Naura memakai kacamatanya. Ia menutupi wajahnya menggunakan helaian rambut supaya tidak banyak orang yang mengenalinya.
Delice membunyikan klakson mobil. Naura langsung masuk dan bernapas lega. "Kenapa ekspresimu begitu?" tanya Delice. "Ini hotel kita, kenapa kau malah menyembunyikan diri?" lanjutnya. Naura menoleh. Bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. "Karena aku ingin cepat berduaan denganmu. Kalau ada yang tahu aku di sini, pasti ditahan untuk mimum-minum," jawab Naura."Sudah pandai merayuku rupanya? Coba rayu aku lagi," pinta Delice."Kenapa tidak mencoba untuk minta rayu wanita tadi?" goda Naura."Wanita kalau sudah cemburu menyeramkan." Naura hanya terkekeh kecil. Ia benci cemburu, ia muak dengan itu, namun tidak dipungkiri kalau cintanya sudah kembali seperti dulu atau mungkin lebih beKiana merangkai bunga untuk mengisi waktunya yang kosong. Entah sudah berapa lama, ia sulit untuk tidur di waktu yang tepat. Malam sangat sunyi. Rembulan bahkan tidak begitu terang. Bintang juga tidak terlihat. Kiana mulai bosan dan membiarkan tangkai bunga berserakan."Mau ke mana?" Langkah Kiana terhenti. Ia menoleh ke arah sumber suara."Rael? Sejak kapan kau di sini?" tanya Kiana. "Kau datang melalui pagar lagi?" lanjutnya."Melewati jalan wajar terlalu biasa," jawab Rael."Aku terkadang heran. Bagaimana kau bisa melewati semuanya?""Karena aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki." Kiana terkekeh. Ucapan Rael terdengar puitis. Kiana tidak seberapa menanggapi. Ia tetap berpaling dari tempatnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, Rael meraih lengan Kiana."Ada apa?" tanya Kiana."Bisakah temani a
Kiana menuju rumah Kumey. Tidak ada tujuan lain selain itu. Ia seperti orang yang kerasukan iblis, sampai-sampai mengemudikan motor di luar batasan. Motor Kiana berhenti tepat di depan rumah Kumey. Lebih tepatnya, rumah yang selalu Kumey tempati seorang diri selama ini.Drap … Drap … Drap … Kiana berlari. Pagar sudah tidak lagi dikunci. Jantung Kiana sudah tidak karuan lagi. Berdetak sangat cepat. Telapak tangannya begitu dingin. Serangkai perasaan menusuk jantungnya bertubi-tubi.Brak!"Kumey!" teriak Kiana sembari mendobrak pintu rumah Kumey. Kiana membungkuk. Mengambil ponsel Kumey yang tergeletak di depan pintu. Ponsel yang sudah hancur.Tap … Tap … Tap … Kiana berjalan perlahan. Suara langkah kakinya menggema k
"Kenapa kita ke lapangan basket?" pekik Brandon. Renza tidak menjawab pertanyaan Brandon. Ia mengambil bola yang tertata rapi, memainkannya sejenak dan mencetak rekor untuk dirinya sendiri. Brandon berulang kali menghela napas. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan Renza yang tidak bisa ia tebak sejak awal."Hei, sinting! Berhenti main-main!" teriak Brandon."Main-main?" tanya Renza sembari memainkan bola basket di tangannya. "Aku atau kau yang main-main?" sambungnya. Brandon menyipitkan matanya. Ia melirik kanan dan kiri. Terdengar Renza yang terkekeh melihat ekspresi wajah Brandon yang bertanya-tanya dalam diam."Kenapa diam? Kalau kau sudah tahu jawabannya, seharusnya meminta mereka untuk menghadapiku sekarang," ucap Renza."Aku tidak mengerti!" Renza melempar bola basket ke belak
Oscar menemui Orva. Orva saat itu sedang menatap sebuah undangan. Undangan yang sama seperti yang Oscar terima."Orva, kau mendapatkan undangan itu juga?" tanya Oscar. Pandangan Orva sama sekali tidak beralih dari undangan itu. Bagian yang Orva pegang, sudah berlipat karena Orva meremasnya."Kak Oscar, aku curiga kalau markas ikut andil dalam hal ini," kata Orva. "Selama bulan terakhir, aku sering melihat anggota markas berkeliaran di sekitar kita," sambungnya."Mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa sembunyi seperti pecundang, bukan?" ujar Oscar."Tugas kita melindungi Nona. Kalau kita berurusan lagi dengan mereka, bukankah Nona akan sendirian?" sahut Orva. Oscar duduk di sofa. Ia berpikir serius mencari jalan solusi. Masih ada sepuluh jam untuk hadir atau tidak dalam memenuhi undangan itu."Kau lindungi Nona, aku yang akan menghadapi mereka," kata Oscar.
