menggeleng tanpa memandang ke arahku.

Aduuuh, orang ini gimana sih? Jangan-jangan sekarang dia tidak mau pulang, setelah keasikan membaca novelnya Dan Brown, menonton Avengers dan merasakan nikmatnya bakmi GM!

“Apakah kita bisa ke tempat di mana Monalisa berada?”

Ok, kali ini aku kesel tingkat dewa. Bukannya fokus untuk mencari tahu jalan bagaimana bisa pulang eee dia malah terobsesi dengan Monalisa, pengen ketemu sengala dengan si mbak mona. Dikiranya ke Paris itu sama jaraknya dengan ke bogor. Aku merengut kesal.

“Mo na li sa?” lanjutnya mada sambil melambaikan tangan ke arahku.

“Paris itu jauh, jauuuh banget. Si Monalisa itu kecil, tidak sebesar dugaan kamu. Mana harus berdesakan dengan puluhan orang lainnya” jawabku bersungut-sungut. “Sepertinya kamu menjadi terlalu kerasan tinggal di jaman ini” lanjutku.

Dia tidak menghiraukan omonganku matanya masih tertuju ke buku. Sial!

Aku sedang mencari-cari sesuatu untuk menimpuknya ketika hanphoneku mendadak berbunyi jejeritan. Ketika aku melihat caller ID yang sedang melonjak-lonjak di layar hanphone, aku hampir terjatuh dari sofa, detak jantungku langsung berpacu bak habis balapan dengan Usain Bolt. Mas Rio!

Aku melihat layar handphone dengan penuh ketakutan, seperti melihat kuntilanak di siang bolong, walaupun jujur aku belum pernah melihat kuntilanak.

“Kamu tidak mau mengangkat benda kecil yang suka rewel itu?” Dia bertanya tanpa dosa. Suka rewel, memangnya bayi! Aku memaksa otakku bekerja keras untuk memutuskan mengangkat atau tidak panggilan tersebut, beberapa alasan yang bisa aku berikan nanti untuk ngeles ke Mas Rio. Tetapi ternyata otakku sepertinya sedang ngambek, kerjanya lelet banget bak komputer masih berpentium 2.

“Halo” jawabku akhirnya, dengan suara agak gemetar bak menghadapi seorang algojo.

“Lama banget ngangkatnya” kata Mas Rio dengan nanda penuh kecurigaan. Aku langsung menciut bak kucing menghadapi anjing German sheperd.

“Handphone di kamar mas, nggak denger. Tumben nelpon?” pertanyaan yang langsung aku sesali karena tidak aneh Mas Rio menelpon aku, adik semata wayangnya ini. Biarpun aku sudah berusia 28 tahun, tetapi dia masih memperlakukan aku bak usia 8 tahun.

“Aku bawa martabak nih, sampai ketemu di atas yah.”

Tut … tut … tut ….

Mati aku!

Dengan sontak aku berdiri dari sofa, dilanda kepanikan tingkat dewa. Think Lusia, think … think … think! Aku memaksa otakku bekerja secepat otak Einstein walaupun jelas sia-sia.

“Ada yang salah dengan tempat duduk kamu?” Mr. Airlangga bertanya tanpa dosa. Aku mendelik ke arahnya.

“Ayok cepetan berdiri” perintahku kepadanya, tangan mungilku mencekal tangannya yang jelas lebih besar dan berotot. Namun tanpa patah semangat aku menariknya dengan segenap kekuatan yang aku punya.

“Ada apa memangnya?” dia bertanya kebingungan.

“Kamu harus ngumpet, sekarang juga!” Dia berjalan di belakangku, jelas-jelas bukan karena kekuatan tarikan tanganku. Mungkin dia kasihan aku bakalan jatuh pingsan menarik-narik tangannya. Aku memindai seluruh ruangan, memilah-milah tempat mana yang bisa dijadikan lahan persembunyian si makhluk besar ini. aku Tarik dia menuju walk in closet miniku, aku buka salah satu lemari baju dengan pintu geser. “Masuk dan duduk di sini!” perintahku ke Mr. Airlangga.

Dia memberikan pandangan “kamu main-main yah?” dengan menaikkan satu alisnya, aku balas dengan pelototan sangar. Akhirnya dengan patuh dia menyumpalkan tubuh besarnya ke lemari bajuku.

Aku mengatur nafas yang naik turun satu-satu, mencoba menghilangkan kengerianku ketika aku mendengar pintu depan dibuka. Dengan gaya sesantai mungkin aku keluar dari kamar, menyandarkan satu tangan di pintu dan tangan lainnya berkacak pinggang.

Mas Rio memandangku dengan tatapan aneh “kamu ngapain pose-pose segala” katanya. Aku langsung menurunkan kedua tanganku, memang gayaku terlihat sangat aneh.

