Aku menunggu di ruang ganti pria di salah satu brand yang menyediakan koleksi pakaian pria. Aku pilihkan beberapa potong kemeja, polo shirt dan celana Panjang. Entah bagaimana nanti rupanya Mr. Airlangga dengan baju modern atau apa pendapatnya tentang baju modern.
Aku mencari-cari informasi tentang seorang Pangeran bernama Ra Putra Airlangga dari jaman Singosari atau majapahit, tetapi tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Jangan-jangan dia berbohong, pikirku mulai curiga.
Terdengar bunyi “ping” pertanda ada pesan masuk di smartphoneku, dari Inge.
“Kita sudah sampai di Jakarta, setelah elo terlantarkan dengan semena-mena di bandung. Kapan mau traktir fancy dinner?”
Inget aja sama yang namanya perampokan. Dengan semangat aku hendak mengetik di layar handphone menceritakan kejadian luar bisa tentang si Pangeran Airlangga, lalu aku hapus. Apa mereka siap mendengar cerita ini? Aku menghembuskan nafas, tapi sampai kapan aku akan simpan ini sebagai rahasia? Cepat atau lambat akan ada orang yang tahu, kecuali kalau si Mr. Airlangga bisa kembali ke jamannya besok pagi atau nanti sore, barulah mungkin aku akan kuat jaga rahasia. Saat ini benteng pertahananku sudah mulai goyah.
Aku hendak mengetik pesan yang berbeda ke Inge ketika pintu kamar pas terbuka, di sana mengenakan kemeja kasual biru dengan celana chino warna beige yang tadi aku pilih dengan bangga, berdiri dengan sangat gagah Mr. Airlangga. Untuk beberapa detik aku tidak mengedipkan mata karena takjub, ternyata setelah berpakaian modern dia tampak seperti seseorang dari jaman ini, tidak ada tanda-tanda bahwa dia sudah berumur ratusan tahun atau biasanya dia menunggang kuda dengan bertelanjang dada.
“Aku cukup suka dengan pakaian yang kamu pilihkan,” katanya yang sukses membangunkan aku dari alam ketakjubanku.
“Oh … iya, bagus kok … bagus,” kataku sekasual mungkin untuk menyembunyikan ketakjubanku. “Kamu sudah coba semuanya?”
Dia jawab dengan anggukan.
“Ok, penampilan kamu sudah tidak terlalu mencolok lagi. Tapi ada yang kurang.” Aku memandangi kakinya yang hanya beralasan sendal bertali-tali itu. “Kita harus menemukan alas kaki yang tepat,” kataku sambil menunjuk ke kakinya.
“Tunggu” katanya, tangannya merogoh sesuatu dari tumpukan baju lalu memberikan kantung yang berbunyi gemerincing. Aku memicingkan mata lalu membuka kantong kain tersebut yang ternyata berisi koin-koin emas.
“Apa ini?” tanyaku mengamati koin-koin emas yang sekarang sudah berpindah ketanganku.
“Aku tidak tahu bagaimana cara kalian berdagang di jaman ini, tetapi aku harap ini bisa berguna.”
“Ini uang?” tanyaku masih tidak percaya.
Dia mengangguk “ini yang dipakai untuk berjual beli di jamanku.”
“Ini banyak sekali” kataku tidak percaya dengan banyaknya koin di dalam kantung kain tersebut, lalu dengan terburu-buru menyembunyikan koin-koin tersebut kedalam tas takut ada orang lain yang melihat. Bagaimana aku bisa menggunakan koin tersebut, pastinya aku tidak akan langsung menggunakannya untuk membayar baju-baju ini.
“Nggak usah, aku punya uang kok. Lagian uang di sini kan berbeda,” jawabku hendak mengembalikan koin-koin tersebut yang langsung ditolak oleh Mr. Airlangga.
“Simpanlah, mungkin kamu bisa menggunakannya lain kali” katanya mendorong genggamanku yang berisi kantung koin emas.
