Kiana merangkai bunga untuk mengisi waktunya yang kosong. Entah sudah berapa lama, ia sulit untuk tidur di waktu yang tepat.
Malam sangat sunyi. Rembulan bahkan tidak begitu terang. Bintang juga tidak terlihat. Kiana mulai bosan dan membiarkan tangkai bunga berserakan."Mau ke mana?" Langkah Kiana terhenti. Ia menoleh ke arah sumber suara. "Rael? Sejak kapan kau di sini?" tanya Kiana. "Kau datang melalui pagar lagi?" lanjutnya. "Melewati jalan wajar terlalu biasa," jawab Rael. "Aku terkadang heran. Bagaimana kau bisa melewati semuanya?""Karena aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki." Kiana terkekeh. Ucapan Rael terdengar puitis. Kiana tidak seberapa menanggapi. Ia tetap berpaling dari tempatnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, Rael meraih lengan Kiana."Ada apa?" tanya Kiana."Bisakah temani aKiana menuju rumah Kumey. Tidak ada tujuan lain selain itu. Ia seperti orang yang kerasukan iblis, sampai-sampai mengemudikan motor di luar batasan. Motor Kiana berhenti tepat di depan rumah Kumey. Lebih tepatnya, rumah yang selalu Kumey tempati seorang diri selama ini.Drap … Drap … Drap … Kiana berlari. Pagar sudah tidak lagi dikunci. Jantung Kiana sudah tidak karuan lagi. Berdetak sangat cepat. Telapak tangannya begitu dingin. Serangkai perasaan menusuk jantungnya bertubi-tubi.Brak!"Kumey!" teriak Kiana sembari mendobrak pintu rumah Kumey. Kiana membungkuk. Mengambil ponsel Kumey yang tergeletak di depan pintu. Ponsel yang sudah hancur.Tap … Tap … Tap … Kiana berjalan perlahan. Suara langkah kakinya menggema k
"Kenapa kita ke lapangan basket?" pekik Brandon. Renza tidak menjawab pertanyaan Brandon. Ia mengambil bola yang tertata rapi, memainkannya sejenak dan mencetak rekor untuk dirinya sendiri. Brandon berulang kali menghela napas. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan Renza yang tidak bisa ia tebak sejak awal."Hei, sinting! Berhenti main-main!" teriak Brandon."Main-main?" tanya Renza sembari memainkan bola basket di tangannya. "Aku atau kau yang main-main?" sambungnya. Brandon menyipitkan matanya. Ia melirik kanan dan kiri. Terdengar Renza yang terkekeh melihat ekspresi wajah Brandon yang bertanya-tanya dalam diam."Kenapa diam? Kalau kau sudah tahu jawabannya, seharusnya meminta mereka untuk menghadapiku sekarang," ucap Renza."Aku tidak mengerti!" Renza melempar bola basket ke belak
Oscar menemui Orva. Orva saat itu sedang menatap sebuah undangan. Undangan yang sama seperti yang Oscar terima."Orva, kau mendapatkan undangan itu juga?" tanya Oscar. Pandangan Orva sama sekali tidak beralih dari undangan itu. Bagian yang Orva pegang, sudah berlipat karena Orva meremasnya."Kak Oscar, aku curiga kalau markas ikut andil dalam hal ini," kata Orva. "Selama bulan terakhir, aku sering melihat anggota markas berkeliaran di sekitar kita," sambungnya."Mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa sembunyi seperti pecundang, bukan?" ujar Oscar."Tugas kita melindungi Nona. Kalau kita berurusan lagi dengan mereka, bukankah Nona akan sendirian?" sahut Orva. Oscar duduk di sofa. Ia berpikir serius mencari jalan solusi. Masih ada sepuluh jam untuk hadir atau tidak dalam memenuhi undangan itu."Kau lindungi Nona, aku yang akan menghadapi mereka," kata Oscar.