Prang! Han menarik Renza dan memecahkan botol wine di kepalanya. Renza mampu mengikuti langkah kaki Han yang sangat cepat. Han masuk ke lapangan basket langsung menggila tanpa jeda, bahkan tanpa kata."Apa-apaan kau?" pekik Renza."Kau yang apa-apaan, bajingan!" maki Han. Han datang menemui Renza, tidak selang lama dari Rachel yang memasang wajah penuh curiga. Han langsung mengamuk tanpa sebab. Menghajar Renza secara sepihak. Renza tidak melawan. Baginya, semua waktu dan rencana harus berjalan sesuai keinginannya. Ia tidak ingin hanya karena ego dan harga diri yang terinjak, semuanya hancur berantakan."Kau cemburu padaku?" tanya Renza.Buagh! Renza terpental menabrak keranjang bola basket. Renza mengusap bibirnya
Brugh! Renza terkekeh geli, padahal Han menjatuhkannya dari ketinggian yang lumayan saat turun dari helikopter. Renza masih bisa bertahan meski ia merasakan tubuhnya seperti tercabik-cabik. Han menarik rambut Renza lagi, menyeretnya menyusuri lorong."Akhirnya sampai," kata Han. Renza terbelalak. Ia dibawa di antara tumpukan kontainer. Tempat itu seperti gudang, tapi terlalu damai untuk seorang Han yang bergerak di bidang tergelap dan sudah terjerumus.Srek! Kali ini Han yang terbelalak jauh lebih kaget dibandingkan Renza. Ia menarik kerah kemeja Renza bagian kiri, namun kancing kemeja tersebut terlepas. Menampakkan tatto yang memenuhi bagian tubuh Renza."Kau!" pekik Han. "Kau benar-benar seorang penyusup?" lanjutnya tanpa mengubah ekspresi."Penyusup?" Renza mengerutkan keningnya. "Aku bukan
Tak! Tak! Tak! Arta tanpa ragu-ragu menunjukkan dirinya. Ia membawa kayu yang digunakan Renza untuk mencongkel pintu kontainer. Orang-orang langsung terbelalak. Mereka tidak berpikir kalau ada orang lain selain petugas yang menyergap gudang. Namun, mereka kemudian menetralkan kembali mimik wajah mereka. Seakan-akan menunjukkan kalau gudang tersebut bukanlah satu-satunya."Berikan suntikan itu padaku!" ujar Arta sembari menggerakkan jarinya memerintah mereka."Bocah sepertimu sudah bertingkah sangat sombong. Kau menginginkan ini?" Tunjuk salah seorang pada tumpukan suntik yang terdapat di dalam kotak. "Boleh saja. Tapi, di dunia ini tidak ada yang gratis," sambungnya."Aku sedang tidak bernafsu untuk membuat keributan. Sebutkan saja harganya," ujar Arta."Hahahaha …" Mereka semua tertawa melihat Arta yang bertingkah seakan-akan kuasa terletak di atas telapak tangannya. 
Kiana duduk di dalam mobil di samping Lukas. Ia memakai gaun merah darah sebawah lutut. Bagian atasnya terbuka. Ada jas berwarna putih yang menempel di atas bahu Kiana. Kakinya memakai heels putih yang senada dengan jas. Rambut yang sudah ia warnai hitam pekat, ia biarkan setengah tergerai."Cantik," puji Lukas."Tutup mulutmu itu!" gertak Kiana. Sejak awal, Kiana memang setuju mengikuti permainan Lukas untuk menyelamatkan Kumey. Ia bahkan tidak bertanya, acara seperti apa yang akan mereka hadiri. Kiana cukup percaya diri dengan penampilannya. Ia juga sudah melatih diri untuk bicara lebih banyak atau memancing emosi lawan."Anda percaya kalau saya akan membawa Nona Kumey dalam kondisi hidup?" tanya Lukas. Kiana sedari tadi hanya menatap ke luar kaca. Melihat lampu hias di jalanan, atau kendaraan lain yang berlalu lalang. "Bisnis!" ucap Kiana tegas. "Kalau bisnis merugikan, aku tinggal memotong pusatnya," lanjutnya.
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p