Baiklah untuk saat ini akan aku simpan koin-koin tersebut, bagaimana menggunakannya itu urusan nanti.
Aku berjalan dengan tersenyum kecil sembari sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga, dengan setelah kemeja biru, chino warna beige dan sepatu kasual warna cokelat yang spesial aku pilihakan dia tampak sangat dazzling. Rambut man bun nya menambah kemacoan dia, mirip seperti Kit Harrington gitu deh. Memang laki-laki itu boleh kok berambut panjang, asal mereka mengerti aja cara menatanya, kalau tidak mengerti belajar sini sama Mr. Airlangga. Beberapa wanita yang berpapasan biasanya akan memandang takjub ke arah Mr. Airlangga yang langsung aku pelototin dengan sadis. Mereka tidak tahu lelaki tampan yang sedang berjalan di sampingku ini adalah seorang Pangeran. Pangeran tulen, atau paling tidak aku harap begitu. Tentunya Mr. Airlangga tidak mengetahui kalau aku mengumbar pelototan sadis ke beberapa orang yang berpapasan dengan kami, kalau dia tahu nanti aku disangka phsyco lagi.
“Tempat apa ini?” tanyanya ketika kami duduk di salah satu restoran Indonesia. Sehabis bertemu dengan Mbak Dila dan memberikan hak-hak sebagai manusia bebas ke Mr. Airlangga, perutku sudah bersuara bak musik tango kalau tidak segera aku isi sebentar lagi konser metal pasti akan membahana dari dalam sana.
“Ini namanya restoran, tempat kita bisa membeli makanan” aku menerangkan dengan berbisik, bak memberikan info rahasia ke agent CIA.
“Aaahhh …” jawabnya manggut-manggut, lalu menebarkan pandangan berkeliling. Kami datang relatif agak awal, belum jam makan siang jadi restoran masih cukup sepi pengunjung.
“Jadi apa yang menjadi makanan di jaman sekarang?” tanyanya. Tadi pagi aku membikin toast dengan selai strawberry kesukaanku yang di makan dengan kening berkerut olehnya. Setelah menghabiskan satu tangkup toast dia meminta lagi, dan lagi dan lagi sampai persediaan roti tawarku habis diembat olehnya. I know mister, perpaduan antara toast dan selai strawberry adalah lethal.
“Di Indonesia … atau nusantara banyak orang makan nasi. Tapi di negara-negara lain mereka punya makanan pokok yang berbeda-beda,” aku menerangkan dengan tampang genius bak Einstein menerangkan teory relativitas. Lalu dengan gaya “I am a smart girl I know everything” aku menunjukkan foto makanan dari berbagai macam negara dari smartphoneku. Dia memandang dengan takjub.
Makanan yang kami pesan, lebih tepatnya makanan yang aku pesan datang. Aku memesan nasi rawon dengan sambal merah merona yang tampak menggoda, sedangkan untuk si time traveller aku pesankan bebek goreng berikut sambal hijaunya. Bau harum makanan membuat perutku berdisko bak musik tahun 80an. Mr. Airlangga mulai menikmati makanannya dengan tangan, ada aura yang sangat elegan dari cara dia makan. Sesuatu yang entah kenapa belum pernah aku temui. Bagaimana orang bisa bergaya elegan hanya dengan makan, dengan tangan pula? Mungkin karena dia bukan orang biasa, dia adalah seorang Pangeran.
“Kenapa kamu belum menyentuh makanan kamu?” tanyanya ketika melihat aku hanya terbengong dan belum menyentuk sang rawon di depanku.
“Oh iya” dengan terburu-buru aku menyendokkan rawon ke mulutku jauh dari gaya elegan. “Bagaimana orang-orang di jaman kamu makan?” tanyaku berbisik, takut terdengar oleh orang dari meja sebelah.
Dia mengerutkan kening “menggunakan ini” katanya sambil mengangkat kedua tangannya.
“Belum ada sendok di jaman kamu?” tanyaku penasaran.