Prang! Han menarik Renza dan memecahkan botol wine di kepalanya. Renza mampu mengikuti langkah kaki Han yang sangat cepat. Han masuk ke lapangan basket langsung menggila tanpa jeda, bahkan tanpa kata."Apa-apaan kau?" pekik Renza."Kau yang apa-apaan, bajingan!" maki Han. Han datang menemui Renza, tidak selang lama dari Rachel yang memasang wajah penuh curiga. Han langsung mengamuk tanpa sebab. Menghajar Renza secara sepihak. Renza tidak melawan. Baginya, semua waktu dan rencana harus berjalan sesuai keinginannya. Ia tidak ingin hanya karena ego dan harga diri yang terinjak, semuanya hancur berantakan."Kau cemburu padaku?" tanya Renza.Buagh! Renza terpental menabrak keranjang bola basket. Renza mengusap bibirnya
Brugh! Renza terkekeh geli, padahal Han menjatuhkannya dari ketinggian yang lumayan saat turun dari helikopter. Renza masih bisa bertahan meski ia merasakan tubuhnya seperti tercabik-cabik. Han menarik rambut Renza lagi, menyeretnya menyusuri lorong."Akhirnya sampai," kata Han. Renza terbelalak. Ia dibawa di antara tumpukan kontainer. Tempat itu seperti gudang, tapi terlalu damai untuk seorang Han yang bergerak di bidang tergelap dan sudah terjerumus.Srek! Kali ini Han yang terbelalak jauh lebih kaget dibandingkan Renza. Ia menarik kerah kemeja Renza bagian kiri, namun kancing kemeja tersebut terlepas. Menampakkan tatto yang memenuhi bagian tubuh Renza."Kau!" pekik Han. "Kau benar-benar seorang penyusup?" lanjutnya tanpa mengubah ekspresi."Penyusup?" Renza mengerutkan keningnya. "Aku bukan
Tak! Tak! Tak! Arta tanpa ragu-ragu menunjukkan dirinya. Ia membawa kayu yang digunakan Renza untuk mencongkel pintu kontainer. Orang-orang langsung terbelalak. Mereka tidak berpikir kalau ada orang lain selain petugas yang menyergap gudang. Namun, mereka kemudian menetralkan kembali mimik wajah mereka. Seakan-akan menunjukkan kalau gudang tersebut bukanlah satu-satunya."Berikan suntikan itu padaku!" ujar Arta sembari menggerakkan jarinya memerintah mereka."Bocah sepertimu sudah bertingkah sangat sombong. Kau menginginkan ini?" Tunjuk salah seorang pada tumpukan suntik yang terdapat di dalam kotak. "Boleh saja. Tapi, di dunia ini tidak ada yang gratis," sambungnya."Aku sedang tidak bernafsu untuk membuat keributan. Sebutkan saja harganya," ujar Arta."Hahahaha …" Mereka semua tertawa melihat Arta yang bertingkah seakan-akan kuasa terletak di atas telapak tangannya. 
Kiana duduk di dalam mobil di samping Lukas. Ia memakai gaun merah darah sebawah lutut. Bagian atasnya terbuka. Ada jas berwarna putih yang menempel di atas bahu Kiana. Kakinya memakai heels putih yang senada dengan jas. Rambut yang sudah ia warnai hitam pekat, ia biarkan setengah tergerai."Cantik," puji Lukas."Tutup mulutmu itu!" gertak Kiana. Sejak awal, Kiana memang setuju mengikuti permainan Lukas untuk menyelamatkan Kumey. Ia bahkan tidak bertanya, acara seperti apa yang akan mereka hadiri. Kiana cukup percaya diri dengan penampilannya. Ia juga sudah melatih diri untuk bicara lebih banyak atau memancing emosi lawan."Anda percaya kalau saya akan membawa Nona Kumey dalam kondisi hidup?" tanya Lukas. Kiana sedari tadi hanya menatap ke luar kaca. Melihat lampu hias di jalanan, atau kendaraan lain yang berlalu lalang. "Bisnis!" ucap Kiana tegas. "Kalau bisnis merugikan, aku tinggal memotong pusatnya," lanjutnya.
Oscar tidak perlu datang langsung ke markas tempat orang-orang yang mengincar nyawanya. Ia memilih untuk berpisah dengan Orva karena sejak awal, Oscar sudah mengetahui kalau ia tengah diawasi. Jas yang Oscar pakai terlihat lebih berat dari ukuran. Siapa yang tahu senjata seperti apa yang tersimpan di balik jas itu. Oscar adalah tentara bayaran yang memalsukan kematiannya. Ia menemukan titik kehidupan yang jauh lebih damai bersama Orva. Akan tetapi, ia tidak ingin melibatkan Orva lagi sehingga ingin mengatasinya sendiri tanpa melibatkan adik yang selalu ingin dia lindungi. Kiana hanyalah sebuah alasan supaya Orva tidak mengikutinya. Kiana sangat kuat, tidak membutuhkan mereka berdua untuk menjaganya. 'Karena terlalu nyaman, aku sampai serakah ingin menikmati masa seperti ini sedikit lebih lama. Pada akhirnya, waktu yang tidak diinginkan tiba. Bukankah ini terlalu cepat, Tuhan?' batin Oscar. Oscar menghentikan langkahnya. M