“Nggak papa … lagi nunggu martabak aja” jawabku dengan pandangan mata tidak fokus.

Mas Rio mengambil piring dan garpu dari dapur sebelum meletakkannya dan sebox martabak manis yang menebarkan bau wangi menggiurkan di meja makan mungilku.

“Niiih buat my little sista” dengan bangga dia membuka box martabak. Bau wanginya langsung membikin aku berlari dan duduk dengan manis di meja makan. melupakan Mr. Airlangga yang sedang meringkuk di lemari bajuku.

“Tumben mas ke sini?” tanyaku dengan mulut penuh martabak.

“Yeee … kakaknya ke sini kok malah ditumbenin. Kamu di suruh pulang sama Mama”

Berbeda dengan aku yang dengan lincah kepingin hidup mandiri, kakak cowokku ini masih dengan bergembira ria tinggal bersama kedua orang tuaku. Masih belum bisa meninggalkan hidup yang semuanya serba tersedia dan rapi. Aku suka mengolok-olok dia, sebagai cowok berusia 30 tahun harusnya dia sudah hidup sendiri. Mandiri seperti bachelor-bachelor di luar negeri itu, tetapi dia tetep saja cuek bebek nangkring di rumah Papa dan Mama.

Setelah kenyang melahap martabak Mas Rio beralih ke sofa, membaringkan tubuhnya dengan santai dan mulai memindah-mindah channel tv. Kalau sudah posisi begini biasanya dia akan lama tinggal di sini, nyaliku kembali ciut.

“Mas aku mau ngelanjutin nulis, butuh privasi biar inspirasi mengalir” kataku.

“Aku mau nginep di sini aja dek, aku bawa baju kok di tas” responnya cuek tanpa sedikitpun menengok ke arahku. Jantungku langsung berpacu bak sedang dikejar-kejar oleh seekor cheetah. Gimana kalau dia menginap di sini, aku nggak mungkin membiarkan Mr. Airlangga meringkuk semalaman di lemari. Bisa pegel linu dia besok pagi.

“Nggak bisa Mas, aku harus nulis!” jawabku terlalu keras. Mas Rio langsung menoleh ke arahku penuh keheranan. Dia memandangku penuh selidik.

“Kamu punya pacar?”

Deg!

Dari segala kemungkinan yang ada kenapa dia berhipotesa yang mengikutsertakan laki-laki di dalamnya.

“Nggak Mas, mau nulis. Udah mepet deadline nih, aku bisa kena semprot Mbak Dila kalau tidak bisa menyelesaikan naskah sesuai jadwal” kilahku kurang meyakinkan.

“Lha bukannya buku baru kamu baru mau terbit?”

 Doooooh kenapa sih kakakku ini mendadak jadi tahu semua detail kehidupanku. “Aku ada kontrak dua naskah, baru satu yang selesai” jawabku sebisanya.

Mas Rio menghela nafas lalu dengan malas bangkit dari sofa. Hatiku mulai berbunga-bunga, sepertinya dia termakan gombalanku.

“Udah dibawain martabak tetep aja masih ngusir” katanya sewot.

“Nggak mas … asli, karena dikejar deadline. Nanti-nanti boleh nginep kok, aku traktir juga deh … okeh … okeh” kataku bersuka cita sambil mendorong dia untuk cepat-cepat keluar dari apartemen.

“Jangan lupa weekend ini pulang. Mama sudah ngenes kangen kamu” katanya sambil ngucek-ucek rambutku. Aku balas dengan senyuman termanis yang aku punya.

Setelah memastikan Mas Rio sudah masuk ke dalam lift secepat kilat aku langsung berlari ke dalam kamar. Jangan-jangan Mr. Airlangga sudah kena kram kelamaan meringkuk di lemari.

Bersambung ...

Related chapters

  • Mr. Airlangga   10. Maka dimulailah

    Aku membuka pintu lemari dengan terburu-buru, bersiap mental menghadapi muka masam Mr. Airlangga. Namun yang aku ketemukan membikin aku terbelalak, dia sedang duduk bersila dengan mata tertutup, wajahnya tampak tenang seperti sedang beryoga di tengah pesawahan hijau, bukan di lemari yang tertutup. Aku berjingkat-jingkat mundur beberapa langkah, mencoba memberikan ketenangan ke Mr. Airlangga. Dia sedang bermeditasi, dia membutuhkan ketenangan.Klontangggggg ….Kakiku menabrak botol hair spray yang entah kenapa memilih gegoleran manja di lantai, bukan duduk manis di meja seperti seharusnya. Aku melirik ke arah Mr. Airlangga, memberikan senyum terpolosku. Ternyata matanya masih terpejam, kok bisa?“Aku belum pernah menemukan orang yang sangat pandai membikin kegaduhan sampai aku bertemu dengan kamu”“Whoops … sorry” aku meletakkan hair spray di meja rias, menatap Mr. Airlangga yang sekarang sudah membuka mata. “Jad

    Last Updated : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   11. Kami beraksi!