“Sendok?” tanyanya tidak mengerti. Aku mengangkat sendok yang aku pegang di tangan kananku.
“Ah tidak, kami belum menggunakan benda itu untuk makan” katanya dengan tenang lalu melanjutkan menikmati makannya.
“Kalau nasi, sudah ada kan di jaman kamu?” tanyaku lagi masih penasaran.
“Ada. Yang tidak ada itu orang yang berbicara sangat banyak di waktu makan” katanya tenang. Aku mencemberutkan bibir, kembali menyuapkan rawon ke mulutku kali ini dengan sambal yang terlalu banyak yang membikin mulut sukses cetar kepedasan. Aku buru-buru meminum es teh manis yang sedari tadi menunggu manis di meja.
“Jadi … kamu adalah seorang Pangeran, apa kamu harus sering berperang?” tanyaku dengan suara extra berbisik.
“Hem” jawabnya singkat, pandangannya tertuju ke arah makanan.
“Membunuh orang?”
Kali ini dia menghentikan aktifitas makannya, menatap lurus ke arahku “berperang itu adalah membunuh atau dibunuh, bukan bertemu lalu bersalaman sambil tertawa” katanya dengan nada masih sangat tenang. Tiba-tiba aku mengkeret membayangkan sudah berapa banyak perang yang dia lalui dan berapa banyak nyawa melayang di tangannya. Aku memandang laki-laki di depanku ini, yang sedang memakan bebek sambal hijau dengan gaya sangat elegan, yang terlihat sangat berwibawa hanya dengan balutan kemeja biru, benarkah dia mampu mencabut nyawa orang lain? “Jangan takut, aku tidak akan melakukannya di sini” katanya seperti bisa membaca pikiranku.
Pastinya di jamannya hidup sangat berbeda, menyerbu ke negara lain adalah bentuk kejayaan, bukan seperti jaman ini tidak sembarangan ada negara berani menyerbu negara lain. Konsekewensinya sangat besar.
“Jadi, kamu sudah punya ide bagaimana caranya kembali ke jaman kamu?” tanyaku.
“Belum” jawabnya singkat sambil menggeleng.
Confirmed! Aku akan stuck dengan laki-laki ini untuk beberapa waktu. Bagaimana caranya aku bisa menerangkan ke teman-teman dan keluargaku.
Bersambung ...
“Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja ter
Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita k
“Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.“Iya ada, di musium berna
Aku membuka pintu lemari dengan terburu-buru, bersiap mental menghadapi muka masam Mr. Airlangga. Namun yang aku ketemukan membikin aku terbelalak, dia sedang duduk bersila dengan mata tertutup, wajahnya tampak tenang seperti sedang beryoga di tengah pesawahan hijau, bukan di lemari yang tertutup. Aku berjingkat-jingkat mundur beberapa langkah, mencoba memberikan ketenangan ke Mr. Airlangga. Dia sedang bermeditasi, dia membutuhkan ketenangan.Klontangggggg ….Kakiku menabrak botol hair spray yang entah kenapa memilih gegoleran manja di lantai, bukan duduk manis di meja seperti seharusnya. Aku melirik ke arah Mr. Airlangga, memberikan senyum terpolosku. Ternyata matanya masih terpejam, kok bisa?“Aku belum pernah menemukan orang yang sangat pandai membikin kegaduhan sampai aku bertemu dengan kamu”“Whoops … sorry” aku meletakkan hair spray di meja rias, menatap Mr. Airlangga yang sekarang sudah membuka mata. “Jad
Jam 7 malam. Aku sudah siap dengan outfit pencuri ulung kelas dunia.Legging keceh warna hitam? Checked!Kaos turtleneck warna hitam? Checked, aku beli khusus tadi sampai muter-muter di mall, mereka rata-rata hanya menjual kaos berleher rendah atau berleher seksi. Siapa yang butuh coba? Aku akan memulai aksi menjadi pencuri kelas dunia, aku butuh turtleneck, bukan kaos seksi!Sneakers warna hitam? Super checked, walaupun tadi akhirnya aku beli juga sneakers yang sama berwarna orange. Keceh banget cintaaaa.Masker zoro warna hitam? Aku harus mengorbankan salah satu syall yang aku gunting untuk membikin masker dadakan ini, tapi super duper checked!Ta daaaa ….Aku melompat keluar dari kamar dengan kedua tangan terentang di udara, memamerkan kesiapan outfitku ke Mr. Airlangga. Dia memandangku dengan tatapan aneh.“Kenapa kamu berpakaian seperti itu?&rdq
Aku membayangkan diriku meringkuk di kamar sel penjara, memakai seragam napi. Sebentar, warna apa sih seragam napi itu? Yang biasanya aku lihat di tv warna orange untuk koruptor itu. Kalau aku boleh memilih warna aku akan memilih warna turqois, dengan ikat pinggang kecil berwarna dua tone lebih tua. Ketika aku sedang membayangkan padanan warna sepatu yang tepat untuk seragam penjaraku tiba-tiba tubuhku melayang, bukan karena kesurupan seperti di film exorcist itu tetapi karena Mr. Airlangga membopong tubuh mungilku. Belum sempat aku bereaksi, kami berdua sudah merunduk berlindung di samping lemari yang sangat besar. Proven, otakku memang lambat bekerja.Mr. Airlangga menaruh telunjuk di mulutnya sebagai tanda supaya aku tidak mengeluarkan suara. Aku mengagguk dengan patuh. Suara langkah-langkah kaki terdengar sangat dekat sekarang, sepertinya mereka hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami bersembunyi.“Nggak ada apa-apa kan?” suara seseorang
Salah satu dari mereka mengetuk kaca mobil pengemudi, mukanya cukup sangar dengan rambut potongan ala mohawk yang sudah jelas ketinggalan jaman banget. Dipikirnya masih trend potongan rambut model begitu. Dua orang berdiri di depan mobil salah satu memanggul pentungan kayu yang cukup besar dan satunya lagi menggenggam pisau lipat. Nyaliku langsung merosot, terjun bebas bak bungee jumping.Tok … tok … tok….Aku terlonjak, salah satu dari mereka juga mengetuk pintu tempat aku duduk, memberi kode supaya aku keluar. Dengan susah payah aku mencoba mengingat-ingat gerakan pertahanan diri yang pernah aku lihat di situs Youtube. Sia-sia tentu saja, dalam keadaan sekarang masih untung aku bisa mengingat namaku dengan baik.“Lusia, kamu diam saja di dalam sini” kata Mr. Airlangga, suaranya tenang. Seolah geng motor yang sedang mengerumuni kami bukanlah hal yang luar biasa.“Kamu mau ngapain?” tanyaku dengan suara yang ha
“Jadi kita akan ke mana?” Tanyaku setelah kami berdua duduk manis di dalam mobil. Mr. Airlangga. Tidak saja siap dengan sarapan yang cukup, ok … ya, agak berlebihan. Aku menyikat dua buah telur mata sapi, berikut satu piring penuh nasi goreng, ditambah dua tangkup toast dengan selai strawberry dan dua buah pisang. Dan beberapa irisan semangka. Kira-kira dua buah tahu goreng, ok tiga buah ... aku mengaku. Itu semua aku persiapkan untuk petualangan yang akan penuh rintangan kedepannya. Paling tidak begitulah imajinasiku.“Ke candi Bajang ratu.” Jawab Mr. Airlangga tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Laki-laki ini memang paling pintar untuk tidak menghiraukan orang lain.“Ke candi Bajang ratu Pak,” kataku ke Pak Suharyono yang pagi ini juga tampak segar. Tidak tampak sisa kelelahan atau ketakutan tadi malam, mungkin dia mendapatkan tidur yang cukup, tidak seperti aku yang hanya berhasil terbang ke la la land hanya beberapa jam.
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d
“What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli
Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai
Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den