    Jam 7 malam. Aku sudah siap dengan outfit pencuri ulung kelas dunia.Legging keceh warna hitam? Checked!Kaos turtleneck warna hitam? Checked, aku beli khusus tadi sampai muter-muter di mall, mereka rata-rata hanya menjual kaos berleher rendah atau berleher seksi. Siapa yang butuh coba? Aku akan memulai aksi menjadi pencuri kelas dunia, aku butuh turtleneck, bukan kaos seksi!Sneakers warna hitam? Super checked, walaupun tadi akhirnya aku beli juga sneakers yang sama berwarna orange. Keceh banget cintaaaa.Masker zoro warna hitam? Aku harus mengorbankan salah satu syall yang aku gunting untuk membikin masker dadakan ini, tapi super duper checked!Ta daaaa ….Aku melompat keluar dari kamar dengan kedua tangan terentang di udara, memamerkan kesiapan outfitku ke Mr. Airlangga. Dia memandangku dengan tatapan aneh.“Kenapa kamu berpakaian seperti itu?&rdq

    Last Updated : 2021-07-27
  • Mr. Airlangga   12. Petualangan Lusia

    Aku membayangkan diriku meringkuk di kamar sel penjara, memakai seragam napi. Sebentar, warna apa sih seragam napi itu? Yang biasanya aku lihat di tv warna orange untuk koruptor itu. Kalau aku boleh memilih warna aku akan memilih warna turqois, dengan ikat pinggang kecil berwarna dua tone lebih tua. Ketika aku sedang membayangkan padanan warna sepatu yang tepat untuk seragam penjaraku tiba-tiba tubuhku melayang, bukan karena kesurupan seperti di film exorcist itu tetapi karena Mr. Airlangga membopong tubuh mungilku. Belum sempat aku bereaksi, kami berdua sudah merunduk berlindung di samping lemari yang sangat besar. Proven, otakku memang lambat bekerja.Mr. Airlangga menaruh telunjuk di mulutnya sebagai tanda supaya aku tidak mengeluarkan suara. Aku mengagguk dengan patuh. Suara langkah-langkah kaki terdengar sangat dekat sekarang, sepertinya mereka hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami bersembunyi.“Nggak ada apa-apa kan?” suara seseorang

    Last Updated : 2021-07-28
  • Mr. Airlangga   13. Geng motor

    Salah satu dari mereka mengetuk kaca mobil pengemudi, mukanya cukup sangar dengan rambut potongan ala mohawk yang sudah jelas ketinggalan jaman banget. Dipikirnya masih trend potongan rambut model begitu. Dua orang berdiri di depan mobil salah satu memanggul pentungan kayu yang cukup besar dan satunya lagi menggenggam pisau lipat. Nyaliku langsung merosot, terjun bebas bak bungee jumping.Tok … tok … tok….Aku terlonjak, salah satu dari mereka juga mengetuk pintu tempat aku duduk, memberi kode supaya aku keluar. Dengan susah payah aku mencoba mengingat-ingat gerakan pertahanan diri yang pernah aku lihat di situs Youtube. Sia-sia tentu saja, dalam keadaan sekarang masih untung aku bisa mengingat namaku dengan baik.“Lusia, kamu diam saja di dalam sini” kata Mr. Airlangga, suaranya tenang. Seolah geng motor yang sedang mengerumuni kami bukanlah hal yang luar biasa.“Kamu mau ngapain?” tanyaku dengan suara yang ha

    Last Updated : 2021-07-30
  • Mr. Airlangga   14. Candi Bajang ratu

    “Jadi kita akan ke mana?” Tanyaku setelah kami berdua duduk manis di dalam mobil. Mr. Airlangga. Tidak saja siap dengan sarapan yang cukup, ok … ya, agak berlebihan. Aku menyikat dua buah telur mata sapi, berikut satu piring penuh nasi goreng, ditambah dua tangkup toast dengan selai strawberry dan dua buah pisang. Dan beberapa irisan semangka. Kira-kira dua buah tahu goreng, ok tiga buah ... aku mengaku. Itu semua aku persiapkan untuk petualangan yang akan penuh rintangan kedepannya. Paling tidak begitulah imajinasiku.“Ke candi Bajang ratu.” Jawab Mr. Airlangga tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Laki-laki ini memang paling pintar untuk tidak menghiraukan orang lain.“Ke candi Bajang ratu Pak,” kataku ke Pak Suharyono yang pagi ini juga tampak segar. Tidak tampak sisa kelelahan atau ketakutan tadi malam, mungkin dia mendapatkan tidur yang cukup, tidak seperti aku yang hanya berhasil terbang ke la la land hanya beberapa jam.

    Last Updated : 2021-07-31
  • Mr. Airlangga   15. Karanganyar

    Mr. Airlangga menyimpan batu lempeng kuno simbol kerajaan Majapahit itu ke dalam saku celananya, seperti menyimpan uang lima ratus rupiah. Aku terpekik ngeri.“Bagaimana kalau batu itu nanti pecah?”Dia tersenyum geli, seolah-olah ucapanku terdengar sangat lucu. “Lusia, ini adalah batu obsidian. Batu yang terbentuk oleh lahar yang mendingin. Kamu kira batu ini akan bisa pecah karena aku simpan di saku celana?”Batu obsidian, hhmm … aku harus google tipe batu macam apa itu. Aku menjadi malu sendiri tentang pengetahuan geologiku yang sangat minim. Menambahkan buku science ke dalam rak bacaan sepertinya ide yang sangat cemerlang, supaya aku lebih terpelajar.“Jadi sekarang kita ngapain?” Tanyaku polos.“Pulang, sudah waktunya untuk memejamkan mata.”What … pulang, tidur gitu saja? Orang satu ini memang sangat pintar mengontrol suspense, ketika lagi tegang-tegangnya langsung diminta u

    Last Updated : 2021-08-04
  • Mr. Airlangga   16. Adik cupid

    Kami berpamitan ke Pak Suharyono di stasiun kereta api Surabaya, dia tampak terharu biru ketika mengucapkan selamat tinggal terhadap kami. Rupanya kami adalah klien yang cukup membuatnya terkesan. Mungkin karena pengalaman dengan geng motor, dia mewanti-wanti untuk mengabari kalau kami ke Surabaya lagi, beberapa kali meminta kami untuk rajin-rajin bertukar pesan seperti kita adalah best friends forever. Aku meresponnya dengan tersenyum, tidak lupa memberi pesan untuk berhati-hati ketika sedang mengemudi mobil, jangan sampai diganggu geng motor, apalagi nanti tidak ada Mr. Airlangga yang akan menyelamatkan dia.Gerbong kereta yang kami tumpangi dari Surabaya ke Solo tidak terlalu penuh. Aku duduk berseberangan dengan Mr. Airlangga yang sekarang sedang memandang ke luar jendela dengan memutar-mutar batu lempeng simbol kerajaan Majapahit di tangannya. Aku mendadak trenyuh, mungkin dia rindu untuk pulang ke jamannya. Bayangkan kalau seandainya aku yang tersasar ke sana, mungkin s

    Last Updated : 2021-08-05
  • Mr. Airlangga   17. Begal

    Kami sampai di stasiun Solo Bapalan sore hari, hanya memakan waktu sekitar 3.5 jam dari Surabaya ke solo dengan kereta api. 3.5 jam yang cukup romantis dengan Mr. Airlangga, mungkin aku akan merubah cerita novelku nanti menjadi cerita romantis, misalnya berjudul “Cinta dari Kereta,” sepertinya akan cukup menjual. Kisah cinta yang cukup membumi karena berawal di kereta api, tentu saja aku tidak akan menceritakan asal muasal Mr. Airlangga. Mungkin aku hanya akan menyebutnya sebagai Mr. A, seperti Carrie Bradshaw menyebut cintanya dengan nama alias, Mr. Big. Sayang laptopku selalu dikolonisasi sang Pangeran itu, jadi aku tidak bisa menulis.Aku membongkar isi koper kecilku yang rata-rata berisi baju kotor, tidak ada baju bersih apalagi outfit yang tepat untuk petualanganku di Karanganyar. Ini tidak tepat, aku tidak bisa berpetualang dengan baju seadanya, apalagi dengan baju kotor dan bau.Baiklah, petualangan pertama akan di mulai di mall, mencari baju bersih.

    Last Updated : 2021-08-08

Latest chapter

  • Mr. Airlangga   46. Pangeran kecil

    “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh

  • Mr. Airlangga   45. Rumah sakit

    Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M

  • Mr. Airlangga   44. Kram perut?

    “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i

  • Mr. Airlangga   43. Cinderella

    Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak

  • Mr. Airlangga   42. Tekat

    Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu

  • Mr. Airlangga   41. Saatnya tiba

    “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d

  • Mr. Airlangga   40. Mama sang Detektif

    “What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli

  • Mr. Airlangga   39. Pulang

    Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai

  • Mr. Airlangga   38. Kehamilan dan kebingungan

    Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den

DMCA.com Protection Status